Maraknya layanan jasa bimbingan belajar, jumlahnya mencapai hampir 2000 lembaga, berpotensi menyulitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengetahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah.
Hingga kini belum ada data definitif jumlah siswa yang ikut bimbel, tapi sebuah publikasi dari Bank Indonesia pada 2010 menyebutkan total peserta bimbel sekitar 950 ribu anak. Walau banyak dikritik, Ujian Sekolah Berstandar Nasional atau Ujian Nasional (UN) tetap digunakan oleh pemerintah untuk memetakan dan mengukur kualitas pendidikan dasar dan menengah secara nasional.
Videos by VICE
Setiap tahun, menjelang ujian nasional sekolah menengah dan masuk perguruan tinggi, pendaftar bimbel melonjak karena sistem dril soal-soal dianggap membantu siswa mampu menjawab ujian nasional dan lolos seleksi pendaftaran universitas.
Persoalannya, apakah para siswa yang mampu menyelesaikan soal-soal ujian nasional itu karena proses pembelajaran di sekolah yang diajarkan oleh guru atau berkat sistem dril selama beberapa minggu/bulan yang dilatih oleh para tutor di lembaga bimbingan belajar? Atau bisa juga berkat kedua-duanya. Sampai detik ini belum ada riset skala nasional yang untuk menjawab pertanyaan itu.
Barangkali karena bimbel dianggap sebagai hal yang umum di masyarakat dan dinilai cukup membantu kemampuan siswa menyelesaikan soal, maka sedikit yang melihat bahwa bimbel perlu diteliti lebih lanjut. Padahal UN dijadikan pertimbangan upaya perbaikan kualitas pendidikan di sekolah, sementara UN sendiri bias.
Sejarah bimbel
Secara hukum, bimbel merupakan kursus yang dipayungi oleh Pasal 26 ayat 5 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan biaya sekolah sampai SMA yang sebagiannya ditanggung oleh pemerintah, biaya bimbel sepenuhnya dibayar oleh orang tua siswa dengan harga paket layanannya bervariasi.
Lembaga bimbingan belajar (bimbel) menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan di Indonesia sejak 1970-an. Pada awalnya, bimbel memberikan layanan persiapan siswa jenjang SMA dengan metode dril soal ujian untuk mengikuti seleksi masuk universitas perguruan tinggi negeri.
Belakangan, bisnis layanan dril soal itu lebih luas lagi dengan menyasar siswa sekolah dasar dan menengah pertama di berbagai kota di negeri ini. Namun, peran bimbel yang besar itu juga menjadi penanda ada yang salah dengan kebijakan pendidikan nasional.
Layanan yang tak ada di sekolah
Bisnis bimbel menjamur karena kebutuhan siswa, yakni persiapan ikut ujian masuk universitas negeri dan ujian nasional, tidak disediakan sepenuhnya oleh sekolah. Walau SMA mampu menghasilkan lulusan yang memenuhi standar kelulusan nasional, tapi tidak dibahas secara khusus mengenai penyiapan siswa untuk lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri/swasta.
Kini bimbel juga menyediakan layanan jasa pembelajaran materi pelajaran–bukan hanya menyelesaikan soal-soal–yang telah diberikan di sekolah. Bahkan dalam beberapa kasus guru juga mendorong siswa mengikuti bimbel karena bimbel melatih keterampilan menjawab soal secara praktis, benar, dan cepat.
Komisi Pemberantasan Korupsi sampai memperingatkan kepada guru agar tidak memberikan les/pelajaran tambahan berbayar kepada siswa yang juga dia ajar di sekolah untuk menghindari konflik kepentingan.
Sebuah laporan menunjukkan alasan anak-anak pakai jasa bimbel yakni:
- Sekolah diibaratkan sebagai makanan pokok, bimbel adalah suplemennya. Jadi saling melengkapi.
- Bimbel membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang kurang dikuasainya di sekolah karena jam belajar habis atau tidak berani bertanya kepada guru.
- Bimbel menyediakan pembelajaran lebih fleksibel dan lebih ramah.
- Bimbel memberi tips praktis menyelesaikan soal ujian nasional dan seleksi masuk universitas negeri.
- Bimbel memberi informasi tambahan mengenai peluang studi lanjut di universitas.
Di luar hal tersebut, “sakralisasi” ujian nasional oleh pemerintah dan masyarakat membuat ujian ini jadi menakutkan, seolah-olah menjadi penentu “hidup mati” masa depan siswa. Iklim belajar di sekolah yang dikejar target menuntaskan materi dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) tertentu juga membuat sebagian besar sekolah fokus mengajarkan trik menyelesaikan soal-soal dengan baik, benar, dan cepat.
Jam pelajaran yang terbatas (karena banyak materi/mata pelajaran) dan kemampuan siswa yang beragam juga berkontribusi pada variasi kedalaman pemahaman siswa, termasuk kemampuan mengerjakan soal-soal ujian. Celah-celah itu yang dibidik oleh pelaku bisnis bimbel untuk membuka jasa cara menyelesaikan soal.
Apakah materi di sekolah tidak cukup?
Apakah materi pelajaran yang diberikan oleh guru-guru di ruang kelas tidak cukup sehingga jasa bimbel dibutuhkan oleh siswa dan orang tua siswa?
Ada beberapa riset dengan skala kecil. Sebuah riset di Aceh menunjukkan tak ada perbedaan kemandirian belajar antara siswa SMP yang ikut bimbel dan tidak ikut bimbel. Kemandirian belajar merupakan sikap siswa yang punya motivasi sendiri untuk menguasai materi belajar tanpa bergantung pada orang lain. Sementara di level sekolah dasar, ada riset yang menunjukkan perbedaan hasil belajar antara siswa yang ikut bimbel dan tidak.
Informasi yang saya dapat dari sekolah-sekolah menunjukkan bahwa beban guru berlebihan–materi pembelajaran terlalu banyak dan berat untuk diselesaikan dalam satu semester. Akibatnya, guru dan siswa menguras energi dan psikis dari pagi hingga sore untuk memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 70 dengan aktivitas belajar bisa jatuh hanya pada latihan soal-soal di lembar kerja siswa (LKS).
Jika alasan siswa ikut bimbel karena tidak paham materi pelajaran siswa di sekolah yang jam belajarnya habis, maka substansi dan struktur kurikulum, termasuk teknis penjadwalan belajar di sekolah harus dikaji ulang. Struktur Kurikulum 2013 relatif gemuk dengan target capaian yang tinggi. Perlu dipilah ulang mana materi yang relevan dengan kebutuhan kehidupan siswa untuk jenjang pendidikan tertentu dan mana yang kurang relevan.
Walau ada banyak mata pelajaran, ujian nasional hanya mengujikan empat mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan satuan mata pelajaran pilihan IPA/IPS/Bahasa (tingkat SMA) atau teori kejuruan (SMK) atau IPA (SMP).
Jika siswa tidak berani bertanya kepada guru dan pembelajaran di kelas yang kaku dan formal, maka yang perlu diubah adalah praktik pembelajarannya. Guru dan sekolah perlu memfasilitasi upaya pembelajaran yang menyenangkan, memahamkan, bermakna dan berdaya guna bagi siswa.
Sekolah juga perlu menyediakan informasi yang mutakhir mengenai peluang studi lanjut di tingkat pendidikan lebih tinggi, terutama universitas. Pada era internet, semua universitas negeri dan swasta menyediakan informasi dasar soal pendaftaran universitas lewat situs web. Media massa juga rutin memberitakan ihwal pendaftaran universitas. Sekolah perlu memberdayakan guru-gurunya untuk memberikan informasi tentang sekolah lanjut dengan cara yang menarik dan memotivasi.
Melemparkan masalah internal sekolah untuk diselesaikan oleh bimbel bukan hanya ibarat lembar “handuk” sembunyi tangan, tapi ini kegagalan dalam mendiagnosis sumber masalah dalam sistem pendidikan formal. Ada kesalahan fatal bila diartikan bahwa sekolah dan bimbel adalah satu paket yang saling melengkapi untuk mendorong siswa mendapat nilai tinggi dalam ujian nasional.
Faktanya banyak kasus siswa sukses ujian nasional tanpa ikut bimbel. Misalnya, Hafidh yang nilainya sempurna pada UN tahun 2019 ini. Seharusnya fokus sekolah bukan mempersiapkan ujian nasional tapi menyelenggarakan pembelajaran menyeluruh dengan mengukur segenap dimensi: kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa. Pemahaman ini yang harus terus menerus disampaikan, agar siswa, orang tua, dan bahkan sekolah tidak menggantungkan diri pada bimbel.
Edi Subkhan adalah dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang
Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.