Jauh sebelum pandemi Covid-19, rupanya ada penyakit lain yang secara massif terus-terusan menular. Hal itu adalah penularan emosi akibat melihat reaksi seseorang.
Kesimpulan itu bisa kita ambil dari penelitian gabungan beberana universitas dari Oxford dan Birmingham yang meneliti proses “penularan emosi”. Subyek penelitian melibatkan 79 orang, rentang usianya 15 hingga 19 tahun yang hidup bersama selama tiga bulan. Responden diminta untuk menyimpulkan suasana hati mereka hari itu dalam catatan, serta interaksi dengan sesama subyek penelitian.
Videos by VICE
Penelitian ini menyimpulkan suasana hati kita akan sangat dipengaruhi oleh perilaku dan kondisi emosional orang-orang di sekitar. Semakin akrab kita dengan manusia dalam kelompok, makin mudah kondisi emosional seseorang menular ke anggota kelompok yang lain. Misal awalnya kita merasa baik-baik saja, di siang hari kita bisa ikutan bad mood ketika teman dekat memiliki emosi negatif. Efek sebaliknya bisa terjadi, bila mayoritas dalam kelompok tersebut merasakan suasana hati positif.
Dr Per Block, salah satu anggota penelitian ini menyatakan penularan emosi sebetulnya konsep yang dikenal orang awam, tapi tak pernah coba diamati secara serius melalui penelitian psikologi yang terukur. “Mood terbukti bisa menular, baik itu emosi yang asosiasinya negatif ataupun positif. Tapi dari penelitian kami, terlihat bila emosi negatif lebih cepat menular,” ujarnya.
Uniknya, meski emosi negatif seperti marah, takut, atau sedih gampang menular, ternyata orang yang gloomy tidak serta merta akan sulit berteman. Penelitian ini mengamati bahwa para responden secara bawah sadar sudah bersiap berinteraksi dengan orang dengan sifat apapun.
“Subyek penelitian kami secara konsisten tidak otomatis menjauhi seseorang yang sedang dalam kondisi emosional buruk,” demikian kesimpulan penelitian tersebut.
Artinya, jangan khawatir para pembaca yang selama ini gampang moody. Kalian masih bisa punya teman. Tapi, ingat-ingatlah pernyataan Dr Block, bahwa emosi kalian tetap bisa mempengaruhi kawan di tongkrongan.
Para peneliti berharap kajian ini bisa memperdalam wawasan tentang mekanisme depresi, serta dukungan emosional macam apa dari lingkungan yang bisa mengurangi efek negatif dari depresi.