Berselancar punya banyak manfaat. Selain melatih konsentrasi dan keseimbangan, kita pun merasa lebih percaya diri saat menunggangi ombak. Olahraga ini bahkan telah dijadikan media terapi untuk mengatasi emosi negatif. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Liselotte Oyen, terapis sekaligus dosen psikologi di Universitas VIVES, Belgia.
Perempuan yang berusia 41 ini menggabungkan hobi berselancar dengan bidang spesialisasinya untuk membantu orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Videos by VICE
Oyen pertama kali menjajal keseruan berselancar ketika berkunjung ke Miami sekitar 17 tahun yang lalu. Meskipun olahraga ini kurang populer di Belgia, dia yakin punya peluang bagus untuk diaplikasikan dalam konseling.
Kami berbincang dengannya untuk mencari tahu lebih banyak soal metode terapi tersebut.
VICE: Dari mana kamu dapat ide terapi melalui olahraga berselancar?
Liselotte Oyen: Saya mulai berselancar saat masih kuliah psikologi, dan saya bisa merasakan manfaatnya. Saya pun terpikir, “Kayaknya bisa buat bantu orang lain juga, nih.”
Kalian ngapain aja selama terapi berlangsung?
Sesi individu sering kali dimulai dengan berselancar, baru setelahnya saya meminta klien menceritakan pengalaman mereka selama berada di laut. Apa yang mereka rasakan bisa jadi gambaran seperti apa kehidupan mereka.
Sementara itu, sesi grup tergantung keinginan para klien. Kelompok yang saya tangani baru-baru ini maunya lebih banyak berselancar, jadi momen refleksinya lebih singkat. Kadang-kadang, saya mengajak klien ngobrol sambil berselancar – misalnya setelah mereka muncul dari air. Saya juga memberi latihan untuk dilakukan di rumah.
Apa nilai tambah dari sesi grup?
Saya selalu mewawancarai klien untuk melihat kira-kira mereka cocok gabung sesi grup atau tidak. Akan tetapi, banyak orang memilih sesi ini karena ingin berhubungan dengan orang lain. Mereka saling mendukung, dan belajar dari pengalaman satu sama lain.
Kami pernah sekali mengganti berselancar jadi berkayak karena ombaknya kurang gede. Kami banyak ngobrol saat itu. Ketika ada kayak yang rusak, kami bersama-sama memperbaikinya.
Apakah klien harus bisa berselancar untuk ikut terapi?
Yang penting kamu bisa berenang. Kemampuan berselancar dapat dilatih selama terapi. Dengan cara ini, kamu bisa sekalian belajar menerima kegagalan. Bagian ini hampir tidak ada bedanya dengan kursus selancar biasa. Tapi dalam sesi terapi, kami lebih fokus pada pengembangan diri.
Metode ini sudah diakui secara ilmiah atau belum?
Efek positifnya sudah cukup banyak dipelajari selama 10 tahun terakhir, tapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Bagi saya, bukti ilmiah sangat penting karena bisa memperkuat efektivitas terapi ini.
Praktisi kesehatan mental di Inggris telah memasukkan selancar ke dalam sesi terapi. Budaya surfing di sana sudah besar, sehingga metode terapi ini juga semakin banyak peminatnya. Begitu pula di Belanda. Terapi yang dilakukan di luar ruangan semakin populer sejak pandemi.
Apakah kamu punya kenalan terapis selancar di luar negeri?
Punya. Saya banyak belajar dari mereka. Di Puerto Rico, ada organisasi yang melatih kebiasaan anak autis melalui berselancar. Orang tua juga dilatih mengawasi anak mereka. Dengan begini, mereka tak perlu lagi khawatir mengajak anak jalan-jalan ke laut.
Apa bedanya terapi selancar dengan terapi-terapi luar ruangan lainnya?
Saya percaya ada manfaat yang akan kita rasakan saat melakukan aktivitas di luar ruangan sambil mengobrol. Melalui terapi selancar, klien bisa memperoleh keterampilan baru. Mereka jadi lebih memercayai orang lain, dan bersedia melakukan kegiatan bersama-sama. Berselancar juga menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian dalam diri seseorang. Ada kebanggaan tersendiri saat kamu berhasil menaklukkan ombak.
Selain itu, kamu harus konsentrasi penuh selama berselancar. Tak ada waktu untuk mengkhawatirkan ini itu saat badanmu aktif bergerak.
Berselancar juga dapat meningkatkan suasana hati. Rasanya pasti sangat menyenangkan ketika kamu bisa terbebas dari rasa cemas atau emosi negatif.
Penasaran terapi selancar kayak gimana? Simak foto-fotonya berikut ini:
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgia.