Peneliti kebijakan publik Ravio Patra yang ditangkap diam-diam oleh aparat Polda Metro Jaya pada Rabu (22/34) pukul 21.00 di Menteng, Jakarta Pusat, sudah dilepaskan hari ini, Jumat (24/4) pukul 08.30 WIB. Total, dia ditahan selama 33 jam dan menjalani dua kali sesi interogasi.
Informasi itu keterangan tertulis Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK), aliansi berbagai lembaga swadaya bidang HAM dan kebebasan informasi, yang diterima VICE. Alasan penangkapan ini adalah broadcast pesan berisi ajakan merusuh dan menjarah pada 30 April, yang dikirimkan lewat nomor WhatsApp Ravio oleh orang lain.
Videos by VICE
Pembebasan Ravio melalui jalan berliku. Penangkapan Ravio pertama kali diketahui oleh Direktur SAFENet Damar Juniarto pada Kamis (23/4) pukul 7 pagi, atau dua belas jam Ravio tak bisa dikontak. Damar kemudian mengabarkannya kepada sejumlah orang sampai berita tersebut tersebar di media sosial kemarin.
Begitu tahu dia diciduk polisi di daerah Blora Menteng, tim penasihat hukum Ravio Patra kemudian mendatangi markas Polda Metro Jaya pada pukul 11 siang, Kamis kemarin. Petugas beberapa unit di Polda sempat menyangkal telah menahan Ravio. Ade Wahyudin dari LBH Pers mengatakan kepada Asumsi, ia sempat mencari korban di Krimsus dan Resmob Polda Metro Jaya, namun dalam daftar milik polisi tak ada keterangan nama Ravio di sana.
Kejelasan baru tampak pada pukul 2 siang, atau 17 jam setelah penangkapan. Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus, lewat konferensi pers khusus, mengakui Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah menahan Ravio. Dia diinterogasi oleh petugas dari sub-direktorat Keamanan Negara.
“Saya membenarkan…. dari Krimum Polda Metro Jaya telah mengamankan seseorang, inisialnya adalah RPA. TKP penangkapannya yaitu di daerah… di Jalan Blora, Menteng,” terang Yusri. “Yang bersangkutan memang diduga menyiarkan berita onar dan atau menghasut untuk membuat kekerasan dan atau menyebarkan kebencian.”
Dalam siaran pers KATROK, koalisi mengajukan sejumlah keberatan atas penangkapan Ravio. Pertama, polisi tidak memberi surat penangkapan meski sudah diminta korban. Polisi juga menggeledah kediaman korban tanpa berbekal surat penggeledahan, yang seharusnya dikeluarkan oleh pengadilan negeri setempat. Ketika ditangkap, dua laptop dan dua ponsel Ravio disita sebagai alat bukti.
Ravio menjalani dua kali sesi interogasi di hari Kamis itu, yakni pada pukul 3 sampai 6 pagi (seperti yang dulu pernah dialami musisi Ananda Badudu) dan pada pukul 10 pagi sampai 5 sore. Di sesi pertama Ravio diinterogasi dengan status tersangka, bahkan penyidik mengklaim sedang menyiapkan surat penahanannya. Namun, di sesi kedua statusnya hanya sebagai saksi. Dalam jeda antara dua interogasi itu, berita penangkapan Ravio menimbulkan keributan besar di Twitter.
Sejumlah keberatan lain atas penangkapan yang janggal ini adalah inkonsistensi penyidik. Penyidik mengatakan Ravio bukan ditangkap, tapi diamankan. Mereka juga mengakses kontrak kerja dan catatan keuangan pribadi Ravio yang tak relevan dengan kasus, bahkan sempat mengubah kata sandi email Ravio. Faktor paling fatal, pasal yang dikenakan kepada korban pun tak konsisten, dari yang mulanya UU ITE Pasal 28 ayat 1 tentang berita bohong menjadi UU ITE Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA.
“Ini adalah preseden buruk penegakan hukum. Polisi seharusnya lebih jeli dalam melihat suatu kejadian dan dapat membedakan mana korban mana pelaku, serta tidak begitu saja melakukan penangkapan,” kata Aldo Kaligis, dari tim advokasi Amnesty International yang turut mendampingi Ravio, lewat keterangan tertulis.
Muncul pula dugaan intimidasi dilakukan aparat saat Ravio masih belum didampingi kuasa hukum selama proses interogasi. “Waktu ditangkap [ada polisi] bilang dia akan diplastikin, ketika ikatan tangannya terlalu kencang, dia minta dilonggarkan sama polisi, ada polisi yang mengatakan ‘biar tahu rasa’, atau ada yang mengeluarkan pistol meski tidak ditodongkan,” kata anggota kuasa hukum Ravio, Era Purnamasari saat dikonfirmasi Suara.com.
Kini, koalisi LSM menuntut polisi untuk segera menangkap peretas yang memakai WhatsApp korban untuk menyebarkan pesan palsu berbunyi:
KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR !
AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL 2020 AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DIDEKAT KITA BEBAS DIJARAH
Pesan itu tampaknya disebar memakai nomor WhatsApp Ravio pada Rabu sekitar pukul setengah 3 siang—demikian tertulis dalam kronologi yang dirilis KontraS. Padahal di jam tersebut korban mendapati WhatsApp-nya tak bisa diakses. Ia juga menerima SMS berisi password sekali pakai (alias one time password, OTP) untuk masuk ke WhatsApp-nya, plus sejumlah panggilan dari nomor asing yang setelah dicek, ditengarai milik personel polisian.
Ravio baru bisa mengakses WhatsApp-nya pada Rabu, pukul 7 malam. Saat itu ia menemukan sejumlah yang, salah satunya, mengirim tangkapan layar broadcast memakai nomor Ravio di atas. Skrinsut sejenis itu ternyata sudah beredar di dunia maya, bahkan menjadi bahan sebuah artikel di situs Seword.
Mundur dua jam sebelum Ravio berhasil mendapatkan WhatsApp-nya kembali, di situs Seword tayang artikel berjudul “Siapakah Oknum Yang Memprovokasi Penjarahan Nasional 30 April Nanti?“. Penulisnya, bernama Nafys, menulis di awal artikel, “Astaghirullah, tadi penulis tidak sengaja melihat screen shot ajakan provokasi yang akan dilakukan pada tanggal 30 April nanti.” Terlampir skrinsut broadcast yang diterima pada pukul 13.36 dan 14.35. Penulis dan teman-temannya kemudian melacak, dan menemukan, pengirim broadcast tersebut adalah nomor Ravio.
Di artikel Seword, penulis melampirkan skrinsut lain berisi obrolan grup yang mengabarkan Ravio sudah ditangkap. Pesannya terkirim pada pukul 22.52. pertanyaannya, jika kabar itu dikirim pada 22.52 WIB pada Rabu malam. Itu jelas info A1 yang tidak mudah didapat warga sipil biasa, karena hanya berselang 2 jam dari penangkapan korban. Jika pesan itu dikirim 22.52 WIB Kamis, kata-kata “Anjrittt cpt bgt” di balasan tersebut jadi tak relevan, karena siang harinya pada pukul 2, Polda Metro Jaya sudah menggelar konferensi pers mengakui penangkapan Ravio.
Sedikit informasi, Ravio Patra adalah peneliti kebijakan publik independen, yang kerap berbagi pandangan pribadinya di Twitter dan meraih atensi netizen. Dia juga tergabung dalam lembaga Westminster Foundation for Democracy.
Dua bulan terakhir, Ravio aktif mencuit soal kritiknya terhadap staf khusus “milenial” presiden, dan minimnya transparansi data pasien Covid-19 di Indonesia. Untuk topik yang disebut belakangan, Ravio sempat menulis esai di Tirto.id, mengkritik sikap pemerintah pusat dalam mengelola data pandemi corona.
Setelah dilepas, Ravio langsung melanjutkan aktivitasnya sehari-harinya: memberi makan kucing liar. Sementara itu netizen Twitter, lewat analisis ala detektif partikelir, memvonis broadcast WhatsApp palsu itu jelas bukan buatan Ravio. Salah satu indikasinya, di twit-twitnya Ravio dengan tegas bisa membedakan kapan “di” ditulis tergabung atau terpisah, namun tidak demikian dengan broadcast palsu itu.
Dari kasus ini kita bisa belajar, apa pun aplikasi perpesanan yang kita pakai (termasuk Signal yang mendadak diunduh berjamaah sejak kemarin), selama orang jahat punya akses ke lalu lintas selulernya, termasuk mengakses SMS yang keluar-masuk, komunikasi kita tak akan pernah aman ketika sebagian pihak memiliki teknologi untuk leluasa menerabasnya.