Dalam film Blade Runner, Leon mengikuti wawancara yang menegangkan untuk memastikan dia Replicant (manusia buatan) atau bukan. Penonton bisa merasakan ketegangannya dari sikap Leon selama wawancara, serta suara detak jantung yang menambah kesan intens. Jantung yang berdebar-debar menandakan betapa gugupnya Leon kala itu.
Efek suara semacam ini bermanfaat untuk menyampaikan intensitas emosional yang diekspresikan dalam film. Ini karena detak jantung berkaitan erat dengan perasaan manusia.
Videos by VICE
Di kehidupan nyata, kita baru bisa mengetahui seberapa cepat detak jantung seseorang setelah mengecek denyut nadi mereka. Kita tak dapat menebak apa yang sebenarnya mereka rasakan hanya dengan melihat wajahnya. Namun, penelitian terbaru dalam jurnal Cortex menemukan kenyataannya tak selalu seperti itu. Orang bisa menebak detak jantung seseorang hanya dengan menonton video yang menampilkan wajah mereka selama 10 detik. Kecepatan mereka menebak bahkan jauh lebih baik daripada suatu kebetulan.
Manusia memiliki kemampuan merasakan apa yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri, dan kemampuan ini biasa disebut interosepsi. Dalam studi ini, kita disuguhkan contoh-contoh orang merasakan interosepsi orang lain secara visual. Temuannya dapat berimplikasi pada cara kita berhubungan dengan orang lain, dan memahami perasaan satu sama lain.
Pada dasarnya, interosepsi menjadi alasan kita bisa tetap hidup. Kemampuan inilah yang memberi sinyal bahwa tubuh kita dingin atau kelaparan. Akan tetapi, sensasi fisik itu juga memiliki interaksi yang kompleks dengan perasaan dan pikiran kita.
James Kilner, ahli saraf University College London yang merupakan penulis senior dalam penelitian ini, menerangkan, kita menggunakan sinyal-sinyal yang diberikan tubuh untuk mengetahui kondisi emosional pribadi. Jantung kita, misalnya, sangat reaktif selama kita merasakan hal tertentu. Mungkin karena inilah banyak ungkapan emosional melibatkan istilah hati atau jantung, seperti “jantungku berdegup kencang” atau “dari lubuk hatiku yang terdalam”.
Ahli saraf Sarah Garfinkel mempelajari keterkaitan detak jantung dengan kondisi mental. Dia menemukan, detak jantung dapat memengaruhi perasaan seseorang dan seberapa intens perasaannya. Seberapa akurat seseorang merasakan detak jantungnya, atau seberapa akurat perkiraan mereka, dapat dikaitkan dengan kondisi mental yang berbeda-beda. Misalnya, salah menilai akurasi interoseptif biasanya menandakan kecemasan, sedangkan defisit interoseptif ditemukan pada orang-orang yang mengalami gangguan panik, gangguan makan dan depresi.
Alex Galvez-Pol, penulis utama dan ahli saraf kognitif University of Balearic Islands, mengungkapkan bahwa dirinya dan Kilner penasaran manusia dapat menangkap interosepsi orang lain atau tidak, terlebih karena manusia makhluk sosial. Di dunia nyata, orang tidak mengekspresikan setiap perasaan mereka secara verbal, sehingga kita sering kali harus membaca suasana hati mereka berdasarkan isyarat visual.
Para peneliti meminta 120 peserta menonton video berdurasi 10 detik yang menampilkan dua orang secara berdampingan, masing-masing memiliki representasi visual detak jantungnya. Peserta harus menentukan detak jantungnya milik siapa. Siapa sangka, mereka mampu mencocokkannya dengan tepat di seluruh percobaan, sehingga sulit dikatakan sebagai kebetulan.
Manos Tsakiris, profesor psikologi di Royal Holloway University of London, mengemukakan, mengetahui detak jantung orang lain dapat berperan dalam merasakan beberapa aspek dasar kondisi emosional seseorang. Sebut saja ini membaca gerak-gerik tubuh: Jika kita bisa menebak perasaan mereka, ini menjadi petunjuk lain dari apa yang mereka rasakan secara keseluruhan. Dua orang dalam video tidak menunjukkan emosi dramatis, tapi ini bisa dilakukan dalam penelitian selanjutnya.
Ahli saraf Sahib Khalsa di Oklahoma tidak terlibat dalam penelitian ini, tapi dia berpendapat studinya menawarkan beberapa bukti awal bagaimana sinyal interoseptif digunakan untuk menebak perasaan orang lain.
Para peneliti dalam studi ini tak tahu persis bagaimana peserta bisa menebak pemilik detak jantung, tapi mereka memperhatikan kemampuan peserta menurun jika wajah orangnya ditampilkan dengan cara berbeda—seperti dalam posisi terbalik atau format gambar. Mereka mungkin menangkap isyarat visual yang berkaitan dengan detak jantung, seperti perubahan warna wajah atau cara seseorang bergerak. Bisa juga mereka menebak berdasarkan jenis kelamin, persepsi mereka tentang tingkat kesehatan atau kebugaran seseorang, atau usia.
Kilner menyebut keterkaitan ini sangat menarik—dari mana asalnya, dan dari mana kita mempelajarinya? Ini menyoroti hubungan intim antara tebakan orang tentang apa yang terjadi di dalam tubuh dan bagaimana hubungannya dengan seseorang secara keseluruhan.
Makalah pracetak, yang diterbitkan secara online pada 29 Maret, mereplikasi temuan ini. Dipimpin Irena Arslanova, tim peneliti melakukan pengukuran tambahan untuk mengetes kemampuan orang menilai detak jantung, atau akurasi interoseptif mereka sendiri. Hal ini sering kali dilakukan dengan meminta orang menghitung detak jantung tanpa mengecek denyut nadi, lalu membandingkan perasaan mereka dengan ukuran berapa kali jantung mereka berdetak.
Tim Arslanova menemukan orang yang terlalu percaya diri dengan akurasi interoseptif mereka tak mampu menebak detak jantung orang lain hanya dengan melihat wajahnya. Sementara itu, orang yang meremehkan kemampuan mereka tidak menunjukkan hubungan yang sama. Berhubung makalah ini masih pracetak, temuan awal mungkin akan berubah atau disesuaikan setelah proses peer-review, tapi setidaknya itu sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan akurasi interoseptif rendah memiliki efek penetesan ke bawah (trickle down effect).
Tsakiris turut menulis makalah pracetak tersebut. Menurutnya, itu menjadi penelitian terbaru yang menunjukkan betapa pentingnya metakognisi, atau kesadaran kritis akan keterampilan dan kemampuan seseorang. Beranggapan dirimu jago melakukan sesuatu bisa membuatmu salah berasumsi dan tidak menebak-nebak. Sebaliknya, kamu menjadi lebih berhati-hati dan memperoleh lebih banyak informasi sebelum membuat penilaian apabila kamu mengakui kamu buruk melakukan sesuatu.
Kita sudah tahu, orang yang akurasi interoseptifnya tinggi dapat merasakan emosi yang lebih intens. Pada 2018, Tsakiris dan rekannya Clare Palmer menerbitkan makalah yang menunjukkan kemungkinan akurasi interoseptif terkait dengan keterampilan kognitif sosial, seperti mengenali emosi orang lain dan menebak perasaan orang.
Orang yang mengalami gangguan kecemasan cenderung berpikir mereka memahami tubuhnya, padahal sebenarnya tidak. Dalam studi yang diterbitkan di JAMA Psychiatry, Khalsa menemukan pengidap gangguan kecemasan umum menunjukkan keterkaitan dengan kemampuan interoseptif yang rendah.
Selain menjadi salah satu alasan kita bisa hidup, interosepsi juga dapat membantu kita memahami perasaan kita terhadap orang lain dan dunia. Tentunya saat orang sedang marah atau takut, sulit bagi kita untuk menentukan perasaan mereka pakai detak jantung. Dengan demikian, kita membutuhkan isyarat lain yang dapat diamati secara visual. Khalsa pun menekankan masih diperlukan percobaan lebih lanjut untuk menentukan apakah sinyalnya memang terkait dengan kemampuan menebak kondisi emosional seseorang.
Untuk sementara ini, penelitian Cortex sekadar menunjukkan bahwa manusia dapat menebak perasaan seseorang hanya dengan melihat wajah mereka. Menurut Kilner, temuannya menimbulkan pertanyaan menarik, seperti bagaimana seseorang bisa melakukan ini dan apakah orang yang lebih jago menentukan detak jantung juga lebih mampu mengenali emosi orang lain.
“Akan sangat menarik jika kita bisa mengetahui apakah orang-orang yang mampu melakukan ini memiliki keterampilan sosial dan berempati yang lebih baik,” tuturnya. “Entah itu benar adanya atau tidak, tapi yang pasti beberapa orang mampu menebak detak jantung orang lain dengan sangat baik.”
Follow Shayla Love di Twitter.