Penelitian: Setiap Manusia Ternyata Sanggup Mendadak Tergoda Korupsi

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Seseorang perlu mengingat perilaku pialang Wall Street di masa lalu untuk menyadari potensi korupsi di negara maju sekalipun. Sikap tidak jujur dan tidak etis untuk kepentingan pribadi memiliki tingkat keparahan berbeda-beda, baik itu di kalangan elit korporasi maupun pemerintahan. Korupsi bisa terjadi pada skala yang kecil pula, dengan warga sipil memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi.

Videos by VICE

Penelitian baru yang digabung menjadi laporan berjudul “The Road to Bribery and Corruption: Slippery Slope or Steep Cliff?”. Laporan tersebut menyiratkan bahwa, jika diberi kesempatan, orang-orang akan terdorong bertindak korup. Misalnya menyuap petugas supaya urusan lebih mudah. Pada makalah ditulis oleh Nils C. Köbis dari University of Amsterdam, tim peneliti awalnya memperkirakan kecenderungan korupsi muncul secara bertahap, memburuk seiring waktu. Köbis menyimpulkan orang-orang justru lebih mungkin melakukan tindak korupsi jika kesempatan muncul. “Kemungkinan terjadinya penyuapan parah yang tiba-tiba adalah 4.82 lebih tinggi dibandingkan kemungkinan penyuapan secara berkala,” tulis penelitian tersebut.

Sebagai contoh, sejumlah pelajar yang berpartisipasi pada percobaan ini diminta membayangkan memiliki sejumlah uang. Satu kelompok diberikan kesempatan untuk melakukan penyuapan “sesekali” yang mampu mendatangkan keuntungan finansial bagi mereka dalam waktu singkat. Pelajar lain diberi kesempatan melakukan penyuapan yang secara berkala akan mendatangkan lebih banyak uang. Kelompok pertama lebih mungkin memanfaatkan kesempatan itu, yang mematahkan anggapan tentang kecenderungan korupsi. Para peneliti menjelaskan hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh ide bahwa melakukan tindakan yang dianggap tidak etis akan membebani. Jadi, lebih mudah untuk berdamai dengan diri sendiri jika kita hanya melakukan tindak korupsi sekali saja—atau sekali-sekali.

Menurut Köbis, orang-orang seringkali menganggap kesempatan tidak jujur seperti itu oke-oke saja, karena tidak ada korban. Atau, mereka merasionalisasikan sikap itu sebagai ‘kejahatan yang tidak serius, sehingga bisa dimaafkan.” Padahal “selalu ada korban dari suatu tindak korupsi,” kata Köbis menjelaskan pada wawancaranya dengan Broadly. “Korbannya bisa jadi tidak dikenal, seperti perusahaan jujur lain dalam lelang sebuah kontrak, hingga korban lebih abstrak seperti masyarakat.” Karena orang yang melakukan tindak korupsi “mungkin tak pernah melihat korbannya… bahkan korbannya mungkin tidak sadar telah terjadi korupsi dan jadinya tidak bisa menuntut ke jalur hukum,” ujar Köbis. Di samping proses rasionalisasi, orang mungkin juga melakukan tindak korupsi seringkali merasa “orang lain juga melakukan hal yang sama di posisi mereka.”

Amerika Serikat dan negara-negara maju di Eropa baru saja mengalami perubahan politik drastis, yang membuat beberapa orang khawatir tentang korupsi di pemerintahannya. Temuan penelitan ini mungkin mengganggu, mengingat betapa mudahnya seseorang melakukan tindak korupsi. Di Indonesia, banyak pula kasus penyuapan terjadi karena keadaan “memaksa” seseorang melakukannya. Köbis bilang banyak negara berusaha memberantas korupsi, namun pertanyaan yang perlu dijawab setiap negara adalah: “apakah tingkat keparahan korupsi meningkat?”

“Riset empiris dan jurnalisme [investigatif] seperti Panama Papers adalah dua cara untuk mengekspos tindak korupsi dan meningkatan akuntabilitas,” ujarnya.