Seorang mahasiswa bernama Idriani Niangtyasgayatri dilaporkan telah menggugat UU tentang pengadilan agama ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon menilai UU 50/2009 tentang Peradilan Agama Pasal 2 dan Pasal 49 telah diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya mengadili perkara antara orang-orang yang beragama Islam. Dua pasal bermasalah tersebut berbunyi:
“Hal ini tampak memberikan perlakuan yang berbeda atau diskriminasi kepada pemohon pada khususnya, keluarga pemohon, maupun kepada seluruh bangsa Indonesia yang beragama selain agama Islam,” tulis Idriani dalam permohonan perkaranya, dilansir Detik. Tuntutan ini sekilas masuk akal. Lembaga ini memakai nama Pengadilan Agama, tapi realitasnya hanya mengakomodasi satu agama saja.
Videos by VICE
Sebagai konsekuensinya, pemohon meminta MK menghapus syarat wajib beragama Islam dalam UU tersebut. Permohonan ini belum disidangkan karena baru diproses bagian kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sepuluh tahun lalu polemik ini sempat dibahas para pakar di Universitas Yarsi, Jakarta. Dalam seminar bertajuk “Penguatan Peran Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Guna Mendukung Pertumbuhan Industri Keuangan Syariah”, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Eman Suparman mengatakan sebenarnya orang beragama bukan Islam sempat diperbolehkan berperkara di pengadilan agama, khusus bidang ekonomi syariah.
Syaratnya, orang non-Islam yang berperkara tersebut harus patuh pada hukum Islam yang diatur dalam Pasal 49 UU 3/2006, UU Peradilan Agama sebelum diperbarui UU 50/2009. “Subjek hukum yang bukan Islam awalnya dimungkinkan sebagai pihak dalam perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Termasuk badan hukum. Ini mengubah paradigma UU No. 7/1989 yang subjeknya hanya terbatas bagi orang-orang Islam,” kata Eman dilansir Hukum Online.
Sayang, kemudian terbit UU 50/2009 yang mengembalikan paradigma lama bahwa subjek pengadilan agama hanya orang Islam. “Saya menilai pembentuk UU tidak konsisten,” komentar Eman.
Di kesempatan yang sama, Dosen Universitas Yarsi Hermayulis mengungkapkan keputusan ini aneh. Pasalnya, pemain bisnis syariah bukan monopoli salah satu pemeluk agama saja. Data dari 2010 menunjukkan bahwa 50 persen dari bisnis syariah dilakukan bukan oleh orang beragama Islam. “Lalu, sengketanya akan dibawa ke mana? Ini jadi permasalahan,” kata Hermayulis.
Data Hermayulis jelas berdasar. PermataBank Syariah misalnya, pada 2014 mencatat 38 persen nasabahnya merupakan non-muslim. Bahkan, PermataBank mengaku merekrut pegawai non-muslim untuk melebarkan sayap bisnis ke pemeluk agama lain. Selain itu, praktisi hukum pasar modal Sutito turut menjabarkan data bahwa lebih dari 50 persen yang nasabah perbankan syariah di Nusa Tenggara Timur adalah nonmuslim.
Selain urusan ekonomi, kesan pengistimewaan satu agama juga tampak di pernikahan dan perceraian muslim yang diurus di Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama, sementara kalau non-Islam diurus di Catatan Sipil dan Pengadilan Negeri. Agak melebar pembahasannya, tapi masih satu frekuensi. Aura istimewa itu juga teraba ketika Februari lalu Menteri Agama mengangkat seorang muslim sebagai pelaksana tugas Dirjen Bimas Katolik.
Sebenarnya semua ini enggak akan jadi problem kalau lembaga peradilan dan Kementerian Agama transparan saja. Ganti nama KUA jadi Kantor Urusan Agama Islam, dan ubah nama Pengadilan Agama menjadi Pengadilan Agama Islam.