Senja berganti malam di pegunungan Mowewe, Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Hampir sebulan penuh, selama September lalu, asap pekat membumbung tinggi memadati udara, menyatu dengan awan. Ratusan hektar gambut terbakar dan terus meluas.
Heriyanto, akrab disapa Heri menginjak pedal gas mobil operasional Brigade Manggala Agni—satuan tugas pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dibentuk Kementerian Kehutanan pada 2003. Misi Heri hari itu berat. Objek yang akan dihadapi sedari pagi hingga senja adalah kebakaran lahan gambut.
Videos by VICE
Heri bertubuh gempal. Usianya 29 tahun. Untuk keluar masuk hutan memang butuh energi berlebih, tapi Heri punya stamina mumpuni. Setibanya di Rawa Tinondo, dia langsung turun lapangan meninjau kinerja Manggala Agni.
Manggala Agni menerapkan strategi sama dengan perang gerilya. Mereka terbagi beberapa regu, menyasar sebaran titik kebakaran gambut yang diperkirakan melalap area seluas 300 hektar lebih. Dikhawatirkan jika tak cepat ditanggulangi, api bakal melalap 100 hektar lahan setiap pekan.
Peperangan di sini berada pada medan terbuka, bersenjatakan selang dan mesin pompa air. Sumber air kunci penentu kemenangan kecil, yang dijangkau dengan jalan kaki berkilo-kilo. Kaki dibuat lelah, sekali-kali membenam ke dalam sekam abu gambut yang baru saja dilalap api.
Manggala Agni dan relawan hanya bersenjatakan selang dan mesin pompa air. Sumber air harus dijangkau teknologi sederhana dengan jalan kaki berkilo-kilo. Selama membawa selang, hampir pasti kaki tim akan terperosok dalam sekam gambut. Kadang badan para pemadam api itu terjeblos hingga nyaris pinggang. “Di sini kalau kaki masuk, harus lebih cepat keluar. Panas sekali apinya gambut,” kata Heri sembari tertawa, di tengah kepungan bara gambut yang terus mengeluarkan asap pekat.
Tidak mudah menangani kebakaran Gambut, sangat menguras energi. Dalam dua jam menyiram air, Heri dan kawan-kawan hanya mampu memadamkan area seluas lima kali lima meter persegi. Untuk menghindari dampak buruk paparan asap, sebagian anggota Manggala Agni yang bertugas enggan kenakan masker. Mereka lebih nyaman melindungi wajah menggunakan kain basah, menyaring asap sekedar hip udara segar ala kadarnya.
“Kami ini pasukan berani mati,” imbuh Heri.
Tapi nyawa memang taruhan bagi personel Manggala Agni. Nasib buruk itu yang dijumpai Asmara, anggota Manggala Agni Daera Operasi Muara Bulian, Provinsi Jambi. Ia tertimpa pohon saat betugas memadamkan kebakaran hutan di Tahura Senami, pada 23 Agustus lalu. Asmara meninggalkan satu istri dan dua anak. Nahas yang menimpa Asmara menjadi pelajaran penting bagi Manggala Agni di Rawa Tinondo.
Mereka harus esktra hati-hati, karena tim ini belum dibekali tabung pemadam api portable untuk memadamkan api, serta tak punya peratalan P3K memadai. Semua risiko itu diganti dengan gaji bulanan sebesar Rp2,5 juta per bulan. Status mereka pekerja kontrak tahunan.
Selain Heri, saya turut menemui Intan Widiyati, perempuan tangguh 19 tahun yang tahun lalu baru lulus SMK Kehutanan di Makassar. Selepas lulus, Intan langsung bergabung dengan Agni Manggala, membantu mengoperasikan drone dan memegang selang.
“Saya suka tantangan berbau adrenalin,” kata Intan sambil menyiapkan peralatannya. “Yang paling berkesan waktu memadamkan api seharian penuh, dari pagi sampai jam 10 malam.”
Usai mengikuti apel pagi, Intan bergegas menenteng tas kotak berisi drone. Dalam sekejap, motor trail yang ditumpangi melaju menuju Rawa Tinondo. Hampir di setiap operasi, Intan merangkap tugas, memantau titik api dari udara, dan tentu saja memadamkan api.
Menerbangkan drone di tengah pekatnya kabut asap bukan hal mudah. Intan tahu itu. Arah angin tak bisa diprediksi. Api pun mengikutinya. Sebentar di sini, sekejap kemudian di sana. Intan harus cekatan dan pandai memprediksi. Dia tak boleh berlama-lama menerbangkan drone, sebab tenaga baterainya terbatas. Dia cuma punya waktu beberapa menit. Baterai cadangan di kantongnya pun cuma satu. Usai menerbangkan drone dan menentukan titik mana yang harus dipadamkan, Intan cekatan bergegas memikul selang, membantu memadamkan api.
“Lebih sulit memadamkan api gambut,” kata Intan dengan peluh bercucuran. “Meskipun dipadamkan pada bagian atas, api tetap menyala di bagian paling bawah yang kering. Beda dengan kebakaran sabana.”
Dengan realita macam itu, tak pelak semua petugas di garis depan dan warga selalu memimpikan turunnya hujan. Malam sebelumnya, hujan sempat turun membuat suasana posko karhutla riuh gembira. Sayang, hanya sebatas gerimis dan berlangsung cepat. Tidak cukup untuk memadamkan api gambut, justru semakin menebalkan asap yang menyelimuti perkampungan hingga pagi hari.
Asap pekat membuat warga di sekitar kebakaran lahan menderita infeksi saluran pernapasan. Dalam beberapa pekan, Puskesmas setempat di wilayah paling terdampak asap menangani 40-an pasien dengan gejala batuk ringan dan sesak napas.
Sementara, sejumlah rumah tangga kalangan ekonomi lemah hanya bisa pasrah, sekeluarga sakit batuk. Rumah mereka jauh dari akses kesehatan dan tak punya biaya berobat. Setiap malam terpapar asap pekat.
Musim kemarau ini benar-benar berat untuk dilalui. Ribuan warga di tiga Kecamatan sekitar kawasan Rawa Tinondo dibuat kelimpungan; meliputi kecamatan Mowewe, Lalolae, dan Tinondo. Kebakaran gambut terjadi setiap tahun.
“Sejak jam 10 malam sampai jam 10 siang asap semua di sini,” ucap Salma, warga kecamatan Lalolae yang sedang hamil tua. “Rasanya pedih, tembus sampai di dada kalau kita bernapas.”
Angin kering di musim timur terus berhembus di dataran lembah kaki pegunungan Kolaka Timur. Hari itu masuk pertengahan September, sengatan matahari tidak cukup terik, cuma mencapai 26 derajat celcius. Pada malam hari menurun drastis jadi 16 derajat celcius.
Lembabnya udara malam memicu asap gambut semakin menjadi-jadi, terasa pekat menyelimuti sejumlah perkampungan. Kabut pagi yang putih tergantikan dengan asap pekat yang keruh.
Asap pekat terus berlangsung. Pelajar sekolah melakoni aktivitas belajar tanpa masker di pagi hari. Bantuan masker dari pemerintah setempat belum terlihat nyata di wilayah Lalolae, meski Bupati Kolaka Timur, Tony Herbiansyah telah menerbitkan surat keputusan penetapan siaga darurat. Disebutkan kemarau menjadi penyebab karhutla di Rawa Tinondo, mencakupi dua Kecamatan: Tinondo dan Lalolae. Potensi luas terdampak sebesar kurang lebih 8.000 hektare.
Rawa Tinondo ditetapkan sebagai Kawasan Strategi Nasional (KSN) oleh pemerintah, bersanding dengan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kedua kawasan itu memiliki nilai penting terkati fungsi hidrologis dan perlindungan habitat rawa.
Sementara, masyarakat yang turun temurun mendiami kawasan Rawa Tinondo membenarkan keberadaan gambut saat air rawa mengering di musim panas. Berdasarkan data kependudukan terbaru, Lalolae didiami 3.840 warga. Mereka sangat bergantung pada kelangsungan ekosistem rawa sebagai sumber pangan. Utamanya tanaman Sagu yang secara perlahan mengalami pengurangan.
“Memang itu gambut dan itu mereka olah. Kalau mereka tidak olah, itu juga tidak akan terbakar habis. Itu tanahnya seperti ada benang-benang, dan mudah sekali terbakar” tegas Amiruddin, Camat Lalolae, yang wilayahnya paling luas terdampak karhutla.
Tonton dokumenter VICE News soal sisi gelap industri sawit yang tidak diregulasi:
Herdianus, seorang petani musiman dengan segudang pengalaman sepuluh tahun bercocok tanam di lahan kering Rawa Tinondo. Namun baru kali ini merasakan kekeringan parah sejak aktivitas perkebunan sawit berlangsung.
“Ini masalah krisis air, kelapa sawit kan kuat menghisap air, mengeringkan, sementara kita butuh air” ungkapnya. “Ini kan lahan gambut. Kalau terbakar merusak lapisan ozon.”
Sekilas memantau Rawa Tinondo dari udara, terlihat saluran menyerupai selokan membelah hamparan lahan gambut. Selain itu, terdapat blok-blok saluran air di perkebunan sawit. Petani menduga pembuatan kanal oleh perusahaan sawit adalah upaya pengumpulan air, memenuhi tingginya kebutuhan serapan air pohon sawit.
La Baco, akademisi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Universitas Haluoleo Kendari, berharap lahan gambut di Rawa Tinondo segera dimasukan dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) revisi terbaru, agar fungsi hidrologisnya tetap terjaga.
“Rawa harus berstatus kawasan lindung. Semua perizinan harus dilakukan secara hati-hati, utamanya gambut” kata Baco.
Mengabaikan kelangsungan gambut akan mengganggu tata air, berdampak kehilangan kantong air. Baco menduga luapan air dari Rawa Tinondo yang kehilangan fungsi menampung air menjadi penyebab jebolnya Bendungan Mowewe II pada akhir Juli lalu. Rawa Tinondo tidak dapat menampung guyuran hujan deras selama dua hari. Bendungan Mowewe terletak di kelurahan Woitombo, berbatasan dengan tepi barat Rawa Tinondo.
“Kalau terbakar sampai 8.000 Ha, luar biasa sumbangan karbonnya,” kata Baco. “Rawa Tinondo lebih bagus dijadikan kawasan lindung untuk budidaya hewan air dan tempat wisata. Disana harus perbanyak penelitian” usulnya.
Tampaknya semua akan setuju. Sebab melihat Rawa Tinondo dari udara, dan fungsinya bagi masyarakat sekitar, rawa tersebut lebih dari sekedar komoditas. Sebab dia memberi kehidupan.