Sigmun adalah jenis band yang langsung terbentuk dengan sempurna.
Mereka menyelinap masuk kancah musik independen Indonesia awal 2010 sebagai empat lelaki bermodal EP yang direkam secara layak, diimbuhi ilustrasi psych rock seakan diambil langsung dari dekade 70-an, serta tata visual penggung yang nampol. Sigmun juga mendirikan sebuah label rekaman—Orange Cliff Record—bersama manager mereka untuk merilis semua karya yang dihasilkan Sigmun dan sekutu psych rock lainnya. Sigmun memang tidak datang sendirian; mereka membawa serta satu anggota kancah pemadat, mayoritas pemuja Hawkwind. Dalam tempo yang sikat, Sigmun menjadi band yang tak bisa kita lewatkan begitu saja.
Debut album Sigmun—Crimson Eyes – dirilis tahun lalu memperoleh ulasan penuh pujian sekaligus dipuja para penggemar. Album debut ini menegaskan posisi Sigmun sebagai salah satu nama yang paling menjanjikan di blantika musik indie lokal.
Videos by VICE
Sigmun dibentuk oleh gitaris-vokalis Haikal Azizi, Bassist Mirfak, Drummer Risyad, dan Gitaris Bob ketika mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa fakultas seni di Bandung. Awalnya, mereka cuma sekelompok sekelompok pemuja musik rock dan metal biasa, yang menurut mereka, “bikin band karena kami pikir main di band rock kelihatannya keren.”
Salah satu band keren paling disukai Haikal dan kawan-kawannya adalah unit retro rock asal Bandung, The S.I.G.I.T, yang riff-riff-nya digilai anak muda pemarah dan pengunjung bar-bar Australia (di Negeri Kanguru The S.I.G.I.T merilis album dan melakukan tur beberapa kali). Saking cintanya Sigmun pada The S.I.G.I.T, ketika Risyad memutuskan keluar dari band, Sigmun langsung merekrut Tama, seorang drummer yang pernah bermain bersama The S.I.G.I.T dan beberapa band lain, termasik unit thrash metal, Donor Darah.
“Kami terpukau melihat penampilannya yang ganas.” ujar Haikal, yang sadar ingin Tama jadi tulang punggung musik Sigmun. Setelah Tama resmi masuk Sigmun, giliran Bob mundur. Dia segera digantikan gitaris baru, Jono.
Nama Sigmun diambil dari tokoh psikoanalis terkenal, Sigmund Freud, sebuah pilihan spontan yang tidak didasari oleh ketertarikan akan hal-hal yang berbau psikologis. Satu-satunya alasan ketika mereka memilih nama itu: Sigmun terdengar keren!
Di awal karirnya, Sigmun mengambil sound The S.I.G.I.T – lengkap dengan kecintaan mereka pada Led Zeppelin – sebagai cetak biru sound, lantas mengimbuhinya nada-nada khas psych rock dan anasir rock progresif.
“Saya rasa kami ingin terdengar seperti Led Zeppelin ketika pertama ngeband,” tukas Haikal. “Ketika kami kuliah, kami sangat mengagumi The S.I.G.I.T dan setelah tahu mereka sangat terpengaruh Led Zep, kami juga mulai menggali inspirasi dari pahlawannya pahlawan kami.”
Penggalian rock 70-an mempertemukan Haikal dan kawan-kawan dengan band-band rock legendaris lain seperti Black Sabbath, King Crimson, Pink Floyd, dan Hawkind. Perkenalan dengan band-band legendaris ini membuat penulisan lagu Sigmun bergeser dari rock yang blues-based ke arah rock yang nge-prog dan penuh reverb. Hasilnya terangkum dalam album mini mereka yang dirilis oleh Orange Cliff: Land of the Living Dead.
EP-EP mereka berikutnya makin pekat dengan psikedelia. Komposisi panjang dan nuansa jamming banyak mewarnai Cerebro dan The Long Haul.
Latar belakang sebagai mahasiswa sekolah seni menjadi aspek lain yang membuat Sigmun berbeda, ujar Haikal.
“[Di kampus] kami diajarkan mode dan metode dalam proses kreatif pembuatan artwork. Ini bisa diaplikasikan dalam proses penulisan lagu,” urainya. “Kami juga diajarkan membuat dan mengaplikasikan konsep yang berbeda. Namun, di saat yang sama, kami diajarkan bahwa kadang konsep tak perlu-perlu amat — bahwa kadang cuma butuh insting saja.”
“Konsep yang kami coba aplikasikan dalam penulisan lagu adalah surealisme and automatisme,” kata Haikal menambahkan.
“Saya rasa kami terus bereksperimen dan terus mencari sound yang tepat,” Mirfak ikut menyahuti. “Kami sih engga mau terpaku dengan satu genre. Jadi, kami berharap bakal terus menemukan sesuatu yang baru dalam proses penulisan lagu dan pencarian sound.”
Judul lagu Sigmun dan lirik gubahan Haikal yang sangat dipengaruhi cerita fantasi membawa kembali kejayaan lirik-lirik progressive dan psyhedelic rock: hasil dari oplosan gaya penulisan lagu yang mengalir, dan itu masih ditopang beberapa pengaruh kreatif lainnya, mencakup karya-karya sastra Haruki Murakami, dongeng-dongeng J.R.R Tolkien, serta animasi dari studio animasi legendaris Jepang, Ghibli.
“Saya lebih sering menulis lirik secara spontan dan intuitif,” kata Haikal. “Biasanya sih mulainya dari nyanyi-nyanyi bebas dan serampangan. Lalu, temanya mulai dibangun dari kata-kata yang keluar begitu saja. Contohnya, dalam lagu “Devil In Disguise”, kalimat pertama yang muncul adalah “All your lies can’t feed a man” — sisanya liriknya baru muncul setelah dengan terus merujuk pada kalimat itu sebagai ide utamanya.”
Idola Haikal dalam penulisan lirik adalah Bob Dylan, Roger Waters, dan Michael Gira dari The Swans.
“Saya suka cara Dylan memapatkan banyak hal dalam liriknya. Perpaduan semua hal ini tak pernah kedengeran aneh dan rasanya punya tujuan serta makna tersembunyi yang dalam—meski dalam kenyataannya, semua itu bisa aja ocehannya saja pas mabuk,” papar Haikal. Ia juga menambahkan bahwa lirik edan Michael Gira sangat pas dengan Sigmun karena justru sangat kontras dengan usaha Sigmun menghadirkan kata-kata yang menyentuh dan tulus dalam Crimson Eyes.
“Crimson Eyes adalah rangkaian tragedi,” ujar Haikal.” Album ini bercerita tentang kematian, hilangnya kewarasan, tentang pengungsi perang, tentang tipu-menipu, tentang setan yang ada di hati setiap orang.
“Lebih dari itu, Crimson Eyes kebanyakan tentang segala sesuatu yang tak bisa saya ungkapkan kecuali lewat musik; Crimson Eyes adalah sebuah pengalaman, sebuah katarsis.”