Manusia konon bisa menemukan kebebasan, justru ketika berada dalam jeratan dan cengkraman. Paradoks pemikiran tersebut menyulut ide seniman Jepang, Yuzuru Maeda, mempopulerkan kostum Zentai ke khalayak. Kali ini, giliran Jakarta yang merasakan pengalaman zentai dari sang maestro. Yuzuru mengundang beberapa seniman di kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, jakarta memakai kostum Zentai. Aktivitas ini disebut Zentai Walk. Yuzuru berkolaborasi dengan tiga seniman Indonesia yaitu Kelvin Atmadibrata, Aziz Amri, dan Rummana Yamanie saat menggelar acara ini.
Oke, sebelum membahasnya lebih jauh, kalian mungkin bertanya-tanya, apaan tuh zentai?
Videos by VICE
Zentai adalah kependekan dari zenshin taitsu, frasa dalam bahasa Jepang. Artinya jika dibedah adalah kombinasi kata zenshin (penyatuan pikiran) dan taitsu dari kata tight (ketat). Secara umum, zentai adalah perempuan ataupun laki-laki yang memakai kostum lateks ketat menutup seluruh tubuh—dari ujung rambut hingga kaki. Udah, gitu doang? Iya. Selebihnya, kalian bisa melakukan apapun selama mengenakan kostum tersebut. Media menyebut subkultur yang mulai berkembang pesat 10 tahun terakhir dari Jepang ke negara-negara lain itu sebagai bentuk fetish. Penggunanya merasa terobsesi dengan penampilan zentai yang membuat mereka aseksual. Sebagian lagi mengaku merasakan sensasi seksual ketika memakai kostum ketat lateks.
Bagi para penggunanya, cap dari media terhadap subkultur zentai sedikit benar maupun keliru sebagian. “Zentai itu lebih dari erotika dan seks,” kata Kelvin Atmadibrata, seniman yang aktif menggagas pentas ini dan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta. “Ketika seseorang memakai Zentai, tidak ada lagi ciri-ciri atau raut muka yang tersisa, menjadikan semuanya sama.”
Definisi inipun tak baku. Orang tetap boleh menganggap zentai sebagai perlambang fetisisme atau erotisme. “Kami tidak mencoba untuk mengingatkan atau memberi tahu orang kalau Zentai itu bukan tentang seks dan sebagainya,” ujarnya.
Kalaupun ada gagasan besar dalam zentai walk di TIM, Kelvin menjelaskan acara ini hendak menggambarkan konsep seorang manusia yang akhirnya tunduk pada kekuasaan. Baju lateks ketat itu, yang dipakai para seniman lebih dari 5 jam. Para seniman kemudian merasa menyatu dengan kostum mereka. Ini pula yang menjelaskan kenapa pentas di Cikini diberi tajuk “Membangun Tanpa Paku”.
“Ketika Yuzuru mengajak saya untuk mengadakan acara pertunjukan seni di Jakarta sepertinya lebih tepat juga sekaligus mengadakan Zentai Walk. Saat mencoba untuk mengajukan ke Dewan Kesenian Jakarta, ternyata mereka juga suka dengan idenya,” ucap Kelvin.
Yuzuru Maeda bukan nama asing dalam komunitas Zentai internasional. Dia menggagas Zentai Walk sejak menetap di Singapura lebih dari satu dekade lalu. Menurut Yuzuru, subkultur Zentai dimulai di Jepang pada awal dekade 90-an. Penggagasnya adalah seniman bernama Masi Anaki, yang menciptakan sepasang bodysuit terinspirasi kostum superhero Jepang dari genre super sentai. “Ada satu lagi orang yang membantu berkembangnya subkultur zentai dan dia dari Bandung,” ujarnya. Artinya, di mata Maeda, Indonesia sudah berkontribusi bagi tradisi mengenakan baju ketat ini sejak awal mulanya dulu. Acara Zentai Walk ini digelar untuk kedua kalinya di Indonesia. Sebelumnya gerombolan manusia memakai kostum lateks berkeliaran di Car Free Day kota Bandung Maret lalu.
Yuzuru berharap semakin banyak orang bergabung melakukan Zentai Walk. Siapa saja boleh ikut terlibat berkesenian. Kostum lateks menutup seluruh tubuh ini menurut Yuzuru dapat membebaskan, membuat banyak orang yang menyukai seni lebih lepas mengekspresikan diri.
“(Orang Indonesia) masih malu melakukan Zentai Walk di tempat umum, padahal ini kegiatan yang sangat menyenangkan jika dilakukan beramai-ramai,” ujarnya. “Zentai itu pastinya akan terus berkembang. Semakin banyak orang yang menggunakan atau memakai Zentai untuk alasan yang berbeda maupun karena mengikuti naluri.”