Petualangan Ricky Santino Jadi Koki Asal Indonesia Pertama Memasak di Antartika

Rumah sejati seorang koki adalah dapur, namun tak ada satupun yang mewajibkan dapur hanya berdiam di satu tempat saja. Memasak bisa dilakukan di tengah laut ataupun di benua es yang sudah dekat dari Kutub Selatan Planet Bumi. Ricky Santino, tukang masak kelahiran Jakarta 41 tahun lalu, menyadari betul fakta tersebut. Makanya selama berkarir sebagai koki profesional, dia berhasil menjelajahi 40 negara, mengarungi nyaris semua perairan yang memisahkan tujuh benua, hingga menjadi koki Indonesia pertama yang memasak di Antartika.

Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang koki memperoleh pengalaman hidup luar biasa yang hanya bisa diimpikan kebanyakan orang tersebut?

Videos by VICE

Ricky, yang kutemui saat berada di kedai kopi miliknya, kawasan Kemang, Jakarta Selatan bulan lalu, adalah sosok yang semangat hidupnya meluap-luap. Sejak masih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung dua dekade lalu—mendalami ilmu produksi dan manajemen makanan—Ricky sadar passion-nya bukan sekadar memasak. Dia mencintai laut dan selancar. “Aku milih kerjaan yang bisa bikin aku travelling,” ujarnya kepada VICE. Makanya, sekira lima tahun lalu, Ricky menolak tawaran bekerja di Dubai, walaupun diming-imingi posisi sebagai kepala chef, bayaran besar, dan konsep restoran yang menarik. Alasannya? Di Uni Emirat Arab dia tidak akan bisa surfing lantaran tidak ada ombak.

Ricky memulai karir memasaknya di beberapa jaringan restoran internasional. Spesialisasinya di awal bekerja adalah masakan Barat. Awal dekade 2000-an, dia memutuskan pindah ke Bali, membuka restoran western food. Bisnisnya maju. Dari sana, Ricky berkenalan dengan banyak koki dan pekerja industri restoran berbagai negara. Akhirnya ada tawaran pindah kerja ke Selandia Baru, sambil sesekali menerima pekerjaan menjadi koki personal para pesohor. Atasan Ricky, lelaki asal Jerman, suatu hari mundur dari posisinya. Dia bilang, ada tawaran bekerja untuk kapal ekspedisi yang rutin mengunjungi Antartika.

“Antartika kayaknya keren nih,” kata Ricky, mengenang responsnya mendengar ada tawaran bekerja di lokasi eksotis macam itu. Namun saat itu dia masih nyaman di Selandia Baru. Perkenalan dengan kawan yang memiliki kapal mengubah arah hidupnya.

Di Indonesia, Ricky awalnya baru sekadar mencintai selancar. Di Negeri Kiwi itulah, dia benar-benar jatuh hati pada kapal dan pelayaran menembus samudra. Suatu hari, kenalannya datang bercerita kalau punya kapal. Ricky diajak beberapa kali merasakan naik kapal layar. Sobatnya itu lalu menawari perjalanan gila naik kapal layar dari Selandia Baru menuju Kepulauan Karibia, artinya menembus Samudra Pasifik.

“Ya udah, jalan sama dia. Pas ditawarin ke Karibia-Selandia Baru, gua bilang “iya, mau,’” kenang Ricky. “Dari situ udah mulai kayak kecanduan berlayar dalam bentuk apa pun, yang penting di atas kapal. Dalam bentuk apa pun, kapal layar, kapal nelayan, kapal sampan. Pokoknya apa pun yang ada di laut ya suka.”

Perjalanan mengunjungi Karibia berlangsung selama delapan bulan, mengunjungi 16 negara. Dari situ, dia teringat mantan bosnya yang bekerja untuk kapal ekspedisi ke Antartika. Ricky memberanikan melamar untuk pekerjaan yang sama. “Aku udah qualified chef. Sudah ada pengalaman berlayar, sudah berani di laut, sudah kerja di laut, sudah masak di laut. Kayaknya kualifikasi gua udah oke nih buat nyoba Antartika.” Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dia diterima pada 2015.

Ricky di dapur kapal, saat memasak di pos Antartika.

Awalnya perusahaan yang mempekerjakannya bukan kapal ekspedisi yang bersandar di Antartika. Ricky lebih dulu memulai karir dengan perusahaan logistik yang rutin bersadar di Ushuaia, Argentina, kota paling selatan dunia. Setahun memasak di sana, Ricky akhirnya benar-benar mendapat kesempatan memasak dengan kapal ekspedisi yang rutin menempuh perjalanan dari Laut Arktik hingga Antartika.

Pada 2016, Ricky akhirnya benar-benar menjejakkan kaki di daratan Antartika yang penuh es. “Kantor kita di peninsulanya Antartika, kadang untuk beberapa trip di Georgia Selatan dan Kepulauan Sandwich Selatan. Itu pertama kali ke Antartika,” ujarnya.

Saban hari Ricky memasak buat kru bermacam masakan. Pengalaman trip gila delapan bulan ke Karibia membuatnya terbiasa memasak di tengah ombak mengombang-ambing. Bahkan ketika suhu di bawah nol derajat sekalipun, dia tetap bisa memasak. Pernah, suatu kali, ketika sedang libur, Ricky menerima ajakan ke Kutub Selatan—pengalaman yang barangkali cuma datang satu kali seumur hidup.

Ricky memasak sate untuk kru kapal ekspedisi Arktik.

Saat menjadi koki di Antartika, Ricky berusaha memasak selain western food, khususnya memperkenalkan masakan khas Indonesia, misalnya sate. Ikrar lebih sering memasak resep khas tanah kelahirannya dia ucapkan setelah mendapat teguran dari seorang juri lomba masak di Selandia Baru. Di lomba memasak itu Ricky sebetulnya mendapat medali perak. Tapi hasil masakannya, sebagai orang Indonesia, justru mendapat cercaan. “‘Ricky, you’re stupid”, kata juri tersebut ditirukan Ricky. “Kamu orang Indonesia tapi masak makanan kita (western), kenapa? Kalau kamu di kompetisi ini masak dengan ada influence-nya sebagai orang Indonesia, kamu pasti menang karena cuisine kamu itu bagus banget.’” Kata-kata sang juri membekas sampai sekarang.

Tentu saja, karena kapal ekspedisi ini rutenya membelah ujung utara hingga selatan bumi, daftar negara yang dikunjungi Ricky bertambah banyak. Pernah Ricky dan kru lain berada 50 hari di lautan, dengan pemberhentian sejenak di tiap pula. Pada momen itulah, dia bisa menginjakkan kaki di negara kecil yang hanya bisa didatangi lewat jalur laut, misalnya St. Helena, Tristan da Cunha, Cabo Verde, hingga South Georgia.

Ricky saat menjejakkan kaki di Kutub Selatan.

Pekerjaan impian itu berakhir pada 2017. Dua tahun puas mendatangi ujung utara hingga selatan bumi, Ricky memutuskan balik ke Indonesia. Memasak masih menjadi mata pencahariaan utamanya. Dia fokus menaikkan pamor makanan Indonesia dan Asia.

Selain itu, dia ingin menularkan kecintaanya pada laut ke orang-orang di Indonesia. Ricky risih melihat pantai-pantai di Indonesia sangat parah tercemari sampah. Makanya, sepulang dari Antartika, dia menggas proyek sosial bernama Oclean.

Dia menggabungkan pariwisata dan kampanye kesadaran lingkungan. Biasanya dia mengajak wisatawan ke lokasi terpencil seperti Panaitan atau Pulau Anak Krakatau. Lalu, para turis tadi diajak hidup bersama masyarakat lokal. Di momen itulah warga setempat dan turis bersama-sama membersihkan pasir pantai sampai bersih total. “Sebenarnya mereka ini lucu. Mereka bayar trip, tapi aku suruh mereka bersihin sampah,” gurau Ricky.

Selain Oclean, Ricky juga mempunyai project membangun kapal dan akan ada boat trips di mana dia mengajarkan bagaimana memasak dalam lingkungan laut atau pulau. Termasuk memberi tips yang tak banyak diketahui orang, seperti merebus kentang pakai air laut. “Karena kandungan garamnya yang sempurna kan. Itu aja bakal keren banget, enak gitu,” ujarnya.

Ke depan, memperbanyak proyek eco-tourism macam ini yang akan menjadi fokus utamanya. Ricky ingin menggabungkan petualangan dan memasak, membaginya kepada para peserta trip yang dia rancang. Dari trip memasak ini, dia berharap semakin banyak orang yang mencintai dan menjaga kebersihan pantai-pantai Tanah Air.

“Masak dan makanan, selalu jadi elemen di project-project aku.”


Jika kalian ingin mendukung kegiatan Oclean, pantau Facebook Page resminya. Informasi trip dan cara ikut berpartisipasi bisa dilihat di sana.

Dea Karina adalah jurnalis lepas yang rutin membagi waktu antara Jakarta dan Yogya. Follow dia di Twitter.