Game Bajakan: Tulang Punggung Budaya Video Game Indonesia
Lapak game bajakan di mal Jakarta Selatan. Foto oleh Arzia Tivany.

FYI.

This story is over 5 years old.

VIDEO GAME

Game Bajakan: Tulang Punggung Budaya Video Game Indonesia

Kami menemui pembajak game yang sudah tujuh tahun melakoni bisnis ini dan yakin tak akan disikat aparat hukum.

Pada 2013, Grand Theft Auto V didapuk sebagai produk hiburan tersukses sepanjang sejarah. Penjualannya mencapai US$1 miliar dalam tiga hari. Itu baru di Amerika Serikat saja. Sampai saat ini, GTA V telah terjual sebanyak 75 juta kopi dalam berbagai macam platform. GTA V juga jadi tambang uang bagi Welly, seorang penjual video game asal Bandung, Jawa Barat. Karena ini di Indonesia, Welly tentu saja bukan penjual game orisinal. Dia menjajakan versi bajakannya. Apa yang dilakukan Welly sudah dipandang lumrah di negara kita. Video game bajakan adalah bagian dari pengalaman bermain game bagi banyak orang Indonesia. Ketika dulu Nintendo menguasai pasar game dunia, gamer Indonesia harus puas dengan SPICA serta kaset game 40 in 1. Sampai sekarang, di era ketika teknologi console membuat upaya membajak game semakin sulit, orang-orang seperti Welly tetap bertahan. Alasannya, bagi sebagian orang di negara ini, membeli game bajakan adalah satu-satunya cara memainkan game termutakhir di PS4 atau Xbox One. "Aku dapat Rp25 juta gara-gara GTA V," kata Welly. "Itu cuma dari penjualan GTA V doang." Video game impor resmi di beberapa toko Jakarta dihargai Rp 680.000 per game—harga yang sangat mahal jika dibandingkan upah harian Jakarta yang hanya senilai Rp90.000. Beruntung masih ada toko-toko game bajakan membandrol game-game terbaru hanya dengan harga Rp20.000. Lewat pasar game bajakan yang diciptakan toko-toko ini, para pecandu game dari kelas menengah ke bawah masih mampu mengakses game-game teranyar. Dampak lainnya, budaya gaming bisa terus berkembang di Indonesia. Namun, tingginya angka penjualan game bajakan punya imbas negatif bagi para produser game. Dalam sebulan, Welly bisa mengeruk Rp8 juta dengan menjual video game bajakan. Game-game termutakhir itu diunduh dari internet untuk kemudian dibakar dalam keping DVD. Berkat crack game kesohor seperti GTA V, keuntungan yang didapat Wellly bisa melonjak tiga kali lipat. Tak satu rupiah pun uang masuk ke kantong Welly ikut mengalir ke perusahaan pengembang game. Praktik ini jelas merugikan. Untuk merancang sebuah game, satu perusahaan bisa menggelontorkan uang sampai jutaan dollar mengongkosi proses pembuatan game yang kadang makan waktu bertahun-tahun.

Iklan

Komputer andalan Welly untuk membajak game. Foto oleh Bramaseta Janottama.

Welly menjalankan seluruh operasinya dari rumah orang tua di Bandung. Seluruh jaringan bisnisnya hanya bermodal enam drive DVD burner dan sebuah PC. Kalaupun ada yang bisa disebut pegawai, itu berarti ibu dan kakak perempuannya. Dia mulai berkecimpung di industri ini awalnya pada 2009, ketika dia mulai menjual games PC KW di forum Internet online. Tak lama kemudian, Welly menyadari dua hal yang persediaannya kurang di Indonesia adalah: Internet berkecepatan tinggi dan burner DVD berkecepatan tinggi.

"Saya telah berkecimpung dalam bisnis ini selama sekitar tujuh tahun," ujarnya. "Mulanya saya iseng-iseng saja, tapi kemudian menjadi bisnis serius dan malah menjadi sumber penghasilan saya satu-satunya." Spesifikasinya amat sederhana. Welly akan buka Internet, lalu mengunduh video game populer versi bajakan. Dia membakar filenya ke kepingan DVD, mengemas dalam wadah plastik, lalu mengirimnya ke pengepul yang mengedarkan ke kios-kios game bajakan di mal. Modal dasarnya hanya DVD kosong seharga Rp5.000 per keping. Welly cuma perlu keluar ongkos harga satu loyang pizza besar untuk mengedarkan game-game seperti GTA V: ongkos itu artinya setara delapan keping DVD kosong. Welly bahkan tidak perlu repot meng-crack game-game tadi. Dia cuma terima jadi. Dia bilang soal crack code adalah pekerjaan para hacker. Bisnisnya cuma fokus menjual game yang telah diretas sebelumnya. Karenanya posisi Welly adalah bisnis yang unik dan bisa hadir hanya di pasar Indonesia. Kita tahu, kecepatan Internet negara ini amat lamban, dan sebagian besar penetrasi Internet di Indonesia digiring oleh ponsel pintar, bukan koneksi broadband. Itulah mengapa bootleg DVD film-film Hollywood dan serial televisi AS masih populer, walau sekarang ada layanan streaming. "Sederhana saja," ujar Welly. "Bisnis (pembajakan game) ini akan terus ada selama internet ada." Seperti software komputer ataupun film-film Hollywood, perlindungan hak intelektual video game memiliki celah abu-abu dalam hukum Indonesia, sehingga jarang disentuh polisi. Welly malah percaya bahwa pembajakan game bersifat legal. "Patokan saya kalau bukan software atau film bajakan, artinya engga ada hukum yang mengatur," katanya. Dia keliru: pembajakan video game sebenarnya bersifat ilegal di Indonesia.

"Game itu sudah dilindungi undang-undang," kata Hilman Fathoni, pengamat isu hak intelektuak dari Creative Commons. "Undang-undang secara spesifik mencantumkan game-game komputer, dan dalam hal itu juga hak-hak pengembang video game."

Masalahnya, Welly memiliki risiko kecil sekali tertangkap.

Welly asyik memainkan game PS4 terbaru. Foto oleh Bramaseta Janottama.

Pangkalnya, karena pengembang game tidak memiliki kantor di Indonesia. Kepolisian mustahil menggerebek jaringan pembajak, apabila para perusahaan game tidak terlebih melapor resmi. Berdasarkan hukum Indonesia, sebuah perusahaan perlu mendaftarkan laporan lebih dulu ketika produk-produknya dibajak sebelum akhirnya akan dilakukan penindakan. Sebagian besar penjual game bajakan cuma pion-pion kecil yang membakar kopian game yang telah di-crack dan diunggah online oleh orang lain. Intinya, kebanyakan pemain kelas teri itu adalah orang-orang macam Welly. Tidak banyak perusahaan game yang siap melayangkan tuntutan hukum melawan seseorang dengan penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan dari penjualan game bajakan. "Jadi bisa kebayang lah kenapa para bootleggers masih bebas berkeliaran di negara ini," kata Hilman. "Jawabannya karena undang-undang tidak berlaku ketika perusahaan video game tidak mendaftarkan tuntutan resmi ke kepolisian." Kalaupun ada gugatan, sebagian besar diselesaikan di luar meja hijau. Hal ini membuat perusahaan asing banyak yang malas menempuh jalur hukum di Indonesia. Hilman mengaku belum pernah mendengar ada perusahaan video game melayangkan tuntutan hukum di Indonesia, meski negara ini dianggap sebagai salah satu negara terburuk dalam hal pembajakan hak intelektual global oleh pemerintah AS. Welly tahu bisnisnya ilegal. Dia pun bersiap jika suatu hari industri video game bajakan runtuh. Dia baru saja mengimpor rilisan game orisinal dari Singapura, lalu menjualnya di Internet. Dia mengeluh margin keuntungannya berbisnis game ori amat tipis.  "Di masa depan kalau hukum Indonesia benar-benar melarang segala hal terkait pembajakan, setidaknya saya sudah mulai jualan yang asli," ujarnya. Hingga saat itu tiba, Welly memilih tetap menghabiskan hari-harinya memasukan DVD berisi video game bajakan ke dalam bungkus plastik. "Industri game bajakan di negara ini akan selalu ada selama permintaan pasar masih ada."