Andai aku bisa memutar kembali waktu, aku mau minta kepada Ibu supaya tidak memberiku nama “Nurul”. Sejujurnya aku bangga menyandang nama itu karena membuat rangkaian namaku punya arti mendalam: perempuan cahaya keadilan.
Kedengarannya keren, kan? Dan memang, arti nama itu sejalan dengan prinsip hidupku. Aku selalu berusaha bersikap adil dan menyampaikan pendapat dengan bijak. Aku paling malas cari ribut, apalagi dengan orang asing di internet.
Videos by VICE
Entah mengapa, belakangan ini aku sering melihat sebutan “The Nuruls” berseliweran di linimasa. Banyak juga mutual Twitter yang menggunakannya dengan nada mengejek. Walau aku kurang mengerti apa maksudnya, aku masih slow dan ketawa-ketawa saja saat membaca twit mereka.
Aku menangkap penggunaannya mirip sebutan “ngabers” yang ditujukan pada cowok-cowok beropini jelek yang berlindung di balik dark joke. Aku pribadi suka kalimat pelesetan “Di luar Nurul, gak masuk Akmal dan tidak habis Fikri” yang ramai di jejaring sosial.
Namun, aku mulai risi dengan sebutan “Nuruls” ketika muncul beberapa twit yang menjurus pada penghinaan. Para “Nuruls” katanya suka memaafkan tindakan kekerasan seksual. Lho kok?! Pemahaman dari mana itu? Sebagai seorang Nurul yang peduli terhadap isu perempuan, aku agak tersinggung membacanya.
Aku paham sebutannya enggak spesifik menyindir orang bernama Nurul. Perempuan dengan nama apa saja bisa masuk kriteria “Nuruls”. Teman-teman yang aktif di Twitter pun tidak pernah meledekku gara-gara meme tersebut. Tapi kalau “ngabers” berasal dari panggilan umum “bang” yang dibalik jadi “ngab”, kenapa versi perempuannya mesti “Nuruls”? Apa korelasinya antara nama itu dan kebiasaan menyalahkan korban pelecehan? Padahal banyak lho Nurul-Nurul di luar sana yang memperjuangkan hak-hak penyintas.
Hasil penelusuran bermuara pada utas Amanda Zahra yang memicu keributan di Twitter awal April lalu. Amanda adalah seorang selebtwit yang akunnya telah diikuti lebih dari 300 ribu orang. Lewat rangkaian twit, Amanda menceritakan bahwa selama bertahun-tahun ia rutin mengalami berbagai bentuk objektifikasi seksual, belakangan secara online. Amanda menunjukkan tangkapan layar gunjingan-gunjingan tentang dirinya.
Tak sedikit orang menuduhnya cari perhatian lewat cerita kesedihan dan foto-foto selfie. Bahkan sampai ada yang tega menyebut Amanda pantas menjanda (nama Amanda pertama kali viral gara-gara gosip suaminya selingkuh dengan seorang aktris) karena suka pamer belahan di internet.
Pelecehan yang dialami olehnya tak sebatas sindiran verbal. Menurut ceritanya, Amanda berulang kali dilecehkan di rumah sakit yang menjadi tempat kerjanya.
Banyak pengguna Twitter di Indonesia menunjukkan wajah asli mereka setelah utasnya beredar luas. Alih-alih berempati, mereka justru balik menyerang Amanda. Mayoritas mention dan quote retweet yang masuk bermaksud malah menyalahkan Amanda karena “duluan mancing-mancing buat dilecehkan”.
Sebagian besar akun-akun yang menghujat tampaknya memasang foto laki-laki, tapi ada pula perempuan ikut melemparkan perumpamaan basi yang membenarkan terjadinya kekerasan seksual. Pendapat mereka sarat akan seksisme dan pola pikir misoginis yang telah mengakar kuat di masyarakat.
Cukup miris sebetulnya melihat reaksi tersebut. Sesama perempuan yang seharusnya mengerti betapa sulitnya bagi penyintas untuk buka suara, malah memilih menjatuhkan.
Satu akun yang mendapat sorotan tajam adalah milik perempuan berhijab. Nama penggunanya tidak aku sebut di sini karena tidak ingin ia diserbu lebih banyak perundung. Sebut saja ia “Si Akun”. Si Akun kedapatan meng-QRT twit Amanda dengan komentar yang menganalogikan situasi pelecehan sebagai perampokan.
Si Akun setuju pelecehan tidak akan terjadi jika perempuan tidak memulainya duluan. Dalam kasus Amanda, jelas-jelas Amanda yang salah karena sengaja upload foto seksi. Setidaknya begitulah pendapat akun ini dan orang-orang yang sepemikiran dengannya.
Situasi semakin panas akibat twit Si Akun, berujung pada perundungan berskala besar serta sindiran-sindiran yang sifatnya personal kepadanya. Si Akun akhirnya menghapus akun pribadi. Namun, sebelum itu terjadi, seseorang mengunggah header Twitter Si Akun dan memberi caption “The Nuruls”.
Meski pengguna itu bukan yang pertama menggunakan sebutan The Nuruls, twit itulah yang membuat masalahnya jadi ke mana-mana.
Aku menemukan beberapa versi penjelasan saat mengulik asal-usul sebutan yang bermakna peyoratif itu. Pertama, Nuruls (dan lawan jenisnya “Naufals”) diciptakan oleh anak muda kalangan menengah yang merasa superior lantaran mereka sudah progresif dan memiliki wawasan yang lebih luas dibandingkan orang-orang yang gemar melakukan victim blaming seperti Si Akun. “Nuruls” muncul untuk membedakan diri mereka.
Lalu ada yang berpendapat julukan itu digunakan komunitas queer untuk menggambarkan ukhti-ukhti yang selalu bawa agama tiap ada diskusi soal gender atau orientasi seksual. Orang yang tergolong sebagai “Nuruls” dikatakan senang menggurui, dan menyampaikan pernyataan ofensif karena ketidaktahuan mereka tentang suatu topik. Tipe orang seperti ini biasanya ditemukan di akun-akun pesan anonim; ciri-cirinya twit pembuka seperti, “No salty ya….”
Di akun autobase sendiri, twit yang mereka kirim sekilas terkesan seperti orang sedang penasaran. Biasanya mereka bertanya seputar keresahan yang hinggap di benaknya, dan mereka mau dengar pendapat orang lain. Rasa ingin tahu mereka sering kali menjurus pada hal-hal yang mereka anggap tabu, seperti membicarakan seksualitas. Akan tetapi, apa yang mereka resahkan menyangkut urusan pribadi orang lain. Dan jika dilihat dari cara penyampaiannya, menfess Nuruls jatuhnya seperti mengejek orang yang dibicarakan, atau mengurusi yang bukan urusan mereka.
Dengan kata lain, sebutan Nuruls diperuntukkan bagi perempuan heteroseksual kelas menengah-bawah yang masih menganut paham tradisional sebab mereka dibesarkan di lingkungan agamis. Sehari-harinya mereka terekspos ajaran konservatif sehingga mereka mengira pemahaman yang mereka miliki tentang dunia adalah yang paling benar.
Nuruls umumnya distereotipekan sebagai perempuan muslimah yang hidupnya penuh dengan kontradiksi. Mereka berkoar-koar minuman keras haram, tapi di saat yang sama mereka juga ngidam soju (makanya sampai ada soju halal, yang mungkin gara-gara mereka).
Belum bisa kupastikan siapa pencetus sebutan Nuruls, dan situasi apa yang membuatnya tercipta. Kalau dari pantauanku pakai fitur Advanced Search di Twitter, julukan ini sudah bermunculan sejak awal 2022, dan sebagian besar penggunanya adalah penggemar K-Pop yang aktif bermain peran (roleplay) atau fangirling lewat akun-akun avatar Korea. Saat itu Nuruls dipakai untuk menyindir mun (sebutan untuk admin akun RP) yang sok suci, tapi “rahim hangat” tiap melihat foto idola mereka. Tak hanya itu, para mun yang seperti ini cenderung suka memberi pendapat pribadi yang rasis dan homofobik.
Entah gimana caranya, Nuruls terus berkembang menjadi seperti sekarang. Sebutannya kini bukan cuma buat pemegang akun Korea, dan sudah ada label baru yang disematkan pada mereka. Gaya berpakaian Nuruls disebut-sebut norak: bangga pamer merek, tapi seleranya jelek. Pembawaan mereka cringe dan kurang berkelas. Sebelum dipanggil Nuruls, sebutan mereka adalah Hyungers, dipungut dari kata Korea ‘hyung’ yang berarti abang.
Secara tidak langsung, julukan-julukan ini classist karena menunjukkan dari mana Nuruls ditatap oleh pemanggilnya. Cap untuk perempuan golongan Nuruls: mereka ini “kampungan”.
Kenapa Nurul? Tampaknya karena Nurul termasuk nama perempuan muslim paling pasaran di Indonesia. Melihat banyaknya opini jelek yang datang dari akun ukhti berjilbab, atau sender yang tampaknya seorang muslimah, nama itu pun dipilih untuk mengelompokkan orang-orang ini.
Nurul bukan nama pertama yang dijadikan sebagai bentuk sindiran untuk kalangan tertentu. Jejak penggunaannya bisa ditelusuri hingga ratusan tahun silam, dan contohnya pun tak terhitung jumlahnya. Sebelum terbit Nuruls dan Ngabers, sempat ada Ichas dan Kezias. Begitu juga julukan-julukan khusus di luar negeri seperti Sandra, Becky, dan yang paling populer, Karen.
Cleveland Evans, profesor emeritus yang mendalami onomastika (asal-usul nama) di Universitas Bellevue, Nebraska, mengungkapkan, sindiran yang berasal dari nama pasaran sudah ditemukan setidaknya sejak abad ke-19. Pada masa itu, julukan “Mick” kerap dipakai untuk menghina orang Irlandia.
“Julukan itu [Karen] hanyalah perangkat linguistik baru yang dikaitkan dengan kelompok tertentu karena adanya persepsi umum tentang kelompok tersebut,” kata Evans, dikutip situs berita web Vox.
Dr. I. M. Nick, mantan presiden American Name Society, menyebut fenomena pengelompokkan orang dengan suatu nama sudah terjadi selama berabad-abad, bahkan lintas budaya. “Nama spesifik yang digunakan, konotasi yang dimaksud dari nama itu, serta orang-orang yang diasosiasikan dengan namanya, sangat bervariasi,” tuturnya kepada Vox.
Sejumlah orang menyebut Nuruls setara dengan Karen, julukan untuk perempuan kulit putih yang bertingkah bak raja di depan pelayan. Sama seperti Karen, sifat mereka bikin orang mengelus dada. Kalau Karen sering kali rese di dunia nyata, Nuruls berulah di jagat maya.
Karen egois dan merasa sok benar. Karen suka menegur orang untuk hal-hal yang relatif sepele, tapi Karen sendiri sering melanggar peraturan. Karen tak segan-segan melaporkan pria Kulit Hitam ke polisi, padahal sebetulnya bukan orang jahat. Mereka langsung berprasangka buruk pada warga Kulit Hitam akibat stereotipe yang dipercaya selama ini.
Sementara itu, Nuruls ngambek gara-gara tokoh putri duyung kesayangan mereka diperankan aktris berkulit Hitam. Walau tidak semua, masih ada Nuruls yang kemakan standar kecantikan kulit bening bercahaya.
Dalam hal penampilan, Karen digambarkan seperti meme perempuan berambut pirang pendek dengan highlight di bagian atasnya. Kata-kata favorit mereka: “Can I speak to your manager?”
Enggak beda jauh dengan Nuruls, yang identik dengan makeup ala idola Korea, pashmina dan kata-kata andalan “Bukan maksud rasis atau apa, tapi…” atau “cuma mengingatkan 🙏”.
Namun, ada yang membedakan sebutan ini dari Nuruls. Perempuan yang dijuluki Karen di negara-negara Barat kebanyakan merupakan kalangan menengah yang memiliki privilese kulit putih. Mereka akan memanfaatkan statusnya untuk mendapatkan apa pun yang mereka mau. Karen berani bersikap semena-mena karena merasa berada di atas lawan bicaranya. Yang mereka pedulikan hanyalah aku, aku dan aku. Semua orang harus mengikuti keinginannya.
Lain ceritanya dengan Nuruls, yang beberapa kali diasosiasikan dengan “cewek kabupaten” yang “udik”. Padahal, Nuruls bisa ditemukan di lingkungan keluarga mana saja, terlepas mereka kaya atau miskin. Yang menjadi penentu utama adalah pola pikir konservatif.
Lantas, apakah benar semua perempuan golongan Nuruls sudah pasti kerudungan dan norak? Benarkah mereka sok suci, atau mereka ngeyel semata-mata karena belum terbiasa dengan dunia yang sudah banyak berubah?
Aku pribadi sepakat perempuan yang dijuluki Nuruls ini bisa sangat menyebalkan, apalagi jika mereka seperti tidak mengerti adab penggunaan medsos yang baik. Semua-muanya mereka umbar tanpa peduli apakah itu pantas dipublikasikan. Tapi soal Nuruls kampungan dsb., kayaknya itu sudah kelewatan deh.