Politik

Usulan Jokowi Tiga Periode Adalah Manuver Elit Politik yang Tak Didukung Masyarakat

Survei terbaru SMRC menunjukkan 74 persen responden lebih suka jabatan presiden dibatasi dua periode saja. Perludem menilai penyebaran wacana tiga periode menerabas konstitusi.
Survei SMRC tunjukkan mayoritas masyarakat tidak dukung wacana Jokowi bisa menjabat tiga periode
Presiden Jokowi mengenakan baju adat NTT saat berpidato di sidang tahunan DPR pada 14 Agustus 2020. Foto dari arsip setpres/via AFP

Saat Indonesia dibelit pandemi Covid-19 yang semakin buruk, sejumlah orang, politisi dan elit pemerintahan mulai bermanuver mengenai 2024. Wacana penambahan masa jabatan presiden Joko Widodo diembuskan, yang kemudian diulas banyak media massa. 

Sejak pertengahan Maret 2024, bermunculan wacana dukungan terhadap pencalonan Joko Widodo sebagai kepala negara untuk ketiga kalinya. Padahal, berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, jabatan presiden paling lama adalah dua periode.

Iklan

Salah satu yang baru-baru ini menyita perhatian adalah kelompok menyebut diri sebagai Komunitas Jokowi-Prabowo 2024, atau disingkat Jokpro 2024. Mereka meyakini tak cukup bagi Indonesia untuk dipimpin oleh politikus PDIP asal Solo, Jawa Tengah, itu selama 10 tahun dan ingin Jokowi kembali menjabat di periode ketiga bersama Prabowo Subianto, pendiri Gerindra yang kini menjabat menteri pertahanan.

Jokowi sudah menyatakan penolakan (mari kita terus mengingat pernyataan ini sampai 2024 kelak) atas dorongan maju lagi untuk periode ketiga. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga [motif] menurut saya: ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” tegas Jokowi, seperti dikutip Jawa Pos.

Tetapi, anggota Jokpro tetap memaksa, bahkan percaya Jokowi akan berubah sikap. “Kita lihat nanti prosesnya bagaimana, konstelasinya seperti apa. Jadi, saya meyakini betul Pak Presiden adalah kepala negara, pemimpin yang sangat mendengarkan suara dan aspirasi masyarakat,” ujar Sekretaris Jenderal Jokpro 2024, Timothy Ivan Triyono.

Iklan

Tidak jelas masyarakat mana yang dimaksud oleh anggota fans club Jokowi dan Prabowo tersebut. Ini lantaran survei terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan sentimen sebaliknya. 

Dari 1.072 responden yang diwawancarai antara kurun 21-28 Mei 2020, sebanyak 74 persen mengatakan ingin presiden hanya bisa menjabat maksimal selama dua kali. Ketika ditanya lebih spesifik apakah mereka mau Jokowi mencalonkan diri lagi pada Pilpres 2024, lebih dari separuh (52,9 persen) mengaku tidak setuju.

Responden yang setuju alternatif lain tidak sedikit. Sebanyak 27 persen melihat seharusnya presiden hanya boleh menjabat satu kali selama lima tahun. Ada hanya 10 persen dan enam persen yang masing-masing mendukung ide presiden berkuasa satu kali, selama delapan dan 10 tahun.

Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menjadi salah satu politisi yang secara terbuka setuju bila presiden dibolehkan menjabat tiga periode. Hal itu diungkapkannya pada Maret 2021. 

“Secara pribadi saya setuju adanya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode sepanjang atas dasar kehendak rakyat yang tercermin dari fraksi dan kelompok DPD (Dewan Perwakilan Daerah),” kata dia.

Iklan

Sementara, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan dirinya menolak penambahan masa jabatan presiden. Peraturan yang ada saat ini, menurutnya, adalah untuk “membatasi kekuasaan baik lingkup maupun waktunya”.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sendiri menilai bahwa usulan agar kesempatan bagi pengincar posisi nomor satu di Indonesia ditambah tidak sesuai konstitusi. 

“Jadi, sekarang kalau kemudian kita ingin menjawab apakah wacana atau usulan untuk mengajukan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau tiga kali lima tahun itu dipastikan sesuatu yang inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi,” kata peneliti Perludem Fadli Ramdhanil.

Artinya, agar Jokowi bisa bergandengan tangan menjadi pasangan capres-cawapres bersama mantan rivalnya saat Pilpres 2019, Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur lamanya presiden berkuasa harus diamandemen. Tentu saja ada yang mendukung usulan ini.

Tetapi, hasil survei SMRC lagi-lagi memperlihatkan sebagian besar responden tidak sepakat. Sebanyak 68,2 persen peserta survei yakin baik UUD 1945 maupun Pancasila tidak boleh diubah. Kemudian, ada 15,2 persen yang meski melihat keduanya dibuat oleh manusia sehingga ada kekurangan, tapi sudah pas bagi Indonesia.

Iklan

Fadli berpendapat pintu masuk lain adalah dari kewenangan lembaga negara dan pembuatan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Misalnya, menghapus pemilihan langsung dan demokratis oleh rakyat, kemudian menyerahkan kewenangan memilih presiden-wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sebenarnya, usulan itu sudah pernah muncul pada 2019. Saat itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ingin MPR kembali punya mandat seperti era sebelum reformasi. Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faisal, menyebut wacana tersebut merupakan pendapat para kiai yang disampaikan ketika Munas Alim Ulama pada 2012. 

Pendapat itu ia sebut relevan mengingat Pilpres 2019 membuat rakyat terpolarisasi sebagai pendukung Jokowi atau Prabowo. “Jadi, kekhawatiran di dalam konstelasi 2019 yang sampai sekarang menyisakan suatu ketegangan yang belum selesai itu yang menjadi kekhawatiran,” ucapnya. “Kalau pola ini terus-menerus menjadi pola ini, kan berbahaya bagi politik masyarakat.”

Berkaca lagi dari survei SMRC, pendapat itu tidak mencerminkan sentimen publik secara luas. Ini karena 84,3 persen orang menyatakan penolakan terhadap wacana mengembalikan pemilihan kepala negara kepada MPR. Seandainya situasi itu terjadi, maka presiden tak lagi bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan para politisi dan partai politik.

Usulan pembuatan GBHN oleh MPR pun dilihat sebagai sesuatu yang tidak tepat. Sebanyak 74,7 persen orang berpendapat skenario itu tidak boleh terjadi lagi.

Pada 2016 lalu, peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai jika GBHN hidup lagi, itu akan berbahaya. Sebelum reformasi, seorang presiden bekerja menurut GBHN yang dibuat oleh MPR. Akibatnya, dia harus tunduk pada apa yang digariskan oleh parlemen, bukan janjinya selama kampanye. 

“Jangan-jangan kekuatan yang diberikan kepada MPR melalui GBHN itu akan dimanfaatkan orang partai politik untuk membuka ruang transaksi [politik] baru,” tuturnya.