Kuliner Ekstrem

Harga Daging Babi Naik Tajam, Banyak Warga Thailand Beralih Makan Daging Buaya

Menurut peternak buaya, rasa buaya selezat daging ayam dan kaya protein.
Lelaki memasukkan kepalanya ke dalam mulut buaya
Lelaki memasukkan kepalanya ke dalam mulut buaya di Peternakan dan Kebun Binatang Buaya Samutprakarn, Thailand. Foto: Amphol Thongmueangluang / SIPA via AP

Daging buaya merupakan salah satu kuliner ekstrem favorit di dunia. Namun, di Thailand, permintaannya melonjak lantaran harga daging babi naik tajam.

Media lokal melaporkan sekitar 20.000 ekor buaya dibantai dan diambil dagingnya, yang telah meningkat dua kali lipat dalam beberapa bulan terakhir. Lonjakan permintaan ini bertepatan dengan menurunnya pasokan daging babi selama setahun terakhir. Ada dugaan penurunan disebabkan oleh wabah mematikan yang mengurangi populasi babi di Thailand.

Iklan

Bak ketiban rezeki nomplok, para peternak bersyukur warga mulai mempertimbangkan daging buaya sebagai alternatif. Kepada Bangkok Post, Wichai Rungtaweechai menerangkan satu ekor buaya dapat menghasilkan kira-kira 12 kilogram daging. Namun, menurutnya, bagian atas ekor menjadi yang terlaris karena rasa yang lezat. Rasa daging buaya digadang-gadang mirip daging ayam.

“Berhubung harga daging babi mahal, orang-orang beralih ke daging buaya yang lebih murah dan enak. Dagingnya juga rendah lemak dan tinggi protein,” tutur pemilik peternakan buaya itu.

Satu kilo daging buaya dihargai sekitar 105 Baht (setara Rp45 ribu), dengan harga grosir 70 Baht (Rp30 ribu) per kilogram. Sementara itu, harga daging babi saat ini mencapai 200 Baht (Rp87 ribu) sekilo.

Daging buaya panggang di Bangkok, Thailand pada Oktober 2019. Foto: Soeren Stache/Picture-Alliance/DPA/AP

Daging buaya panggang di Bangkok, Thailand pada Oktober 2019. Foto: Soeren Stache/Picture-Alliance/DPA/AP

Otoritas Thailand telah mendeteksi kasus flu babi Afrika (ASF) pekan lalu, yang akan semakin merugikan peternak babi dan membuat harganya kian melambung. Peternakan Wichai di provinsi Nakhon Pathom telah kebanjiran orderan sejak pemerintah mengumumkan kasus ASF pertamanya pada 11 Januari.

Penyakit menular oleh virus ini menjangkiti babi domestik dan babi hutan. Meski tidak membahayakan manusia, flu babi mematikan bagi hewan yang terinfeksi. Virusnya kuat dan dapat bertahan hidup di banyak permukaan, bahkan pada daging olahan sekali pun.

Iklan

Penyakit ini telah dideteksi di berbagai belahan dunia, mematikan sedikitnya 6,7 juta ekor babi sejak 2018 dan menyebabkan kenaikan harga. Negara-negara seperti Tiongkok, Kamboja, Vietnam dan Laos paling terdampak wabah ini.

Selama ini, Thailand selalu membantah klaim telah terjadi flu babi untuk menghindari kerugian bagi industri daging babi. Pemerintah justru menyalahkan penyakit virus lain yang mengakibatkan kematian ribuan ekor babi. Namun, begitu kasus ASF dikonfirmasi di Thailand, muncul spekulasi wabahnya sudah lama menyebar dan menjadi alasan harga terus meroket.

Pada 15 Januari, wakil menteri pertanian Prapat Pothasuthon akhirnya mengakui kematian ASF bisa menjadi pemicu kenaikan harga, tapi kemudian menduga adanya monopoli selama musim liburan sepanjang November-Desember.

Follow JC Gotinga di Twitter.