Krisis Kemanusiaan

Bom dan Sirene Perang Mewarnai Ibadah Ramadan Warga Muslim Ukraina

“Ramadan tahun ini sangat berbeda karena tidak ada kebahagiaan sama sekali. Hatiku sakit memikirkan negaraku," ujar Niyara Mamutova, pengungsi dari kawasan timur Ukraina.
Ramadan, Ukraina, perang Rusia, Konflik Rusia-Ukraina
Niyara Mamutova berpiknik bareng keluarga sebelum perang. Semua foto oleh narasumber.

Tahun ini menjadi Ramadan tersulit bagi Niyara Mamutova. Ibu empat anak itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya di Ukraina timur seminggu setelah Rusia melancarkan invasi. Beserta keluarganya, dia kini mencari perlindungan di bagian barat negara tersebut.

Namun, mereka tak sepenuhnya aman dari perang. Ditambah lagi, Mamutova dan suaminya masih punya bayi umur dua bulan. “Kami cepat-cepat mencari tempat persembunyian setiap mendengar suara sirene. Kami tidak bisa berlari ke lantai dasar karena ada bayi. Kami cemas sekali saat sirene berbunyi, dan baru bisa menenangkan diri setelah raungannya berakhir. Itu artinya kami masih hidup,” dia bercerita melalui WhatsApp.

Iklan

Saat ini, Mamutova mengungsi di sebuah kota dekat perbatasan Ukraina dengan Rumania. Mereka tidak boleh keluar selepas pukul 10 malam, yang artinya umat Muslim di daerah itu tidak dapat salat tarawih berjemaah. Alih-alih warga pergi ke masjid, jalanan dipenuhi pasukan Ukraina yang berjaga-jaga.

“Saya merasa tidak aman di kota ini. Ada roket Rusia yang jatuh di sini,” tuturnya. “Kami mendengar sirene tanda bahaya setiap saat — bahaya [diserang] bom.”

Ramadan merupakan bulan paling suci dalam agama Islam. Umat Muslim diwajibkan berpuasa sebulan penuh setiap setahun sekali. Ini waktu yang tepat untuk memohon ampun kepada Allah SWT dan memaksimalkan amal kebaikan. Selama momen-momen berharga ini, umat Muslim biasanya berbuka puasa bersama keluarga dan orang terdekat, salat tarawih di masjid dan bersedekah kepada orang yang kurang mampu.

Perempuan berjilbab berfoto bersama suami, dua putri dan seorang putra

Niyara Mamutova berpiknik bareng keluarga sebelum perang.

“Saya merindukan saat-saat kami bisa mempersiapkan takjil untuk banyak orang, berkumpul bersama dan salat tarawih berjemaah,” kata Mamutova. “Saya tak bisa melupakan ini, dan masih ingat saat kami hidup bahagia.”

Sebelum perang, Mamutova mengisi bulan puasa dengan melakukan bakti sosial bersama teman-teman Muslimahnya di seluruh Ukraina. Tapi sekarang, dia menghabiskan sebagian besar waktu mengkhawatirkan nasib keluarganya. “Saya mengkhawatirkan keselamatan dan masa depan keempat anakku. Mereka tidak bisa sekolah, berolahraga atau melakukan aktivitas seni. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah menunggu perang berakhir.”

Iklan

Bagi warga Muslim Ukraina yang berhasil menyelamatkan diri ke luar negeri, mereka dihantui rasa khawatir akan keselamatan anggota keluarga yang tidak dapat meninggalkan negara mereka.

Setelah 15 tahun tinggal di Irpin, Olha Fryndak memboyong keluarganya ke Jerman pada hari pertama invasi. Mereka harus menempuh perjalanan yang sangat panjang dari Moldova, Rumania, Hongaria hingga Austria untuk mencapai negara tersebut. Di sana, mereka menyewa apartemen dari otoritas setempat. Bepergian membawa anak kecil bukanlah perkara mudah.

“Setiap kali kami pergi menuju negara lain, anak-anak selalu bertanya ‘Mau pulang ke Irpin, ya?’” ujar Fryndak melalui WhatsApp.

Perempuan mengenakan jilbab hijau bersama empat anak kecil

Olha Fryndak dan keempat anaknya berekreasi ke taman dan museum di Kyiv sebelum perang.

“Keluarga besar kami biasanya buka puasa bersama dan salat tarawih berjemaah setiap minggu. Kami bersembahyang di masjid Kyiv dan buka puasa bareng warga Muslim lainnya. Tahun ini, masjid ditutup karena perang di Ukraina. Banyak umat Muslim yang telantar.”

Fryndak rindu merayakan bulan Ramadan di kampung halamannya. Tak ada kenyamanan yang dia rasakan selama di Jerman. Dia tidak bisa buka puasa bersama keluarga, atau salat tarawih di masjid. Anak-anaknya juga tidak bisa mengikuti lomba baca Al-Qur’an seperti yang biasa mereka lakukan di Ukraina. Dia sedih tiap kali teringat teman-teman dan keluarganya yang terjebak di kampung halaman.

Olha Bawazir, mahasiswi 23 tahun asal Kharkiv yang sedang mengejar gelar Magister, memahami perasaan Fryndak. Dia mengungsi ke Jerman setelah tempat tinggalnya diserang pasukan Rusia.

Iklan

“Ramadan tahun ini sangat berbeda karena tidak ada kebahagiaan sama sekali. Hatiku sakit memikirkan negara,” katanya saat dihubungi melalui WhatsApp.

Perempuan berfoto bersama laki-laki

Olha Bawazir dan suami kencan di kedai kopi sebelum perang.

Ini pertama kalinya Bawazir menjalani ibadah puasa di luar negeri. Dia terus berkabar dengan teman-teman dan kerabatnya di Ukraina, tapi dadanya sesak setiap kali memastikan mereka baik-baik saja.

“Perang telah mempersatukan rakyat Ukraina di wilayah timur hingga barat. Orang-orang yang jarang ngobrol denganku sekarang terasa seperti keluarga sendiri,” ucapnya. “Teman-temanku di Ukraina optimis perang akan berakhir karena kebenaran akan selalu menang.

“Sinar matahari akan muncul setelah melewati malam yang gelap,” simpulnya menutup pembicaraan.