Pelecehan Seksual

Gilang ‘Bungkus’ Dijerat UU ITE Karena Polisi Sulit Pakai Pasal Pelecehan, Korban Kecewa

Korban Gilang yang dikerjai fetish jarik berharap kasus di Surabaya ini jadi preseden agar RUU PKS segera disahkan.
Untitled design - 2020-08-07T143342
FOTO SELFIE GILANG SEBELUM KASUSNYA MELEDAK [KIRI], SCREENSHOT DARI AKUN INSTAGRAM @GILANGEIZAN; FOTO BUNGKUS JARIK DARI UNGGAHAN AKUN TWITTER @M_FIKRIS

Kemarahan pada kasus pelecehan seksual bermotif fetish kain jarik yang dilakukan Gilang Aprilian Nugraha Pratama belum akan surut. Seminggu setelah kasusnya dibongkar penyintas di Twitter pada 29 Juli malam, Gilang tertangkap di rumah tantenya di Kalimantan Tengah.

Namun, jerat hukum yang dikenakan oleh Polrestabes Surabaya tak membuat korban puas. Pelaku hanya dikenai UU ITE Pasal 27 ayat 4 dan Pasal 29 tentang pengancaman dan KUHP Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Padahal sejak awal korban sudah menekankan ini kasus pelecehan seksual.

Iklan

Anehnya, di saat yang sama Kapolrestabes Surabaya Jhonny Edison Isir sendiri mengatakan Gilang telah mengakui melakukan pelecehan berkedok penelitian sejak 2015 dan memakan 25 korban. Letak anehnya ada pada polisi yang masih pikir-pikir untuk memakai pasal asusila dalam KUHP.

“Kami mencoba melihat dan menelaah, kira-kira pasal-pasal sangkaan yang bisa diterapkan ke perbuatan dari tersangka ini, antara lain [KUHP] Pasal 292, 297, dan 296 atas nama kesusilaan kita coba kaji, dan memang sejauh ini belum bisa untuk diterapkan kepada perbuatan tersangka,” tutur Jhonny kepada CNN Indonesia.

Apa sih penyebab polisi tak menetapkan kasus Gilang sebagai perbuatan asusila? Jhonny menjelaskan beberapa hal. Pertama, korban bukanlah anak-anak, melainkan sudah dewasa. Kedua, ini adalah kasus sesama jenis. Dan ketiga, Gilang tidak melecehkan secara langsung. Gimana, kesel kan ngeliat betapa kedaluwarsanya sistem hukum kita menghadapi kasus pelecehan seksual?

T, salah satu korban pelecehan Gilang, berharap hukum berpihak pada korban. T sendiri adalah korban pelecehan seksual langsung saat menginap di kosan Gilang di kawasan Gubeng, Surabaya. Setelah diduga diberi obat tidur, ketika siuman ia mendapati dirinya terbungkus kain jarik dengan alat vital yang diraba-raba pelaku.

“Kalau bukti dari para korban memang tidak bisa mengarah ke sana [pasal asusila], ya mau gimana lagi. Saya meyakini nantinya ketika di pengadilan, Gilang akan mendapatkan hukuman yang sepantasnya dan keadilan bagi para korbannya. Semoga para wakil rakyat dapat segera mengesahkan RUU PKS [Penghapusan Kekerasan Seksual] agar korban mendapatkan perlindungan secara hukum,” kata T dilansir Suara.

Iklan

Sebagai perbandingan, pasal UU ITE yang dikenakan kepada Gilang memuat hukuman penjara maksimal 6 tahun. Durasi yang sama juga berlaku jika polisi memakai pasal asusila KUHP. Sementara, jika RUU PKS sudah disahkan, kejahatan Gilang tergolong sebagai eksploitasi seksual (dalam arti kekerasan seksual disertai ancaman dan tipu daya) dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara atau bahkan 15 tahun penjara jika korbannya masih berusia anak. Selain itu, apabila RUU PKS bisa dipakai dalam kasus ini, korban juga memiliki hak mendapatkan hak pemulihan. Draf UU PKS bisa dibaca di sini.

Terbatasnya payung hukum untuk mengadili kasus kekerasan seksual saat ini memunculkan tren pengadilan di media sosial. Namun, “proses” ini menuntut keberanian korban untuk berani duluan buka-bukaan. Lahirnya foto kolase predator seksual berkacamata membuktikan itu fenomena ini.

Viralnya utas pelecehan seksual yang Gilang lakukan membuat Universitas Airlangga (Unair), tempat Gilang kuliah, langsung disorot. Untungnya kampus bertindak cepat menginvestigasi kasus ini yang berujung pemecatan mahasiswa Sastra Indonesia semester 10 tersebut. Meski langkah Unair layak diapresiasi, kita patut curiga karena seolah-olah ada syarat “viral” sebelum kasus kekerasan seksual ditangani dengan benar.

Dijeratnya Gilang dengan UU ITE adalah kabar buruk bagi korban pelecehan seksual lain. Kasus Gilang lebih “beruntung” karena dapat perhatian luas sebab fetish-nya tidak umum dan viral. Korban lain seperti AF di Tangerang Selatan misalnya, harus menempuh jalan lebih berliku.

Iklan

Setahun lalu, korban dipukul hingga pingsan dan diperkosa di rumahnya sendiri oleh pelaku bernama Raffi Idzmallah alias Gondes. Namun, polisi tak kunjung menangkap pelaku, padahal pelaku masih sempat meneror korban di media sosial. Korban lalu menuliskan kisahnya di Twitter tiga hari lalu. Barulah sehari setelah thread viral itu dibuat, polisi meringkus Raffi di kediamannya di Tangerang Selatan. Bener-bener deh ini polisi.

Anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka berpendapat, melihat kasus GiIang, ia merasa pembahasan RUU PKS tidak lagi perlu menunggu pengesahan RKUHP seperti yang direncanakan. Setelah berkonsultasi dengan para pakar, Diah menganggap pelecehan seksual termasuk hukum pidana khusus.

“Tadinya dalam pembahasan RUU PKS, hasrat seksual dipertanyakan dengan sangat keras. Maksud hasrat seksual itu apa? Jadi, begitu ada kasus fetish ini, kita bisa menerjemahkan kenapa hasrat seksual masuk dalam definisi kekerasan seksual,” ujar Diah.

Haduh, Bu. Itu loh setiap Selasa kan selalu ada aksi di depan gedung DPR RI yang menjelaskan betapa pentingnya RUU PKS. Harus ada semakin banyak korban dulu gitu baru kalian pelan-pelan sadar?