Kepolisian Israel mengusir paksa satu keluarga keluarga dari komplek bangunan di kawasan Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur. Penggusuran itu berlangsung pada 19 Januari 2022, pukul 3 dini hari waktu setempat, melibatkan buldozer yang langsung meratakan seluruh bangunan.
Sebanyak 15 orang anggota keluarga Salhiya terusir dari rumah mereka di tengah musim dingin, setelah kalah di pengadilan tinggi saat menggugat rencana penggusuran pemerintah kota Yerusalem. Meski upaya banding di Mahkamah Agung masih berlangsung, polisi zionis melakukan eksekusi lebih dulu, memicu perlawanan dari beberapa anggota keluarga Salhiya.
Videos by VICE
Insiden penggusuran ini segera memicu situasi panas di Palestina. Terakhir kali penggusuran rumah di Sheikh Jarrah terjadi pada 2017, dan insiden itu memicu unjuk rasa berbulan-bulan, berujung pada konflik besar. Akibat unjuk rasa penggusuran Sheikh Jarrah, sempat terjadi serangan polisi ke Masjid Al Aqsa, yang akhirnya menyulut protes besar rakyat Palestina. Dengan dalih mempertahankan diri dari roket Hamas, militer Israel akhirnya membombardir Jalur Gaza tahun lalu.
Diplomat dari Uni Eropa serta Britania Raya mengecam penggusuran yang terjadi pekan ini, menyebutnya sebagai “tindakan ilegal” dalam kacamata hukum internasional. Sheikh Jarrah, sebagaimana mayoritas wilayah Yerusalem, diklaim sepihak sebagai wilayah Israel oleh rezim Zionis. Seharusnya kota suci tiga agama itu merupakan zona netral yang diawasi langsung oleh PBB, tanpa ada satu pihak mengklaim sebagai pemerintahan sah.
Israel secara agresif terus membangun perumahan serta bangunan untuk warga Yahudi, tapi dengan cara mengusir para penduduk Arab yang sudah lama tinggal di kawasan timur Yerusalem.
Dua hari sebelum penggusuran, Mahmoud Salhiya sebagai salah satu sosok yang dituakan oleh keluarga tersebut, berdiri di atas atap rumahnya membawa tabung gas. Dia mengancam akan bakar diri jika Israel mengusirnya dari rumah. “Kami tidak akan pergi, ini rumah kami. Lebih baik kami mati mempertahankan hak atas tanah ini,” ujar Mahmoud.
Pemerintah Israel berniat membangun gedung taman kanak-kanak untuk anak berkebutuhan khusus di bekas rumah keluarga Salhiya. Dalam peta yang dibuat sepihak oleh Israel, keluarga Arab itu dianggap menempati secara ilegal zona yang seharusnya untuk kawasan pendidikan. Keluarga itu sudah hidup turun temurun di Sheikh Jarrah, bahkan sebelum Israel berdiri pasca Perang Dunia II.
Sidang tahun lalu menyatakan keluarga Salhiya harus pindah. Pengacara keluarga lantas mengajukan banding terakhir ke Mahkamah Agung. Namun kala putusan banding belum keluar, polisi Israel sudah bertindak lebih dulu mengusir dan menghancurkan rumah mereka.
Kepolisian Israel menangkap 18 orang yang melawan penggusuran pada dini hari, tidak semuanya anggota keluarga Salhiya, karena dianggap “melanggar putusan pengadilan dan mengganggu ketertiban umum.”
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, mengecam pengusiran keluarga Salhiya, dan mendesak Amerika Serikat turun tangan. Dalam keterangan tertulis, Abbas meminta Presiden Joe Biden “agar serius menghentikan berbagai kejahatan pemerintah Israel terhadap warga Palestina yang tinggal di Yerusalem, terutama di kawasan Sheikh Jarrah.”
Abbas menyebut penggusuran ini hanya satu dari sekian kebijakan rasis yang dilakukan pemerintah Israel terhadap warga Arab Palestina.
Sheikh Jarrah merupakan wilayah Yerusalem yang mayoritas penduduknya masih keturunan Arab. Kawasan ini mulai ramai sejak 1948, ketika mencuat konflik awal pendirian Israel oleh kolonial Inggris. Setelah Israel memenangkan Perang Enam Hari melawan koalisi negara Arab pada 1967, rezim Zionis sukses mencaplok Sheikh Jarrah ke dalam wilayah yang mereka klaim sepihak sebagai ibu kota negara.
Total, ada 350 ribu warga Arab Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur. Meski pemerintah kota secara de facto adalah pejabat Israel, warga Arab menganggap mereka tidak bisa diatur oleh kaum zionis, karena mereka menjadi korban penjajahan yang melanggar hukum internasional.