Ada bagian membingungkan kala musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji ditangkap karena penggunaan ganja. Polisi turut menyita Buku “Hikayat Ganja” milik Anji dan menjadikannya barang bukti. Tindakan polisi terhitung aneh, karena tujuan penerbitan buku itu adalah demi ilmu pengetahuan, seberapa pun berkontribusi dengan cara pandang Anji saat memutuskan mengonsumsi ganja untuk alasan rekreasional.
Pakai logika yang sama, tentunya aneh dong kalau semua buku tentang anarkisme, atau sejarah ideologi tertentu sampai disita sama polisi karena banyak muncul demonstrasi menentang rezim? Oh, itu sudah terjadi di Indonesia? Sori-sori, salah analogi.
Videos by VICE
Penyitaan serupa juga dialami aktor Jeff Smith, yang berhak didaulat jadi pahlawan setelah berani ngomongin pentingnya penelitian ganja medis di depan polisi saat konferensi pers. Di rumah Jeff, polisi menyita empat buku soal ganja, judulnya Strategi Gerakan Lingkar Ganja Nusantara, Hikayat Pohon Ganja, Dunia dalam Ganja, dan Kriminalisasi Ganja.
Sebagai anak muda yang memiliki jiwa prediktif, responsibilitas (sic!), transparan, dan berkeadilan seperti slogan Kapolri, saya meminta pencerahan hukum kepada Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, tentang apakah konten edukatif seperti buku bisa dijadikan barang bukti dalam kasus Anji dan Jeff.
“Ya enggak lah, emang dia ngerokok pakai kertas buku?” kata Erasmus. Aduh, malah saya yang kena semprot gara-gara kelakuan Pak Polisi. “Itu kan paling [pakai Pasal] 127 UU Narkotika. Apa gunanya itu buku? Polisinya mungkin kurang dalam baca KUHAP. Pasal 127 itu soal penggunaan. [Kalau mau membuktikan penggunaan bisa lewat] tes urin kek, dan lain-lain. Malah buku [yang] disita,” tambah Erasmus.
Oke, oke, kayaknya Erasmus kesal banget sama penyitaan buku tersebut. Sekali lagi, sebagai anak muda sekaligus jurnalis dengan jiwa prediktif, responsibilitas, transparan, dan berkeadilan, saya memutuskan menghubungi pihak lain demi opini pembanding. Sosok yang saya mintai komentar adalah Koordinator Penanganan Kasus dari LBH Masyarakat Yosua Octavian.
Walau lebih kalem, pendapat doi sama aja kayak Erasmus. “Menurut hemat saya, penyitaan buku itu bisa dikatakan berlebihan. Dari penangkapan kasus JS di Polres Jakbar juga seperti itu. Lagi-lagi statement yang sama,” kata Yosua.
Hati saya kacau. Bagaimana mungkin polisi yang prediktif, responsibil bla bla bla itu (maaf, Pak Listyo Sigit, habisnya bikin slogan panjang-panjang banget) bisa dianggap praktisi hukum telah salah menerjemahkan KUHAP? Setelah berkonsultasi dengan rubah ekor sembilan, saya melompat kepada kesimpulan konspiratif: jangan-jangan, polisi justru punya agenda mendukung legalisasi ganja medis, namun terbentur oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan para legislator yang close-minded sehingga mencari cara mengedukasi publik tanpa menyalahi aturan? Dhuar, meletus balon hijau.
Maksud saya dan rubah ekor sembilan gini. Pikirin deh, edukasi soal ganja yang kita terima selama ini justru banyak datang dari polisi. Saya yakin kasus Jeff dan Anji membuat banyak orang akhirnya sadar bahwa ternyata ada buku edukasi ganja yang legit di Indonesia. Ini promosi gratis dan masif bagi buku tersebut. Bahkan, Kapolres Metro Jakarta Barat sendiri bilang buku itu “bagian dari edukasi yang bersangkutan [Anji] terkait ganja itu sendiri karena, sudah rekan-rekan pahami juga, di 48 negara bagian di Amerika sudah melegalkan tanaman ganja ini. Tapi itu bukan ranah kami di kepolisian.” Tuh kan, sampai dikasih sinopsis kita. Rispek, salam presisi!
Jadi kepikiran lagi, pejuang legalisasi ganja medis juga dapat perhatian besar dari masyarakat. Lihat aja respons publik ketika Jeff Smith speak up di konferensi pers yang dihelat polisi. Tuh lihat, aparat aja sampai ngasih panggung.
Oke, oke. Mungkin agenda mendukung legalisasi ganja oleh polisi emang terdengar absurd. Tapi, poin bahwa kita justru banyak belajar tentang perjuangan legalisasi ganja medis dari polisi tetap valid.
Pada 2020, polisi dan BNN mengumumkan bahwa pemerintah tegas menolak keputusan WHO untuk membuka jalan bagi penggunaan ganja demi kepentingan medis. Alasannya, negara mengaku udah melakukan penelitian yang menyatakan kandungan THC atau tetrahidrokanabinol, senyawa kanabinoid aktif yang memberi efek pada kerja saraf, pada tanaman ganja di Indonesia terlampau tinggi. Kata aparat, ganja di Indonesia bersifat psikoaktif dan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Masalahnya, ketika ditagih berbagai lembaga di mana hasil penelitian yang jadi landasan argumen menolak legalisasi, BNN-Polri ogah membukanya ke publik. Maka jelas, dari sini polisi mengajarkan kita untuk menjadi insan yang kritis, mandiri, dan mau mencari pengetahuan sendiri. Kalau ada penelitian yang jadi landasan aturan publik, ya seharusnya hasil penelitian dibuka secara transparan agar bisa dikaji ulang oleh para pakar independen. Sikap polisi menutup-nutupi hasil penelitian justru mengajarkan kita bahwa ada sesuatu yang keikan-ikanan sedang terjadi di sini.
Kalau masih merasa saya mengada-ada dan Anda belum percaya bahwa polisi adalah guru terbaik kita di isu legalisasi ganja medis, coba tengok apa yang terjadi di Palmerah, Jakarta Barat, pada 2015. Kala itu, polisi membakar 3,3 ton ganja di lapangan Polsek Palmerah dengan tujuan pemusnahan. Dampaknya, warga sekitar yang menonton ikutan pusing tipis-tipis. Polisi sampai memberi akses free trial penggunaan ganja pada masyarakat.
Rispek, Salam presisi!