Penahanan imam besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab atas pelanggaran pembatasan sosial, ditambah insiden tewasnya enam anggota laskar FPI, berbuntut panjang. Kepolisian menangkap RW, inisial seorang perempuan paruh baya asal Bogor, Jawa Barat, pada Senin (14/12) karena merasa tersinggung.
Dalam sebuah video yang viral di media sosial, perempuan itu menyebut polisi adalah ‘dajjal’ sebab kembali mengurung Rizieq. Dajjal merupakan sosok sekaligus simbol kejahatan akhir zaman dalam ajaran Islam.
Videos by VICE
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus menjelaskan perempuan itu sedang diperiksa di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Ia dituduh melakukan ujaran kebencian dan penghinaan lewat sebuah video berdurasi kurang dari satu menit yang berseliweran di TikTok. Telepon genggam yang digunakan membuat video tersebut dijadikan barang bukti. Polisi memakai UU ITE dan KUHP untuk menjeratnya.
Polisi memang sedang sangat sensitif, terutama soal kasus FPI dalam beberapa hari terakhir. Sebelumnya, Yusri mengancam memidanakan siapa pun yang melontarkan pendapat bahwa FPI tidak memiliki senjata api ketika penembakan di KM 50 terjadi pada pekan lalu. Dia mengkategorikan opini macam itu sebagai kebohongan. Polisi hanya mau versi kronologi mereka yang disebut sebagai fakta.
Narasi polisi versus FPI yang belakangan semakin kuat, membuat publik terpolarisasi. Muncul saling tuding antara dua kubu bahwa siapa saja yang mempertanyakan kebenaran pernyataan polisi berarti mendukung FPI, begitu juga sebaliknya. Namun isu ini segera berubah dimensinya menjadi kebebasan beropini, berkaca pada kasus RW.
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, melihat tendensi otoritarianisme digital di Indonesia pada 2020 semakin mengkhawatirkan. Dalam kasus penembakan terhadap enam anggota FPI, polisi menutup kesempatan bagi adanya perbedaan pendapat. Jika terus diwajarkan, praktik ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi.
“Yang paling kentara memang ada upaya untuk tidak memberi ruang yang cukup pada apa sih kejadian sebenarnya. Padahal, kita seharusnya melihatnya dari dua sisi,” tutur Damar kepada VICE.
UU ITE dan KUHP pun menjadi dua alat favorit yang dipakai polisi untuk menjerat warga. Tuduhan yang dilayangkan biasanya adalah menyebarkan berita bohong atau ujaran kebencian.
Istilah yang disebut terakhir tidak bisa dipisahkan dari meluasnya kebencian terhadap ras, etnis golongan, dan agama tertentu yang menimbulkan ajakan melakukan kejahatan atau diskriminasi terhadap mereka.
Salah satu pertanyaan yang mencuat adalah apakah pendapat atau ekspresi yang menentang atau menghina otoritas, politisi atau pejabat publik merupakan ujaran kebencian?
“Masalah ujaran kebencian juga adalah apakah polisi masuk ke dalam golongan? Kalau lihat undang-undang, kita tahu polisi itu bukan golongan. Polisi adalah bagian dari pemerintah, penegak hukum. Jadi, dia bukan golongan. Jadi, tidak masuk dalam ujaran kebencian,” jelas Damar.
“Tapi, karena kita sudah terlanjur nih di Indonesia itu melebarkan makna ujaran kebencian berbasis SARA tidak hanya pada suku, agama, ras tapi juga antar golongan—nah antar golongannya ini yang sebenarnya lagi diperluas—dianggap profesi juga termasuk golongan.”
Jika pada 2019 lalu SAFEnet melaporkan ada 24 kasus pidana dengan memakai UU ITE di mana pencemaran nama baik dan ujaran kebencian mendominasi tuntutan, pada tahun ada secara agregat angkanya naik lebih dari dua kali lipat. Mulai Januari sampai Oktober, ada 59 kasus yang dipantau oleh SAFEnet.
“Kebanyakan terjadi karena menentang kebijakan Covid-19, lalu mengomentari soal UU Cipta Kerja. Itu paling banyak,” kata Damar. Data yang diperolehnya sejatinya menunjukkan bahwa sekarang yang terjadi adalah pemerintah seperti melawan rakyatnya sendiri. “Kalau sekarang lebih banyak konteksnya jadi masyarakat dimusuhi [oleh pemerintah],” tambahnya.
Langkah polisi yang siaga meringkus warga sipil saat menyampaikan ekspresi atau pendapat berbeda, seolah mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo. Lewat pernyataan resmi yang diunggah di YouTube, Jokowi mengingatkan masyarakat untuk tidak macam-macam dengan polisi.
“Aparat hukum itu dilindungi hukum dalam menjalankan tugasnya. Tidak boleh ada warga atau masyarakat yang semena-mena melanggar hukum yang merugikan masyarakat, apalagi membahayakan bangsa dan negara. Aparat hukum tidak boleh mundur sedikitpun,” kata Jokowi.
“Tapi itu kan aneh ya,” ujar Damar. “Kita tahu aparat punya diskresi untuk punya senjata. Jadi, orang yang punya senjata kan sebetulnya lebih kuat daripada warga sipil yang tak punya senjata.” Ia melihat konsekuensi yang harus dihadapi RW itu tidak layak sebab ia hanya berpendapat. Suka atau tidak, pemerintah bersama polisi sebagai alat kekuasaan negara tak luput dari tudingan telah melakukan kesewenang-wenangan.
“Karena Indonesia dengan karakternya yang sekarang, dengan menguatnya otoritarianisme digital, ya ini bisa dipahami sebagai exercising power. Jadi [ada] tendensi abusive yang kelihatan.”