Popularitas Herman Barus Menyimpan Kontroversi Musik Penceng di Tanah Asalnya

Popularitas Herman Barus Menyimpan Kontroversi Musik Penceng di Tanah Asalnya

Delapan tahun lalu Herman Barus diundang tampil dalam sebuah acara di satu desa Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Bak seorang DJ, dia memainkan musik elektronik non-stop hanya menggunakan keyboard Technics KN-2600. Di sela-sela tempo kencang dia memasukkan melodi-melodi lagu-lagu terkenal, dan beralih ke melodi-melodi lagu lain lewat transisi mengejutkan yang membuat penonton terpukau, tersenyum, bahkan tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepala dan badan. 

Seorang temannya, Tommy Peranginangin, merekam penampilan Herman, sebenarnya penampilan lainnya juga, lalu mengunggahnya ke Facebook dan YouTube. Video-video penampilannya menarik perhatian banyak orang. Dia lantas tak hanya tenar di daerah asalnya, Sibiru-biru, Deliserdang. Herman jadi sering diundang dari kecamatan ke kecamatan di Langkat dan Karo. 

Videos by VICE

Tommy dan media sosial punya andil besar memopulerkan nama Herman sampai menarik perhatian penyelenggara ajang musik, termasuk penyelenggara Joyland Festival, Bali yang menghadirkannya untuk menggeber panggung, Maret 2022. 

Penampilannya itu kemudian membawanya tampil di panggung Syncronize Fest, Gambir Expo Jakarta, Oktober 2022. Herman satu panggung dengan DJ Dipha Barus, membawakan lagu tradisional Karo “Piso Surit”.  

“Ya dia diundang setelah video-video itu [viral],” kata Tommy kepada VICE.

Herman Barus tidak pernah menyangka bakal tampil satu panggung dengan musisi dan band ternama. Pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam.

Satu momen yang tidak dia lupakan ketika tampil di Bali. Ketika malam semakin tinggi, semua penampil sudah selesai menggeber panggung, salah seorang penyelenggara menemuinya dan mengatakan suasana belum sepanas yang diinginkan. Sementara tiket sudah ludes terjual.

“Pecah bikin, Bang. Harus pecah. Tiket sudah habis terjual!” 

Hampir tengah malam, di hadapan ratusan penonton, Herman mengerahkan semua musik penceng garapannya dengan hanya mengandalkan satu instrumen keyboard Karo.

Herman menggambarkan bahwa suasana malam itu begitu riuh.

“Mungkin karena mereka dengar musik ini tidak biasa, apalagi aku hanya main dengan keyboard.” 

Bagi Herman itu salah satu penampilan terbaiknya yang paling banyak mendapatkan pujian, termasuk dari penyelenggara yang mengaku tidak sia-sia mengundangnya.

“Sampai-sampai sound system tumbang malam itu.”

Media sosial membuat Herman terkenal hingga di luar Sumatera. Ini salah satu aksinya yang viral.


Dari keyboard Karo ke DJ   

Musik penceng kerap disebut-sebut untuk menamai jenis musik Herman Barus. Dia mengawali karier sebagai pemain keyboard Karo, dan sering diundang tampil untuk acara “kerja tahun”, istilah untuk acara tradisi suku Karo di Kabupaten Langkat dan Karo sebelum atau sesudah musim panen.  

Ketika berbicara kepada VICE, Herman mengakui musiknya identik dengan penceng, meski dia katakan lebih menyerupai house music yang biasa dimainkan DJ di diskotik. Bedanya, dia memainkannya dengan keyboard dan sesekali menambahkan unsur melodi musik tradisi Karo.

Secara teknis, dia mengaku belajar dan terinspirasi dari Djasa Tarigan.

Djasa semula pemain kulcapi, alat musik petik dua senar tradisi Karo. Pada 1990-an dia memelopori transisi instrumen musik tradisional Karo itu ke keyboard. Muncullah istilah keyboard Karo

Di satu sisi, banyak yang berterima kasih kepadanya. Sampai-sampai dia diganjar berbagai penghargaan, termasuk Maestro dari Technics Jepang pada 2001. Dalam blog Keyboardist Indonesia Community, kreativitas Djasa Tarigan dianggap memicu Yamaha menambahkan Rumba Karo tempo 94 pada Yamaha PSS-680 seri lanjutan yang kerap dipakai Djasa. Di keyboard itu juga tersedia ritem patam-patam, ritem yang sangat lazim dimainkan dalam musik tradisi Karo.  

Namun, inovasi itu juga pernah membuat Djasa dihujani kritik. Inovasinya dianggap mengancam eksistensi pemain musik tradisional. Pernah muncul kekhawatiran, musik tradisi Karo akan dibuat mati oleh keyboard Karo itu sendiri. Pasalnya, masyarakat Karo akan cenderung memilih keyboard daripada ansambel musik tradisi, sebab menyewa seorang pemain keyboard tentu lebih murah dibanding menyewa satu ansambel (grup musik) yang terdiri dari minimal empat pemain musik.

Tuduhan itu sempat ramai-ramai diluruskan sejumlah pengamat budaya dan musik di berbagai situs media lokal. Salah satunya Juara R. Ginting. Dalam sebuah kolom yang dia tulis di Sora Sirulo, dia berargumen kekhawatiran orang-orang bahwa kibot akan menggeser musik tradisional tidak benar. 

Sebagai catatan, sebelum meninggal pada 2013, Djasa Tarigan sempat meninggalkan keyboard Karo dan aktif merevitalisasi musik Karo bersama musisi dan etnomusikolog Irwansyah Harahap. 

“Dia guru saya, saya belajar dari dia,” kata Herman mengenang Djasa. Semasa baru mulai mendalami keyboard Karo, dia beberapa kali bertemu Djasa.

“Berguru secara langsung, tidak. Tetapi dulu [semasa Djasa masih hidup], sering bertemu dan setiap dia main, aku perhatikan cara main dia. Pernah dikenalkan langsung ke dia sama orang yang aku anggap guru.”

Sudah lebih satu dekade Herman menjadi pemain keyboard Karo. Dengan keyboard Technics 2600, Herman memainkan imajinasinya untuk menciptakan musik elektronik dengan menambahkan berbagai unsur turntable, agar mampu membuat ambiens musik semakin riuh. Beberapa musik garapannya dia tampilkan saat diundang tampil di acara kerja tahun.

Beberapa kalangan menyebut musiknya identik dengan penceng, musik yang dia sebut mulai populer di Kabupaten Langkat sejak beberapa tahun terakhir, dan belakangan juga populer di Karo.

“Musik penceng memang banyak yang bilang asalnya dari Langkat, tetapi sering juga ditampilkan di tiap-tiap acara kerja tahun di Karo,” kata Herman. 

Belakangan dia menciptakan beberapa musik elektronik penceng untuk menjawab kebutuhan penyelenggara acara yang menyediakan musik hiburan dunia malam. “Banyak [musik] yang sudah saya buat sendiri, hampir semuanya untuk dugem.” 

Tidak ada ‘musik penceng’ dalam ranah musik Karo 

Dari mana asal-usul musik penceng? Jawabannya masih belum pasti, termasuk di kalangan musisi Karo yang diwawancarai VICE. 

Menurut Yanto Tarigan, putra Djasa Tarigan yang kini juga menjadi pemain keyboard Karo dan mengelola studio rekaman di kawasan Padang Bulan, Medan, jika dilihat dari runutan perkembangan musik Karo dalam konteks kekinian, tidak ada musik penceng dalam ranah musik tradisi Karo.

Kata Yanto, musik Karo hanya mengenal unsur utama: rengget yaitu melodi musik dan nyanyian bercengkok; dan gendang anak sebagai penanda tempo dan irama lagu, yang biasanya dimainkan dengan gendang. Salah satu ritem paling populer adalah patam-patam, menyerupai rumba, dan dianggap sebagai lagu wajib dalam setiap acara tradisi Karo. 

“Tempo musik Karo juga cenderung lebih lambat dan mengayun, bahkan tak jarang biasanya sangat sedih, seperti lagu ‘Piso Surit’ [ciptaan komponis Djaga Depari tentang kisah cinta anak muda berlatar belakang perang melawan Belanda], lalu berkembang ke tempo gembira pasca-Kemerdekaan seperti ‘Famili Taksi’, dan sejumlah lagu-lagu Karo populer lainnya,” jelas Yanto.

Tahun 2003, lagu “Piso Surit” kembali populer ketika Viky Sianipar menggubahnya ulang dan mempopulerkannya melalui MTV. Lagu itu dianggap berkontribusi memopulerkan Viky sebagai komposer maupun musisi.

Masih menurut Yanto, berkembangnya musik Karo, yang kemudian memunculkan musik bernama penceng, bisa terjadi karena perubahan teknologi musik yang semakin maju sehingga berimbas ke musik Karo.

“Sama halnya seperti Bapak dulu mengembangkan keyboard Karo dengan memasukkan ritem patam-patam Karo untuk mengiringi lagu ‘Ini Rindu’ [dipopulerkan Farid Hardja], banyak bermunculan pemain keyboard Karo. Tetapi bedanya Bapak tetap mencoba mempertahankan musik tradisi Karo meski dimainkan dengan alat musik yang bukan tradisi lagi, seperti kulcapi,” katanya. 

Dengerin deh “Ini Rindu” diiringi keyboard Karo mulai menit 01:30.


Bagi Yanto, kreativitas Herman patut diacungi jempol karena berhasil membuat “musik yang unik”. Secara teknis Herman berhasil mengembangkan gaya sendiri dalam permainan keyboard Karo inovasi Djasa. 

Walau begitu, kata Yanto, musik Herman tidak masuk dalam ranah musik Karo.

“Apalagi kalau disebut musik penceng. Tidak ada musik penceng dalam musik tradisi Karo, itu juga yang perlu diluruskan,” katanya. 

Dari sisi ritem, lebih detail Yanto menjelaskan, musik Karo pada umumnya bertempo lambat mengayun. Tempo dasarnya 70 ketukan 8/8, 90 8/8, 95-100 4/4 dan paling cepat bertempo 110-130. “Sedangkan musik Herman Barus lebih kencang.” 

Popularitas Herman Barus Menyimpan Kontroversi Musik Penceng di Tanah Asalnya
Yanto Tarigan berpose dengan kulcapi dan foto ayahnya. Foto: Tonggo Simangunsong/VICE.

Secara historis, katanya, jika pun ada istilah penceng dalam hiburan rakyat, itu merujuk pada penari yang menemani aron (buruh tani) saat acara kerja tahun di kampung. 

“Kalau bisa dibilang, kata penceng ini kesannya rendah, dan penari penceng sekalipun tak mau menyebut mereka penceng,” kata Yanto.

Penyanyi Karo Tata Tarigan sependapat dengan Yanto. Dia telah merasakan popularitas musik penceng sepanjang kariernya. Belakangan orang-orang mengetahui musik penceng sebagai musik untuk hiburan belaka. Pegiat musik dan generasi Karo khawatir akan muncul persepsi musik penceng bagian dari musik Karo.

“Itu yang mungkin tidak banyak orang tahu, sehingga muncul anggapan musik penceng ini musik tradisi Karo. [Padahal] sekalipun penceng sering dihadirkan dalam acara-acara hiburan Karo, tetapi mereka hanya meramaikan saja,” ujar Tata. 

Popularitas Herman Barus Menyimpan Kontroversi Musik Penceng di Tanah Asalnya
Tata Tarigan (kiri) melantunkan sepotong lagu daerah Karo di studio rekaman Yanto Tarigan di Medan. Foto: Tonggo Simangunsong/VICE.

Menelusuri jejak penceng  

Tidak banyak literasi yang mencatat asal-usul penceng (dibaca dengan huruf ‘e’ dilafalkan keras). Di saat yang sama musik ini semakin populer sebagai hiburan rakyat.   

Lilis Wuri Handayani dalam satu tulisannya tentang penari penceng di Jurnal Seni Tari Universitas Negeri Medan menemukan bahwa penari penceng didatangkan dari desa lain untuk menambah keramaian anak gadis setempat saat menari bersama anak-anak muda ketika warga kampung menggelar kerja tahun.

Salah satu acara pengisi rutinitas budaya itu adalah “Gendang Guro-guro Aron”. Ini acara musik dan tarian untuk hiburan. Tarian itu diiringi musik khas yang disebut patam-patam. Sebelum musik elektronik ditemukan, musiknya dimainkan dengan instrumen tradisional, tetapi belakangan hanya dimainkan seorang pemain keyboard. 

Penelitian di sebuah desa di Langkat oleh mahasiswa Universitas Negeri Medan, Filla Delpia Cahya, mendapati bahwa pada saat musik penceng dimainkan, orang-orang biasanya minum minuman beralkohol sehingga menimbulkan keributan dan perkelahian di sesama penonton. 

Menariknya lagi, mahasiswa etnomusikologi ISI Yogyakarta, Syahrul Suciyanto, juga mendapati penceng sebagai tarian untuk mengisi musik selama tradisi merdang-merdem di Desa Dokan, Karo. 

Dalam temuan Syahrul, penari penceng sengaja dibayar untuk menemani para lelaki menari di atas panggung. Penari akan dihadirkan pada penghujung pesta Gendang Guro-guro Aron. “Penari penceng mulai memasuki panggung saat sudah larut malam dan selesainya pada pagi hari,” tulisnya.

Jangan sampai lari dari jalur

Pelabelan musik penceng pada musik keyboard Karo tampaknya bukan cerita baru. Ada yang kadung mempersepsikannya sebagai bagian dari musik Karo, ada juga yang dengan tegas membantahnya.

Dari penelusuran VICE misalnya, di akun Facebook Penceng Pulang Pagi, yang tampaknya sudah lama tidak diperbaharui, bertengger beberapa video berdurasi rata-rata lima menit yang mempertontonkan acara musik dan tarian pada suatu malam meriah. 

Dalam satu video, musik bertempo agak kencang dan mendayu mengiringi seorang perempuan yang sedang menyanyi dan berjoget. Maju mundur, sesekali dia menurunkan pinggulnya. Beberapa orang laki-laki yang ikut berjoget mengikuti irama lagu menyelipkan uang ke tangannya. Bahkan ada anak-anak ikut berjoget bersama mereka.

Dengan suara lantang dan melengking, perempuan itu kemudian melanjutkan nyanyiannya dengan lirik agak nakal. 

“Hei, kawan, dasar sialan, mata keranjang, nggak punya Force One.”

“Musiiik!” lantunnya yang kemudian diikuti musik bertempo kencang.  

Sajian hiburan musik seperti itu sudah awam, tetapi menurut Yanto, itu biasanya terjadi di luar konteks sajian musik Karo, dan semata-mata merupakan kreativitas pemain keyboard dengan biduan atas permintaan audiens. 

“Begitulah memang keyboard Karo ini, ritem patam-patam juga sering dipakai untuk mengiringi musik lain, termasuk pop, dangdut, bahkan rock, lalu orang beranggapan begitulah musik Karo, [padahal] tidak,” katanya.  

Dia tidak membantah itulah konsekuensi perkembangan musik elektronik tradisi. Euforia untuk membuat musik-musik baru tak terelakkan. 

Pendapat lebih tajam disampaikan Brevin Tarigan, seorang musisi Karo yang setia di jalur musik tradisi.

Brevin lahir dari keluarga pemusik tradisional. Ayahnya seorang pemain musik tradisi dan dapat memainkan hampir semua instrumen musik Karo: kulcapi, gendang, dan sarune. Tetapi sang ayah belakangan lebih sering bermain keyboard tunggal bila diundang mengisi acara-acara adat. 

“Bapakku aslinya pemain musik tradisi, sampai sekarang juga masih, tetapi mau tak mau harus belajar main keyboard Karo. Orang banyak minta pakai alat musik itu, mau enggak mau harus ikut arus. Kalau tetap bertahan di musik tradisi, enggak [bisa] hidup di musik itu,” kata Brevin, yang hampir satu dekade aktif melestarikan musik tradisi bersama bandnya, De Tradisi. 

“Sekarang hanya bayar Rp3 juta saja sudah [dapat] lengkap dengan sound system. Pasti lebih mahal kalau memanggil satu grup pemusik tradisi. Wajar saja orang akan memilih keyboard Karo yang lebih murah,” katanya. 

“Bila Djasa Tarigan masih hidup sampai sekarang, mungkin dia akan kecewa dengan apa yang terjadi sekarang dengan musik penceng ini,” katanya. 

Popularitas Herman Barus Menyimpan Kontroversi Musik Penceng di Tanah Asalnya
Brevin Tarigan, kedua dari kiri. Foto: dokumentasi Pribadi.

Dia bilang, meski sesekali diselipi melodi musik Karo, musik penceng sudah bergeser dari esensi musik Karo. “Kreatif ya. Tapi itu sudah tidak lagi ada esensinya, sudah keliru,” katanya.

Dia menghargai musik Herman Barus sebagai kreativitas yang melahirkan sub-genre baru musik Karo. Tetapi, dia tidak setuju dengan dampak yang terjadi. Ia khawatir keaslian musik tradisi Karo akan tergerus.

“Aku khawatir, kalau tidak diluruskan, generasi mendatang mungkin akan justru memahami bahwa beginilah musik Karo,” tandas Brevin.