Perjalanan proses pidana Gilang “Bungkus” Aprilian memasuki tahap akhir. Terdakwa kasus pelecehan seksual fetish kain jarik tersebut harus rela mendekam selama 5 tahun 6 bulan di penjara, setelah vonis dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (3/3).
Gilang dinilai terbukti memaksa Fikri, korban pelecehannya, membungkus diri dengan tiga kain jarik, dua lakban, dan tali rafia sembari direkam untuk memenuhi hasrat seksual eks mahasiswa Universitas Airlangga tersebut. Permintaan aneh ini dibalut alasan “penelitian” untuk memanipulasi para korban. Fikri juga merupakan korban yang pertama bersuara, dengan cara memviralkan pelecehan seksual Gilang di Twitter.
Videos by VICE
Gilang dianggap hakim telah melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena pelecehan dilakukan lewat media percakapan daring. Selain itu ia melanggar UU Perlindungan Anak dan KUHP Pasal 289 karena korbannya berusia anak-anak. Selain penjara, Gilang Bungkus didenda Rp50 juta atau bisa diganti kurungan tiga bulan.
“Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Gilang Aprilian Nugraha Pratama selama 5 tahun 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Khusaini saat membacakan putusan di Ruang Tirta I PN Surabaya.
Gilang menghadiri sidang secara daring dari Polrestabes Surabaya. Menanggapi vonis tersebut, Bambang Soegiarto selaku kuasa hukum Gilang, menyebut pihaknya akan menggunakan hak pikir-pikir selama tujuh hari sebelum menentukan sikap menerima atau banding.
Keputusan sama juga dilakukan Jaksa Penuntut Umum Yusuf Akbar. Soalnya, vonis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa yang minta Gilang dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 6 bulan dibui.
Kasus yang sudah mau selesai ini menciptakan momen reflektif khas masyarakat Indonesia: dari Gilang Bungkus kita belajar apa?
Psikolog klinis Nirmala Ika menyebut, warganet bisa belajar untuk tidak keburu sok tahu apabila menemui kasus serupa Gilang. Vonis apa yang sebenarnya terjadi pada pelaku sebaiknya diserahkan pada pemeriksaan klinis dari pakar yang kompeten.
“Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi, perlu pemeriksaan oleh orang-orang yang kompeten dengan persoalan tersebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk orang tersebut,” kata Nirmala kepada Antaranews. “Itu [pemberian label] jelas memberikan dampak kepada orang yang bersangkutan dan kadang sering kali malah membuat dia ‘makin buruk’ karena merasa marah dan tidak dipahami.”
Sementara untuk korban kasus pelecehan seksual, Nirmala meminta masyarakat juga tidak keburu ngasih stigma negatif karena tidak ada manusia di dunia ini yang mau jadi korban. Terakhir, Nirmala berharap kasus Gilang bisa menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan seksual tidak hanya berbentuk pemerkosaan, melainkan juga eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan, dan pemaksaan kontrasepsi. “Itu sebabnya RUU PKS [Penghapusan Kekerasan Seksual] penting sekali untuk dikaji dan disahkan,” kata Nirmala.
Bagaimana kalau kita curiga seseorang di lingkungan kita punya fetish yang yang membahayakan?
Dokter spesialis jiwa dari Primaya Hospital Alvina menerangkan fetisisme kerap muncul karena dua hal: pelaku pernah menjadi korban perilaku seksual menyimpang, kalau tidak ya berkembang sendiri di masa puber.
Namun, Alvina memberi batas bahwa fetisisme sudah bisa dianggap gangguan jiwa apabila yang dilakukan menimbulkan kerugian bagi dirinya dan orang lain. “Misalnya, seseorang mencuri pakaian dalam dan menimbulkan rasa tidak aman bagi lingkungan,” kata Alvina kepada Kompas. Kalau yang begini sih harus segera ambil tindakan karena masih ada harapan bisa dipulihkan lewat terapi psikologi.