Pertengahan Desember 2022, Presiden Singapura Halimah Yacob mengumumkan niatnya untuk menerapkan hukuman cambuk bagi predator seksual yang berusia 50 tahun ke atas. Ide itu berawal dari keprihatinan presiden atas tingginya angka kekerasan seksual yang menimpa anak-anak.
Selama ini, tahanan di Singapura dibebaskan dari hukum cambuk jika mereka sudah masuk kelompok usia tersebut. Tidak diketahui atas dasar apa narapidana yang berusia 50-an mendapat pengecualian.
Videos by VICE
“Para pemerkosa harus tetap dihukum cambuk meski usianya sudah 50 tahun,” demikian bunyi postingan Facebook Halimah pada 19 Desember.
“Sangat ironis jika mereka tidak merasakan sakit dihukum cambuk, padahal mereka telah menyebabkan luka dan trauma mendalam pada korbannya,” Halimah menambahkan.
Akhir-akhir ini, kasus anak-anak dilecehkan banyak menghiasi pemberitaan media di Singapura, yang tak jarang pelakunya anggota keluarga sendiri.
Pada November, seorang ayah dilaporkan memerkosa putrinya dalam keadaan mabuk. Lelaki 37 tahun itu divonis hukuman penjara lebih dari 10 tahun, disertai 12 kali pukulan cambuk. Hukuman cambuk di Singapura biasanya diberikan untuk tindak pidana kekerasan seksual hingga perdagangan narkoba dan vandalisme.
Selanjutnya pada 15 Desember, hanya empat hari sebelum Halimah mengusulkan hukuman itu, seorang ayah berusia 54 harus menjalani hukuman hampir lima tahun penjara karena memperkosa putrinya selama enam tahun, sejak anak itu berusia 10 tahun. Hukumannya ditambah empat minggu sebagai ganti hukuman cambuk.
Pengecualian hukuman cambuk juga diberikan kepada lansia 65 tahun yang melecehkan cucunya yang baru enam tahun. Menurut jaksa penuntut, sang kakek memperlakukan cucu layaknya “mainan seks”. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun sembilan bulan pada awal tahun lalu.
Unggahan Halimah di Facebook telah memicu berbagai reaksi di dalam negeri. Beberapa mempertanyakan batas usia yang selama ini berlaku, sedangkan lainnya menentang pemberian hukuman yang menyakiti fisik.
Adrian Tan, ketua Law Society of Singapore, menilai pengecualian ini bisa muncul karena adanya diskriminasi usia. “Kalau kamu masih punya stamina untuk memerkosa, seharusnya kamu juga bisa menahan sakitnya dicambuk,” tulisnya di LinkedIn.
Sementara itu, aktivis beranggapan hukuman cambuk kurang efektif mengakhiri tindak kejahatan.
Association of Women for Action and Research (AWARE), kelompok advokasi yang memperjuangkan kesetaraan gender di Singapura, merilis pernyataan di Facebook tentang keberatannya terkait penerapan hukuman cambuk. Menurut organisasi itu, hukuman fisik macam cambuk “mewajarkan kekerasan” dan memperkuat gagasan otoritas hanya bisa ditegakkan melalui “dominasi fisik”.
“Sampai sekarang, kami belum menemukan bukti hukuman cambuk mampu memberi efek jera, atau mengurangi kasus kekerasan seksual. Juga tidak ada bukti hukuman cambuk lebih kuat daripada penjara, program rehabilitasi atau bentuk hukuman lain yang tidak melibatkan kekerasan fisik,” demikian bunyi pernyataannya.
Organisasi AWARE lebih lanjut menyinggung potensi penyintas urung melaporkan pelaku, terutama bila mereka terikat secara emosional. Hukuman yang keras dapat menambah tekanan batin penyintas, sehingga penegak hukum seharusnya lebih peka terhadap trauma yang mereka hadapi.
“Kami yakin hasilnya lebih efektif jika fokus pada area ini, yang jauh lebih mendesak, daripada meningkatkan hukuman pidana,” Corinna Lim, direktur eksekutif AWARE, memberi tahu VICE World News.
Di Singapura, para terpidana yang menjalani hukuman cambuk akan dipukul bagian bokongnya pakai rotan oleh petugas lapas. Pengakuan dari mantan napi menyingkap dampak negatif cambuk terhadap kondisi fisik dan psikologis mereka. Menurut mereka, dicambuk sama sakitnya seperti ketempelan besi panas, sedangkan pukulan rotan akan meninggalkan luka robek. Beberapa orang bahkan jadi sulit berjalan. Para tahanan yang dihukum cambuk akan diobati sesudahnya.
Maksimal hukuman yang diberikan dalam satu kesempatan yaitu sebanyak 24 kali. Tapi kalau napi sudah tidak kuat dicambuk, sisanya akan ditambahkan ke masa hukuman penjara maksimal 12 bulan.
Parlemen Singapura telah mendiskusikan kelayakan hukuman cambuk untuk lansia pada September 2021. Seorang anggota mengusulkan layak tidaknya terpidana menjalani hukuman cambuk seharusnya ditentukan sesuai kebugaran tubuh mereka. Selama rapat, mereka sekaligus mengesahkan undang-undang yang meningkatkan hukuman penjara maksimum untuk beberapa bentuk kekerasan seksual.
Namun, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura K Shanmugam tidak mendukung hukuman cambuk untuk pelanggar berusia 50 ke atas karena jumlah kasus kejahatannya “tidak seberapa jika dibandingkan dengan lelaki di bawah 50 tahun”. Shanmugam berpendapat menaikkan batas usia tidak akan mengakhiri masalahnya.
Singapura terkenal keras dalam menerapkan hukum, tapi negara itu semakin menjadi sorotan internasional sejak mengeksekusi mati pemuda berkebutuhan khusus yang terbukti menyelundupkan narkoba pada April lalu. Para pegiat HAM di dalam negeri aktif menyuarakan reformasi sistem hukum secara keseluruhan.
“Karena sudah terbiasa dengan sistem hukum yang cenderung punitif, kita warga Singapura percaya bahwa otoritas berasal dari hukuman,” terang Kirsten Han, pendiri Transformative Justice Collective yang memperjuangkan reformasi peradilan pidana di Singapura. “Tapi kita harus mulai mempertanyakan ‘apa gunanya semua ini?’”
“Apakah kamu benar-benar ingin mengakhiri kejahatan dan melindungi rakyat, atau kamu cuma ingin memukuli orang yang menurutmu bersalah?” pungkas Han.