Cannabis Sativa, biasa kita juluki ganja atau mariyuana di Indonesia, adalah tanaman dengan sekian manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Kalian bisa menggunakannya sebagai bahan baku kain, kertas, penyedap masakan, hingga meredakan nyeri bagi penderita penyakit berat.
Namun, tanaman ini mendapat stigma buruk, karena ekstrak daunnya mengandung zat THC, dianggap setara narkoba kelas satu di berbagai negara. Stigma itu makin mengental di negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim, seperti di Jazirah Arab.
Videos by VICE
Sudut pandang otoritas keamanan Jazirah Arab, mencakup Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Bahrain, hingga Kuwait, terhitung menolak pemanfaatan mariyuana atas alasan apapun. Padahal di banyak negara selama 10 tahun terakhir, ganja mulai bebas diteliti secara mendalam, terutama terkait manfaat medisnya. Di negara-negara Barat citra ganja pelan-pelan berubah, dan kini berkembang menjadi industri besar.
Maka cukup menarik bila kalian tinggal di Timur Tengah, lantas menemukan sebuah situsweb dalam bahasa Arab yang secara gencar mempublikasikan berbagai manfaat mariyuana, khususnya untuk terapi medis. Situs tersebut, Canaarab (atau Canbus al-Arabi), merupakan buah kerja keras Malik Sfeir. Dia adalah pembuat film dokumenter asal Arab Saudi, sempat bermukim di Amerika Serikat, lantas menemukan sisi lain ganja yang mengejutkan bagi seorang muslim sepertinya. Seri dokumenter Malik seputar mariyuana membuatnya diganjar penghargaan piala emas dan perak di ajang Clio Cannabis Campaign.
Satu film garapan Malik, bertajuk A Saudi’s Journey with Cannabis, dimanfaatkan pegiat mariyuana di AS sebagai salah satu bukti pendukung dalam audiensi dengan anggota parlemen. Bisa dibilang, Malik secara tidak langsung terlibat advokasi panjang sekian tahun lalu, yang berbuah manis: saat ini 22 negara bagian di Amerika Serikat melegalkan konsumsi, budidaya, serta kepemilikan ganja untuk individu. Negeri Paman Sam, yang dulu terkenal sangat keras mengkriminalisasi pengguna mariyuana, bahkan menjuluki tanaman ini “pintu gerbang yang menjerat anak muda pada narkoba”, mulai mengubah sikap.
“Saya tergerak untuk menyorot sisi lain mariyuana karena melihat ada orang-orang baik yang membutuhkannya,” ujar Malik dalam cuplikan dokumenternya.
Sosok seperti Malik jelas langka di Jazirah Arab. Karenanya saya menyempatkan ngobrol bersama Malik, membahas alasannya aktif mengampanyekan manfaat ganja, penyebab tanaman ini dipandang negatif oleh penduduk Arab, sekaligus membicarakan sekilas perjalanan hidupnya. Berikut cuplikan obrolan Malik bersama VICE:
VICE: Sejak kapan kamu mulai peduli pada manfaat mariyuana?
Malik Sfeir: Dulu saya cenderung membenci mariyuana, menganggapnya seperti narkoba lain yang berdampak buruk bagi manusia. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Serikat untuk lanjut kuliah 10 tahun lalu, pandangan saya masih negatif pada ganja. Saya tumbuh besar di Arab Saudi, sehingga saya terbiasa mendengar kampanye “say no to drugs”, termasuk untuk konsumsi mariyuana. Pikiran saya mulai berubah ketika bertemu Charlotte Figi pada 2015. Semua asumsi saya tentang mariyuana berubah drastis. Figi adalah gadis kecil yang mengidap epilepsi parah. Dia bisa mengalami kejang hingga 300-an kali dalam seminggu. Semua terapi medis standar gagal, dan Figi berisiko terkena serangan jantung jika masih terlalu sering kejang.
Keluarganya yang frustrasi lantas menjajal terapi CBD, ekstrak minyak mariyuana. Hidup Charlotte berubah dalam semalam. Kejangnya mereda (Figi akhirnya meninggal pada 2020 di usia 13 tahun–red). Menyaksikan perjuangan Charlotte dan keluarganya sekaligus mengubah saya dalam semalam. Saya berpikir, kalau memang ganja memiliki manfaat positif meringankan beban penderita penyakit berat, kenapa banyak negara memusuhi tanaman ini?
Keberhasilan sosok gadis kecil itu terbebas sejenak dari efek epilepsi parah membuat saya jadi tertarik mendalami segala informasi seputar mariyuana. Saya sampai DO dari kuliah film, lalu lebih sering membuat dokumenter dengan topik pemanfaatan mariyuana untuk kemaslahatan manusia. Saya membantu keluarga mendiang Figi untuk mendorong legalisasi terapi mariyuana di Amerika Serikat. Salah satu film saya dari periode tersebut misalnya “God’s Plant“, menceritakan perjuangan seorang petani di Kentucky yang dipenjara 17 tahun karena membudidayakan ganja, sampai akhirnya dia diberi amnesti oleh Presiden Barack Obama.
Menurutmu, apa yang paling disalahpahami masyarakat soal mariyuana?
Tentu saja status legal tanaman ini. Cannabis Sativa secara obyektif tidak bisa disetarakan dengan tanaman bahan baku narkoba lainnya seperti heroin atau kokain, karena efeknya pada tubuh secara fundamental berbeda. Penderita penyakit berat tidak pernah kecanduan bila mengonsumsi minyak CBD dari ganja untuk terapi. Apalagi zat CBD secara alamiah dapat kita temukan dalam tubuh manusia, seperti pada air susu ibu.
Setidaknya, setiap negara perlu mendorong kajian lebih lanjut mengenai efek positif mariyuana terhadap beberapa reseptor di saraf dan otak kita yang belakangan dijuluki sistem endocannabinoid. Sudah banyak penelitian di berbagai negara menunjukkan efek positif macam itu. Ketika manfaat medis mariyuana terbukti sahih, dan tidak menyebabkan kecanduan saat diresepkan untuk terapi, maka masyarakat umum harus tahu. Film dokumenter yang saya buat, maupun situs cannaarab, merupakan upaya untuk mengubah miskonsepsi seputar ganja.
Lantas bagaimana ceritanya kamu bikin situs advokasi ganja dalam bahasa Arab?
Niatnya sederhana, saya ingin orang yang bisa berbahasa Arab memahami berbagai manfaat positif mariyuana dalam terapi medis. Banyak penduduk negara Jazirah Arab yang sepertinya belum menyadari, kalau sudah ada lebih dari 10 ribu penelitian ilmiah mengenai manfaat cannabis bagi kesehatan. Misalnya, meredakan gejala kejang epilepsi, gangguan kecemasan, depresi, serta alternatif pereda nyeri bagi pasien kanker. Semua penelitian itu punya dasar ilmiah yang kuat.
Situs ini lantas saya posisikan sebagai sarana edukasi umum, agar setidaknya pengguna internet yang berbahasa Arab pelan-pelan menyadari ganja tidak selalu berkonotasi buruk. Makanya, di situs ini saya masukkan materi wawancara saya dengan penderita autisme atau depresi dari negara-negara Arab yang kondisinya membaik setelah terapi dengan CBD. Ada juga materi obrolan saya dengan para dokter spesialis dari negara Timur Tengah membicarakan terapi ganja. Tak hanya itu, saya memasukkan juga informasi mengenai potensi ekonomi pemanfaatan mariyuana, termasuk modal yang dimiliki negara Arab jika berani mengambil peluang tersebut di pasar ekspor.
Apakah kamu mendapat penolakan atau kecaman karena membuat situs macam ini?
Mayoritas interaksi dan respons netizen justru positif, berkebalikan dengan asumsi awal. Saya sudah siap kalau dimaki-maki atau di-bully online. Ternyata banyak kok yang memberi komentar positif, serta mengajak diskusi lebih lanjut soal manfaat terapi CBD untuk penyakit berat. Diskusi saya di platform Clubhouse ada yang sampai dihadiri 600 orang berbahasa Arab, mayoritas pesertanya terbuka pada potensi pemanfaatan ganja untuk medis.
Tentu saja ada orang yang marah-marah, menganggap saya ingin merusak tatanan masyarakat Arab, serta mengajak anak muda mengonsumsi narkoba. Saya cenderung mengabaikan orang yang marah tanpa alasan. Kalau mereka yang kontra terlihat masih bersedia diskusi, saya tak keberatan melayani mereka ngobrol panjang lebar soal berbagai aspek budidaya mariyuana. Tapi kalau sudah terlanjur membenci buta, ya percuma juga kita beri penjelasan serasional mungkin. Setidaknya, saya percaya persepsi negatif soal mariyuana di jazirah Arab hanya bisa diubah lewat edukasi terus menerus. Situs ini salah satu ikhtiar menuju ke sana.
Apa pandanganmu bila orang Arab menolak pemanfaatan mariyuana karena berpegang pada ajaran Islam?
Saya bersimpati pada mendiang Figi dan keluarganya, karena saya punya sepupu yang meninggal akibat epilepsi. Keluarga besar tidak terlalu percaya pendekatan medis, dan mendiang sepupu saya dulu sering di-ruqyah oleh sheikh di masjid jami. Gejala epilepsinya dianggap sebagai dampak sihir. Berulangkali ruqyah, nyatanya kejang sepupu saya makin sering kambuh. Dia meninggal setelah lama menderita, tanpa pernah mendapat penanganan memadai. Andai ganja tidak pernah dimusuhi, dan terapi CBD diterima oleh masyarakat Arab Saudi, saya membayangkan sepupu saya setidaknya tidak akan semenderita itu menjelang ajalnya. Bayangkan ada berapa pasien penyakit berat di luar sana yang bisa terbebas dari nyeri dan kejang, andai kita tidak otomatis membenci hal yang kurang kita pahami seperti mariyuana.
Lagipula, Islam tidak sepenuhnya menolak penggunaan psikotropika untuk kepentingan medis kan? Lihat saja, berapa banyak rumah sakit di jazirah Arab yang menggunakan obat-obatan pereda nyeri atau morfin untuk operasi. Padahal morfin jelas masuk kategori haram, jika pemanfaatannya bukan untuk medis. Dengan prinsip yang sama, masyarakat Arab sebetulnya bisa memberi kesempatan bagi terapi mariyuana.
Menurutmu, apakah mungkin negara-negara Arab berhenti mengkriminalisasi pemanfaatan mariyuana?
Tanaman cannabis sebetulnya sudah dikenal oleh orang arab dan peradaban Islam sejak lama. Malah, kalau kita melihat biografi Avicenna, beliau merupakan ilmuwan muslim yang mempelopori pemanfaatan mariyuana untuk terapi kesehatan. Padangan negara Arab terhadap mariyuana, sayangnya, mulai berubah mengekor kebijakan perang narkoba yang dicanangkan Amerika Serikat. Kita ingat, kampanye memerangi ganja secara khusus dikobarkan oleh presiden AS Richard Nixon pada 1971. Kebijakan Amerika menetapkan mariyuana sebagai narkoba kelas satu itu kemudian diekspor, dan diamini begitu saja oleh negara-negara Arab.
Saya percaya, ini hanya soal waktu. Masyarakat umum hanya perlu diyakinkan dengan data serta referensi ilmiah mengenai manfaat mariyuana. Tentu saja, wajar bila ada yang khawatir bila legalisasi dilakukan begitu saja, tanpa regulasi ketat. Namun regulasi jauh lebih baik dibanding membiarkan pasar gelap peredaran ganja, terutama yang mutunya rendah, terus berlangsung di negara-negara Arab. Saya berharap, kampanye saya ini akan meluas dan dilakukan berbagai pihak lainnya, sehingga pemerintah di tiap negara Arab menyadari manfaat untuk meregulasi pemanfaatan minyak CBD untuk terapi.
Saat ini baru Lebanon yang melegalkan pemanfatan mariyuana medis, apakah menurutmu akan ada negara Arab lain mengikuti jejak serupa?
Tentu saya berharap kebijakan serupa diadopsi sebanyak mungkin negara Arab. Masalahnya, situasi Lebanon memang unik. Berbagai varian hemp di Lebanon tumbuh liar sejak lama, sehingga ada kebutuhan di mata pemerintah untuk meregulasi pasar produk olahan mariyuana. Sementara, negara Arab lain tidak secara alamiah memiliki budidaya mariyuana.
Setidaknya, di Arab Saudi sekarang produk olahan cannabis sudah boleh diperjualbelikan untuk kosmetik dan perawatan tubuh. Itu saja termasuk langkah bagus, yang membuka jalan bagi perizinan terapi CBD, serta budidaya seluruh varian tanaman mariyuana secara umum.
Saya berasal dari keluarga yang cukup makmur, sehingga kalau ada universitas di Saudi yang berniat meneliti ganja, saya tak keberatan membiayainya dengan kocek pribadi. Selain aspek kesehatan, penelitian macam ini bisa berfokus pada manfaat produk olahan legal lain dari ganja. Potensi ekonominya tinggi dan bisa bermanfaat bagi Saudi pada akhirnya.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat nilai pasar untuk berbagai produk olahan cannabis diyakini bisa mencapai US$60 miliar pada 2025. Itu potensi ekonomi yang jangan sampai kita lewatkan. Minimal, kerajaan Saudi harus menyadari bahwa ganja bukan cuma untuk diisap sebagai rokok lintingan, tapi juga punya manfaat ekonomi serta kesehatan yang menjanjikan. Amerika Serikat saja sudah mulai berubah sikap, masa negara Arab terus bertahan dengan pandangan lama yang keliru?
Apakah kamu mendukung pemanfaatan ganja untuk rekreasi?
Saya menghormati kebebasan orang melakukan apapun, termasuk mengisap ganja untuk mendapat asupan THC demi bersenang-senang. Tapi saya sendiri hanya peduli pada minyak CBD, yang jelas bermanfaat secara kesehatan. Zat THC sebagai varian lain ekstrak ganja harus diakui memiliki efek terhadap kerja otak dan kesadaran manusia secara umum. THC, menurut beberapa kajian, juga dapat mempengaruhi perkembangan otak.
Saya cenderung menganggap THC perlu dipisahkan dari kampanye soal manfaat ganja. Dari penelitian yang saya baca, konsumsi ganja untuk senang-senang sebaiknya baru dilakukan setelah orang berusia 25 tahun, agar tidak terlalu berisiko. Perlu diingat juga, bahan dasar mariyuana untuk THC berbeda dari hemp yang dipakai jadi bahan baku ekstrak minyak CBD. Untuk tanaman ganja yang kuncupnya diekstrak jadi CBD, kandungan THC-nya cuma 0,3 persen.
Ini pula yang memicu kesalahpahaman masyarakat maupun pemerintah. Sebanyak 94 persen riset negatif soal efek ganja muncul akibat subyek penelitiannya fokus pada THC. Baru 6 persen riset di dunia ilmiah yang mendalami sisi positif CBD. Tapi saya optimis kajian ilmiah soal ganja akan berubah di masa mendatang. Perusahaan farmasi di AS sudah mulai sering meneliti ganja berkat perubahan kebijakan di puluhan negara bagian. Alhasil dunia ilmiah dari negara lain pasti akan segera mengikutinya.
Terima kasih atas obrolannya Malik!
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Arabia