Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) mengumumkan adanya problem serius yang menghantui kampus-kampus yang tidak dibiayai negara. Merujuk data terakhir yang dilansir Republika, Senin (10/8), sebanyak 70 persen mahasiswa kampus swasta menunggak pembayaran uang kuliah tunggal (UKT). Pemicunya adalah pandemi Covid-19 yang membuat para mahasiswa, terutama dari kalangan menengah ke bawah, tak memiliki biaya studi lantaran orang tuanya kehilangan penghasilan.
Menurut Ketua Aptisi Budi Djatmiko, problem tunggakan UKT ini terutama dialami perguruan tinggi swasta kecil di daerah-daerah yang tak termasuk kota besar. “Karena PTS kecil biayanya murah, mereka yang sekolah dari rata rata orang tidak mampu, nah saat begini, mereka yang justru kena dampak,” kata Budi dalam wawancara khusus dengan Republika. “Hanya 30 persen [mahasiswa PTS] yang pada bayar.”
Videos by VICE
Indikasi problem PTS ini sudah muncul sejak Mei 2020, ketika kebijakan PSBB digencarkan pemerintah Indonesia, membuat semua kampus beralih ke kuliah dan ujian virtual. Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar, kala itu memperingatkan risiko besar yang membayangi kampus-kampus swasta. Musni saat itu meminta adanya bantuan biaya operasional dari pemerintah kepada PTS, mengingat kampus partikelir sepenuhnya mengandalkan UKT yang disetorkan mahasiswa saban semester.
“Pemerintah lebih mengutamakan PTN ketimbang PTS dalam pembiayaan pendidikan. Walaupun menurut undang-undang tidak membedakan PTN dan PTS,” kata Musni, seperti dikutip Rakyat Merdeka.
Aptisi mendorong rektorat kampus swasta untuk lebih kreatif mencari dukungan biaya operasional selain dari pemerintah, mengingat APBN kini juga dibutuhkan untuk mitigasi Covid-19. Budi berharap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau elemen swasta di daerah bisa terlibat mendukung PTS agar tidak kolaps akibat pandemi.
“Tentu kami ingin semua pihak ya, sekarang tudak bisa mengandalkan pemerintah saja, karena mengandalkan pemerintah itu kita tau sendiri pemerintah dalam kondisi ini banyak prioritasnya,” kata Budi.
Problem lain kini menyusul setelah angka penularan Covid-19 di Tanah Air tak kunjung mereda dan ekonomi masih lesu. Kompas.com melaporkan jika banyak PTS di berbagai provinsi mengalami penurunan pendaftar untuk tahun ajaran 2020/2021, yang berisiko memperpanjang risiko kesulitan keuangan kampus-kampus swasta. Kondisi ini diperburuk mundurnya proses seleksi masuk PTN akibat pandemi, sehingga banyak calon mahasiswa masih mengurungkan niat mendaftar ke kampus swasta.
“Secara obyektif diprediksikan [banyak PTS] akan terjadi penurunan [calon mahasiswa] karena dampak negatif pandemi corona adalah selain di sektor kesehatan adalah penurunan kemampuan ekonomi dan daya beli masyarakat golongan ekonomi menengah-bawah,” kata Wahono Sumaryono, selaku Rektor Universitas Pancasila.
Untuk menyiasati agar minat calon mahasiswa mendaftar PTS tetap terjaga, beberapa rektorat mengeluarkan kebijakan pembayaran uang pangkal lebih lunak, memperbanyak beasiswa, serta menambah frekuensi tes masuk secara online.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengakomodasi permintaan PTS, dengan memberikan bantuan operasional, mengutip laporan kantor berita Antara. Sasaran dana ini terutama kampus-kampus swasta kecil di provinsi yang tak masuk kategori kawasan pendidikan favorit seperti Yogyakarta atau Malang. Anggarannya sebesar Rp1 triliun, dengan pemanfaatannya diharapkan dapat meringankan UKT 410 ribu mahasiswa PTS.
“Kami prioritaskan karena PTS banyak di remote area [daerah] yang memang bekerja untuk orang-orang yang tidak mampu,” kata Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikbud Abdul Kahar pada 3 Agustus lalu.
Meski begitu kebijakan Kemendikbud masih diprotes oleh aliansi mahasiswa PTS dan PTN, dengan menggelar demonstrasi berulang kali sejak Juni hingga Agustus 2020.
Pada 3 Agustus 2020, dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) melaporkan Mendikbud Nadiem Makarim ke Komnas HAM. Mendikbud dinilai melanggar hak asasi manusia dengan mengabaikan protes besar beruntun dari mahasiswa yang keberatan dengan besaran UKT saat ini. Selain itu, Nadiem juga dianggap membiarkan kampus merepresi mahasiswa yang menggelar protes soal biaya kuliah. Sejak April, demonstrasi online dan offline telah dilancarkan merata di semua pulau, dari Sumatra, Maluku, Nusa Tenggara, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan seantero Jawa.
Contoh represi yang dibiarkan Kemendikbud, menurut pelapor, adalah hukuman drop out, skorsing, dan peringatan keras dari Universitas Nasional Jakarta kepada 11 mahasiswanya yang menuntut diskon UKT serta transparansi penggunaannya.
Protes mahasiswa juga menyasar ke Kementerian Agama yang mengatasi perguruan tinggi keislaman negeri (PTKIN) se-Indonesia. Terutama karena awal April lalu Kemenag sempat merilis surat edaran penurunan nominal UKT, namun segera dicabut tak lama kemudian.