Keadilan

Kuli Bangunan Sumut Korban Penyiksaan Polisi Kesekian, Supaya Mengaku Lakukan Kejahatan

Metode barbar berulang kali dilakukan sebagian polisi agar terduga pelaku mengakui kejahatan yang tak mereka lakukan. Peraturan Kapolri mencegah praktik lancung ini kurang bertaji.
Kuli Bangunan di Sumut Jadi Korban Penyiksaan Polisi Supaya Mengaku Jadi Pembunuh
Ilustrasi tahanan yang sedang diinterogasi. Foto oleh Romeo Gacad/AFP

Setrum, pukul, injak, tendang. Model penyiksaan di ruang interogasi masih dilestarikan polisi. Selama terduga pelaku berakhir mengucap pengakuan dari mulutnya sendiri, cara-cara biadab dianggap efektif menyelesaikan kasus meski sering kali yang ditangkap bukanlah pelaku sebenarnya.

Insiden dugaan penyiksaan oleh polisi terbaru dilaporkan terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Sarpan (57), seorang kuli bangunan, mengaku digebuki polisi di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan karena dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan Dodi Somanto, anak buahnya sendiri. Padahal, ia diamankan di kantor polisi dalam status saksi.

Iklan

"Saya menjadi korban keberingasan oleh oknum Polisi di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan. Sebab, di sana [saya] dihujani pukulan bertubi-tubi. Padahal, saya sudah mengatakan bukan pelaku dari pembunuhan itu. Namun, tetap saja disiksa sampai sekujur tubuh dan wajah jadi begini," ujar Sarpan kepada Delinewstv. Dari foto yang beredar, Sarpan menderita luka lebam, terkhusus bagian mata.

Dodi Somanto dibunuh pada 2 Juli 2020 dengan sekujur luka di bagian dada. Sarpan, sebagai mandor Dodi, dipanggil polisi pada 3 Juli sebagai saksi kasus. Nahas, saat masuk ruang penyidik, Sarpan malah disuruh jongkok dengan sebatang kayu di belakang lutut serta mata dan mulutnya ditutup. Tanpa penjelasan, ia mengaku dipukuli di bagian dada dan perut hingga diinjak-injak dalam tahanan. Sembari menerima siksaan, saat itu Sarpan tidak tahu mengapa dirinya disiksa.

Barulah dalam interogasi yang dilakukan setelahnya, polisi menuduh Sarpan berselingkuh dengan pemilik rumah yang sedang ia kerjakan, perbuatan ini ketahuan Dodi sehingga tercipta motif pembunuhan versi polisi.

Menemukan kondisi suaminya yang babak belur di sel tahanan, istri Sarpan melapor kepada warga. Sekelompok warga segera mendatangi kantor polisi dan menuntut pembebasan Sarpan. Pada 6 Juli, Sarpan dibebaskan dengan luka memar di sekujur tubuh. AZ, yang diduga pelaku sebenarnya, juga sudah ditangkap polisi.

Kapolsek Percut Sei Tuan Otniel Siahaan membantah tuduhan penganiayaan saksi dan menolak pemulangan Sarpan akibat desakan warga.

Iklan

"Tidak benar, kami atau penyidik tidak ada menganiaya saksi. Dia kami mintai keterangan terkait kasus pembunuhan terhadap Dodi Somanto. Kendalanya, keterangan saksi kurang pas dengan pelaku. Padahal, dia berada di sekitar rumah itu saat kejadian pembunuhan. Jadi, keterangan dari Sarpan sudah cukup. Makanya sudah diperbolehkan untuk pulang. Bukan karena ada desakan dari massa. Kami selama ini bekerja profesional, tidak benar jika kami menganiaya saksi," ujar Otniel kepada Tagar.

Sarpan berkukuh dengan pengakuannya. Dia berencana membawa kasus penyiksaan yang menimpanya ke Propam Polrestabes Medan atau Polda Sumut untuk diusut. Niat memerangi praktik lancung polisi ini mengingatkan publik kepada kasus penyiksaan dan salah tangkap lainnya yang melibatkan enam pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan.

Fikri Pribadi, Fatahillah, Arga Putra Samosir, Muhammad Bagus Firdaus, Nurdin Prianto, Andro Suprianto dituduh polisi membunuh pengamen lain bernama Dicky Maulana. Jasad Dicky ditemukan di kolong jembatan Cipulir, 2013 lalu. Sama seperti Sarpan, pada awalnya keenam pengamen dibawa ke polisi untuk diperiksa sebagai saksi.

Mereka memang kelompok pertama yang menemukan jasad Dicky dan melaporkannya ke aparat. Sesampainya di kantor, metode barbar digunakan malah digunakan. Para saksi yang masih di bawah umur ini disiksa polisi, dipaksa mengaku sebagai pelaku.

"Habis dari polsek dibawa ke polda saya diinjak [badannya]. Dibawa ke lapangan, setelah itu dibawa ke TKP di kolong jembatan. Itu saya dikemplangin kepala, dikerubutin polisi," ujar Ucok, yang saat itu masih berusia 13 tahun, dilansir CNN Indonesia. Korban salah tangkap ini dipukul, disetrum, dilakban wajahnya, dan dibekap plastik sampai kesulitan bernapas.

Iklan

Tidak tahan siksaan, keenamnya mengaku dan divonis bersalah. Andro dan Nurdin baru bebas pada April 2015 dengan ganti rugi Rp36 juta masing-masing sebagai korban salah tangkap, empat sisanya baru bebas pada Januari 2016 dan merencanakan serangan balik. Sayang, gugatan keempatnya kalah pada sidang praperadilan, 2019 lalu.

Contoh lain, demo besar September 2019 membuat masyarakat mengenal nama Luthfi Alfiandi, pemuda pemegang bendera merah putih yang fotonya viral itu. Dianggap melawan aparat dan merusak fasilitas umum, Luthfi ditangkap.

Dalam kesaksiannya di persidangan, Luthfi pun mengaku disiksa oknum penyidik Polres Jakarta Barat. "Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setengah jam lah. Saya disuruh ngaku kalau lempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar. Karena saya saat itu tertekan, makanya saya bilang akhirnya saya [yang] lempar batu. Saat itu kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga," ujar Luthfi dilansir Kompas.

Berdasarkan laporan pengaduan yang masuk ke KontraS sejak 2011-2019 , ada 445 kasus dugaan penyiksaan tahanan oleh polisi dengan 693 korban.

Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mengatakan, penyiksaan terjadi karena polisi kerap memaksakan keterangan terduga pelaku untuk mengumpulkan bukti. "Hal ini terjadi karena masih ada aparat yang kurang cakap dalam menggali informasi perkara sehingga mereka menggunakan metode penyiksaan," ujar Putri kepada Tempo.

Iklan

Putri juga menilai penyiksaan polisi masih subur karena belum ada aturan khusus untuk pelaku. KUHP mengatur soal penganiayaan, namun terminologi “penganiayaan” yang dicantumkan di sana belum kuat.

Di sisi lain, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengakui kalau anak buahnya emang masih ada yang suka menyiksa, namun itu cuma oknum.

"Kami memang masih mendapat laporan ada anggota polisi yang menyiksa tahanan, padahal itu tak diperbolehkan," ujar Dedi.

Peraturan Kapolri 8/2009, kata Dedi, sudah tegas melarang adanya penyiksaan terhadap tahanan. Mabes Polri mencatat sepanjang Juni 2018-Mei 2019 ada 91 kasus dugaan penyiksaan tahanan oleh anggotanya. Sebanyak 75 aparat terlibat dikenakan sanksi disiplin, sisanya kena turun jabatan atau dipindahtugaskan.