Ruwetnya Royalti Musik

The Store Front: Ikhtiar Gerai Musik Masa Kini Mendukung Musisi Independen

The Store Front adalah ruang digital alternatif bagi musisi independen di Indonesia bertemu pendengar. Pasarnya kecil dibanding platform streaming, tapi bagi hasilnya untuk musisi lebih adil.
Profil The Store Front Platform musik digital baru di Indonesia dari Noisewhore yang fokus dukung musisi independen
Foto ilustrasi pendengar musik lewat platform streaming dan musisi independen via Getty Images

Laporan ini adalah artikel ketiga dan terakhir dari seri liputan VICE mengurai lika-liku mekanisme royalti yang belakangan dianggap belum bisa menyejahterakan musisi independen di Indonesia. Tulisan pertama bisa dibaca di tautan ini, tulisan kedua bisa dibaca di tautan ini.

Iklan

Argia Adhidhanendra sudah mengabdikan sebagian waktunya untuk merayakan musik-musik arus pinggir sejak 2013. Pada tahun itu, ia mendirikan kolektif musik Noisewhore bersama sohib SMA-nya, Kareem Soenharjo, sebagai cara mendukung musisi yang mereka sukai. Mereka membuat banyak zine, banyak gig, dan segera tumbuh menjadi titik kumpul banyak insan dengan musik-musik baru potensial.

Pergerakan Noisewhore meyakinkan banyak orang bahwa semua jenis musik akan menemukan pendengarnya selama diberi panggung.

Namun, satu panggilan telepon dari solois Harlan Boer pada 2020 lalu mendorong Argia menemukan cara lain mendukung musisi independen. Dalam percakapan itu, Harlan meminta album terbarunya, Bersambung, dirilis di bawah naungan Noisewhore meskipun kolektif ini bukanlah label rekaman. Gerai musik digital yang ada saat ini dianggap Harlan kurang adil bagi solois independen dengan warna musik sepertinya.

Argia mencari cara sampai akhirnya mampu mengakomodasi keinginan Harlan. Ketika platform sewa-dengar seperti Apple Music, Spotify, dan JOOX sudah sangat populer, ia justru kembali ke konsep digital download sebagai cara menikmati musik. Uang dari pembeli akan ditukar tautan untuk melakukan unduhan. Lagu akan tersimpan di ponsel. Pendengar memiliki lagu dari musisi yang ingin didukungnya. Praktik jual-beli musik ini lebih menguntungkan musisi.

Setelah cetak biru sistem terbentuk, Argia merasa bisa memanfaatkan model yang sama untuk banyak musisi lain dengan keluhan serupa. Maka pada September 2020, dirilislah situs toko musik digital bernama The Store Front (TSF). 

Iklan

Persentase bagi hasil di bisnis TSF mencerminkan tujuan menguntungkan musisi itu. Sebanyak 90 persen hasil penjualan masuk ke kantong musisi, Argia hanya mengambil 10 persen. Persentase ini bahkan lebih besar ketimbang yang diterima musisi di zaman penjualan CD dan kaset. Sistem bisnis ini terlihat menjanjikan dan ideal bagi musisi independen tanpa label yang mengerjakan karyanya seorang diri atau bermodal tim yang minim.

Hampir dua tahun berjalan, TSF perlahan tumbuh. Argia mengaku pemasukan bulanan rata-rata Rp5 juta, dengan penghasilan terbesar mencapai Rp20 juta dalam satu bulan. “Semua artis yang udah naruh di platform gue, semuanya bilang lebih oke [bayarannya] daripada dari gerai digital,” kata Argia saat ngobrol dengan VICE. 

“Gue pernah naikin konten bapak-bapak bikin lagu punk buat anaknya umur tiga tahun. Itu ada yang beli, [dia dapat] seratus ribu per bulan. Itu kalau ditaruh di gerai digital, siapa yang dengerin?”

Testimoni membanggakan mulai muncul. Rapper BAP mengumumkan mendapat Rp10 juta dari menjual karya di TSF. Argia menyebut rapper Matter Mos sudah menghasilkan Rp25 juta selama 9 bulan albumnya dijual eksklusif di TSF. “Oke lah dia [BAP] belum balik modal dari rekamannya. Tapi, paling enggak itu bayaran yang lebih baik dari gerai digital. Tiga tahun ke depan, kayaknya [penghasilan dari gerai digital] enggak bakal sampai segitu deh,” ujar Argia.

Iklan

Saat ini TSF menjadi rumah bagi 400 rilisan digital berbentuk album, mini-album, dan single. Meski perkembangannya semakin menjanjikan, TSF sampai saat ini masih membutuhkan peran para musisi untuk rutin mengimbau pendengarnya agar membeli karya kalau emang mau mendukung. “Orang biasanya masuk [membeli di] The Store Front harus dipaksa sama si musisinya. [musisinya bilang] ’Kalau mau liat materi gue yang ini, lo harus beli ya.’”

Mudah menebak alasannya apabila model bisnis TSF tidak menarik perhatian publik secara besar-besaran. Bagaimana mungkin masyarakat yang kini bisa mendengar musik secara gratis (jika tak menghitung kuota dan biaya langganan platform) malah diminta membeli musik tersebut, mengunduhnya, dan menyimpannya ke gadget seperti praktik satu dekade lalu? Tapi Argia masa bodoh.

“Gue enggak peduli. [Kalau] lo mau dukung, lo harus niat. Karena memang platform ini ditujukan bukan untuk mass-consumption, ini untuk konsumen yang melek. Gue percaya suatu produk atau suatu platform itu enggak harus menjadi besar. Kadang-kadang terlalu besar malah bisa meninggalkan tujuan utamanya. Kalau emang tujuan utama gue adalah keuntungan buat artis, enggak akan ada yang menghalangi gue buat eksis kayak gini aja sekarang. Lo mau dukung ya dukung, kalau enggak ya enggak.”

Fakta bahwa TSF belum perlu tambahan dana selain modal Rp3 juta yang disuntikkan di awal pembentukan saja sudah dianggap Argia sebagai keberhasilan. “Kayak gue pengen membuktikan bahwa lo bisa ngelawan status quo di industri ini hanya dengan Rp3 juta. Meski enggak dikit, tapi masih manageable, enggak harus pitching berapa miliar ke venture capital.”

Iklan

TSF juga membebaskan musisi untuk merancang rencana sendiri. Mau rilis eksklusif di TSF? Bisa. Mau eksklusif di TSF selama sebulan lalu rilis ke gerai digital? Tidak apa-apa. Mau rilis di TSF berbarengan dengan gerai digital lain? Silakan. “Mana yang lebih menguntungkan bagi lo. Karena sekali lagi, ini bener-bener ekonomi [musisi] aja yang mendorong platform ini, enggak ada lagi.”

Pada laporan pertama serial ini, kami udah ngasih gambaran gimana Royalti Mekanis tidak mampu menjadi tumpuan musisi yang sedang merintis karier karena penghasilan dari pemutaran lagu di gerai digital tidak banyak. Pada laporan kedua, kenikmatan Royati Pengumuman yang adil dan merata sepertinya masih jauh dari panggang setelah kita menyaksikan sendiri ruwetnya mekanisme dan potensi konflik karena royalti. Untuk Royalti Sinkronisasi, tentu tidak semua band lagunya dipakai untuk film, iklan, atau video lain. Kalaupun dipakai, tidak semuanya punya posisi tawar untuk mendapatkan nominal yang besar. 

Pergerakan kolektif yang dilakukan TSF jelas memberi harapan, tapi apakah ada alternatif lain yang bisa dilakukan para musisi secara pribadi untuk menambah pemasukan sembari menunggu keajaiban angka royalti? 

Iklan

Nihan Lanisy, misalnya. Solois asal Bogor yang ceritanya kami rekam di laporan pertama itu mendirikan berbagai unit bisnis untuk mendukung aktivitas Jono Terbakar, proyek bermusiknya. Usaha konveksi, jasa desain logo, agregator musik, sampai pembuatan situs ia kerjakan. Cetakan kaos hasil konveksi yang dibuat sendiri itu mampu menjadi sumber pendapatan terbesar kedua setelah manggung. Kini unit bisnis itu sudah melebarkan pasar setelah sebelumnya hanya melayani Jono Terbakar.

Cara Jono Terbakar merilis karya juga bisa dicontoh. Pada rekaman album terbarunya berjudul Buka Sitik, George (2022), Nihan membuka penggalangan dana di media sosial. Konsekuensinya, album tersebut lantas menggunakan lisensi Creative Common (CC) alias lagu-lagu di dalamnya menjadi domain publik. Saat rekaman, Jono menyebut nominal yang terkumpul melampaui target yang ia pasang. 

“Jadi, aku merasa itulah yang aku cari. Orang-orang yang apresiatif yang memang punya disposable income. Itu mungkin segmen pasar Jono Terbakar yang aku tuju,” kata Nihan.

Cara lain memanfaatkan karya: meski royalti masuk kategori pendapatan pasif, tidak ada salahnya bahwa para pencipta lagu berperilaku aktif seperti, misalnya, mempercayakan lagunya dikelola penerbit musik. Pasalnya dalam kegiatan sehari-hari, penerbit musik tidak melulu menunggu dan menagih royalti, mereka juga kerap menawarkan lagu-lagu yang dikelolanya kepada banyak pihak untuk dipakai. Kegiatan ini dimaksudkan agar terjadi kesepakatan yang berujung pada Royalti Sinkronisasi yang menghasilkan.

Iklan

“Penerbit lagu akan melindungi dan bekerja menghimpun [royalti] lagu-lagu mereka. Kami diberi kuasa oleh para pencipta sehingga berhak melakukan tuntutan [apabila ada] pelanggar-pelanggar itu. Kalau ada benderanya [lembaga seperti penerbit musik] itu lebih kuat [dalam bergerak] daripada sendiri-sendiri,” ungkap general manager penerbit musik Nadaku, Ventha Lesmana, kepada VICE.

Kalau enggak kepengin jadi gede, apa dong cita-cita Argia buat TSF? Ini jawaban doi: Munculnya pergerakan dari komunitas lain untuk melakukan “perlawanan-perlawanan” serupa.

“Gue pengen ada yang niru [The Store Front]. Kalau misalkan ada diskusi gitu, gue seneng banget dan bakal gue bantuin. Cara-caranya, struktur website-nya, informasinya, ayok banget,” kata Argia bersemangat. Namun sampai saat ini, belum ada orang dari daerah lain yang mengajaknya ngobrol.

Argia mengakui TSF masih jakartasentris. Sebanyak 80 persen transaksi datang dari pembeli di wilayah Jabodetabek. Rilisan dari Pulau Sumatera, misalnya, masih bisa dihitung jari. Kurangnya keterwakilan ini berimbas pada jarangnya pembeli dari pulau tersebut.

Saat disinggung mengenai potensi pembajakan, Argia menyebut dirinya memang lumayan parno sehingga lumayan rutin mengecek di internet. Tapi, ia optimistis pada pembeli musik di TSF yang menurutnya termasuk konsumen melek. Mereka memang ingin mendukung musisi idolanya agar bisa hidup dari karya. Sampai hari ini, Argia belum mencium aura-aura pembajakan.

Kerja-kerja perlawanan macam ini disebut Argia hanyalah bentuk kepeduliannya pada industri musik. Ia menilai TSF cuma opsi tambahan yang coba ditawarkan kepada para musisi, dan bisa dipakai, bisa juga tidak.

“Ini bukan masalah eksklusivitas, ini bukan masalah gue punya platform. Ini benar-benar masalah demokratisasi ekonomi aja, kita ngomongin gimana caranya lo [para musisi] bisa dapat duit,” tutup Argia.