Politik

DPR Bahas RUU Atur Capres & Calon Kepala Daerah Wajib Kader Parpol, Apa Untung Ruginya?

Kalau beleid ini diloloskan, tidak akan ada calon presiden dari jalur independen. Lembaga pengamat pemilu mendesak DPR sekalian menghapus aturan presidential threshold.
DPR Revisi Aturan Pemilu UU Nomor 7 Tahun 2017 Capres Wajib Kader Parpol
KPU MENAMPILKAN BEBERAPA LOGO PARTAI POLITIK YANG BERLAGA DALAM PEMILU 2019. FOTO OLEH ADEK BERRY/AFP

DPR sedang membahas draf RUU Pemilu yang merupakan revisi dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ada beberapa poin yang menjadi sorotan dalam rancangan terbaru, salah satunya pasal yang mengatur syarat untuk menjadi calon presiden, wakil presiden, dan kepala daerah.

Dalam RUU tersebut, Pasal 182 (2) menyebut orang-orang yang ingin menjadi peserta Pilpres dan Pilkada harus merupakan anggota partai politik yang juga mengikuti Pemilu. Aturan ini dikecualikan bagi anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang maju lewat jalur independen.

Iklan

Persyaratan tersebut tidak ada di dalam peraturan sebelumnya, di mana keanggotaan dalam partai politik hanya bersifat wajib bagi caleg yang membidik kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Artinya, ini menutup kemungkinan munculnya calon-calon perseorangan untuk mengikuti Pilpres, sementara jalur tersebut masih terbuka bagi peserta Pilkada.

Menurut Mahardhika, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tidak ada persoalan tentang kewajiban menjadi anggota partai bagi siapa pun yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Ini lantaran saat menyusun kebijakan, eksekutif harus mendapatkan dukungan dari legislatif. Dengan kata lain, persyaratan itu diharapkan mempermudah komunikasi politik antara pemerintah dengan DPR.

“Nah, maka penting sebenarnya ada presiden yang punya banyak dukungan partai dan itu bisa bikin proses pemerintahan efektif. Meski juga ketika ada mayoritas, pasti ada oposisi, dan oposisi itu penting untuk jadi penyeimbang dalam jalannya pemerintahan,” kata Mahardhika kepada VICE.

Isu tentang jalur independen untuk Pilpres sudah bukan hal baru. Pada Mei 2020 lalu, seorang paranormal bernama Ki Gendeng Pamungkas menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi yang tidak mengizinkan adanya capres perseorangan.

Ia berpendapat peraturan tersebut diskriminatif bagi orang-orang seperti dirinya yang bukan anggota partai politik, tetapi memiliki aspirasi untuk menjadi kepala negara. Namun, pada pertengahan tahun, MK memutuskan menutup permohonan uji materi itu karena Ki Gendeng Pamungkas meninggal dunia.

Iklan

Mahardhika menilai yang perlu digaris bawahi adalah ketika syarat wajib menjadi anggota partai itu diterapkan, maka semestinya tidak ada lagi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Dalam UU Pemilu, setiap partai atau gabungan partai wajib mendapatkan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam Pileg jika ingin mengusung pasangan capres-cawapres.

Pro dan kontra terjadi. Bagi yang setuju, tingginya angka yang harus dipenuhi dipercaya bisa menghadirkan calon-calon terbaik karena jumlah peserta Pilpres menjadi sangat terbatas. Untuk yang menolak, syarat itu dinilai justru mempertajam perbedaan di kalangan pendukung. Ini terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 ketika hanya ada dua pasangan capres-cawapres yang bertarung.

“Misal tidak ada presidential threshold, tentu bakal ada calon alternatif, tentu sesuai perhitungan partai secara natural, enggak dipaksa sama regulasi. Kalau sekarang kan karena regulasinya mensyaratkan ada presidential threshold atau di Pilkada ada syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara, jadi para calon justru cari dukungan kursi, dan itu jadi proses transaksi politik,” jelas Mahardhika.

Di Senayan, ini menjadi topik panas. Perhitungan mengenai apakah perlu ambang batas hingga berapa persentase yang dianggap proporsional masih diperdebatkan. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman menyebut mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih setuju jika tidak ada presidential threshold agar semua partai bisa menawarkan pilihan kepada masyarakat. 

Iklan

Sedangkan dia menyarankan sebaiknya ambang batas untuk Pilpres disamakan dengan parliamentary threshold (PT) yang menjadi syarat minimal sebuah partai lolos ke Senayan. Tujuannya, kata Sohibul, adalah untuk penyederhanaan partai sehingga tidak terlalu banyak aktor politik dalam legislatif.

Urusan parliamentary threshold sendiri masih belum disepakati hingga saat ini. Setiap Pemilu, angkanya selalu naik. Misalnya, pada Pemilu 2009, ambang batas yang ditetapkan adalah 2,5 persen. Ini naik menjadi 3,5 persen dan empat persen masing-masing pada Pemilu 2014 dan 2019. Sekarang, saat pembahasan RUU Pemilu, muncul ide agar besarannya meningkat lagi menjadi lima persen.

Namun, tentu tidak semua partai memandangnya positif. Sekjen Partai Hanura Gede Pasek Suardika menilai ini adalah cara untuk “mengkorupsi suara rakyat” sehingga pihaknya tidak setuju. “Sebab membaca RUU Pemilu saat ini bukan semangat penguatan demokrasi, tetapi semangat kartelisasi kekuasaan di mana PT dinaikkan, PT dibuat berjenjang, dan Dapil diperkecil,” ujarnya. “Hasilnya adalah akan terjadi bertambahnya hilang suara sah rakyat.”

Tudingan tersebut bukan tak beralasan. Mahardhika menjelaskan banyak partai besar mendukung kenaikan ambang batas parlemen dengan alasan untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Tetapi, tidak ada bukti yang menunjukkan korelasi antara banyak atau sedikitnya partai dengan jalannya pemerintahan yang efektif.

Iklan

“Pembahasan RUU Pemilu itu kan selalu yang jadi isu berlarut-larut adalah soal ambang batas parlemen. Biasanya dipakai partai-partai politik besar untuk kemudian menghilangkan suara partai politik kecil,” tegasnya. Ia mencontohkan bahwa ketika parliamentary threshold naik, jumlah suara rakyat yang terbuang sangat besar.

“Justru parliamentary threshold terbukti ada wasted vote (suara terbuang). Di Pemilu 1999, ada suara terbuang sekitar 3,7 juta. Kemudian, di 2019, ketika jumlah peserta Pemilu 16 [partai], kemudian jumlah partai [yang lolos] ke DPR ada sembilan, ada suara terbuang sebesar 13,5 juta,” jelasnya.

Perludem pernah menggugat syarat ambang batas parlemen ke MK pada pertengahan 2020 lalu. Fadli Ramadhanil, peneliti Perludem, mengatakan bahwa permohonan uji materi bukan untuk menuntut penghapusan parliamentary threshold, melainkan membuka penentuan angka agar transparan dan proporsional. 

Menurut Perludem, yang lebih penting, masyarakat perlu tahu proses penghitungan yang digunakan oleh DPR untuk menetapkan berapa besaran ambang batas.

“Yang perlu ditegaskan adalah PT jangan dilandaskan atas kepentingan partai, tapi harus sesuai dengan rumus matematika soal threshold. Selain itu juga harus menjaga konsistensi dengan Pemilu proporsional yang dianut. Kalau suara terbuang banyak, berarti proporsionalitas terganggu,” kata Mahardhika.