Mengakali industri kosmetik dan skin care dengan cara menipu kebijakan pengembalian produk
Foto ilustrasi oleh Mattia Pelizzari 

FYI.

This story is over 5 years old.

Cantik itu Luka

Begini Cara Curangku Membeli Kosmetik dan Skin Care Tanpa Bikin Kantong Jebol

Perusahaan kecantikan beromzet jutaan dolar berani mematok harga jauh lebih tinggi dari nilai asli produknya. Maka saya curangi mereka sekalian pakai teknik yang bisa diterapkan di banyak negara.

Nilai sebuah benda, seperti hal tak kasat mata lainnya, sebenarnya relatif banget. Tidak ajeg sepanjang waktu. Contoh: keris warisan keluargamu yang "tak ternilai harganya" bakal jadi sampah atau minimal dianggap pajangan bagi orang yang tak tahu asal-usul keris tersebut. Berlian, contoh lainnya, punya harga mahal karena satu faktor: distribusinya dimonopoli habis-habisan oleh De Beers, korporasi internasional spesialis penambangan dan pengolahan berlian, selama nyaris satu abad terakhir. Melalui cengkraman yang kuat terhadap distribusi berlian, De Beers sukses mengakali agar harga berlian tetap mahal, langka, sementara permintaannya terjaga terus tinggi.

Iklan

Mau contoh lainnya? Kalian tahu di mana tas-tas desainer yang harganya selangit dibuat? Jangan kaget ya. Barang ekslkusif ini diproduksi di pabrik tak manusiawi di Cina, yang juga menghasilkan kaos-kaos merek terkenal dari outlet-outlet mal yang biasa kalian datangi itu. Intinya, konsep “ada uang, ada kualitas” enggak selamanya bener lho, sebab yang menguras kantong belum tentu punya kualitas setimpal sama harganya.

Nah, fenomena mark-up nilai barang ini paling jamak ditemui pada produk kecantikan premium. Menurut laporan Euromonitor, firma analis pasar asal Inggris, rata-rata tingkat mark-up pada produk kosmetik premium mencapai 78 persen. Sementara itu, artikel investigasi Daily Mail terhadap harga Crème de la Mer, yang dipasarkan dengan harga setara Rp2,9 juta di Inggris, membeberkan jika harga bahan baku krim muka tadi tak lebih dari Rp178 ribu.

Artinya, ongkos produksi sebuah produk krim yang djual seharga Rp3,4 juta di butik atau mal elit, sebenarnya cuma sekitar Rp196 ribu doang.

Crème de la Mer hanya satu dari sekian produk kecantikan yang dipasarkan Estée Lauder. Formulanya dibuat pada dekade ‘70an. Pastinya sudah ketinggalan zaman. Bahkan, ilmuwan yang dipekerjakan Lauder berhasil menghasilkan produk baru yang dipasarkan dengan harga—meski tetap bikin dompet kering—lebih manusiawi. Satu-satunya alasan Crème de la Mer jauh lebih mahal dibanding krim lain, hanya karena dari dulu produk ini dipasarkan sebagai barang mewah. Bangsat juga ya?!

Iklan

"Sebagian produk perawatan kulit yang kamu beli di Sephora dibuat dengan ongkos tak lebih dari US$2 (setara Rp28 ribu)," kata pakar kimia kosmetik Perry Romanowski, "kadang produk tersebut dijual dengan harga $300 (setara Rp4,2 juta). Produk perawatan kulit lainnya dibuat dengan ongkos produksi 1 sen Dolar (setara Rp140), dijual dengan harga $2 (setara Rp28 ribu)."

Jika produk-produk krim atau kosmetik premium itu kita bandingkan, satu fakta yang tak bisa dipungkiri bakal terungkap: semua produk kosmetik—yang murahan ataupun premium—mengandung bahan baku yang mirip (dimethicone, parabens, titanium dioxide, dan sejenisnya).

Pertanyannya, kenapa kosmetik premium harganya jauh lebih keji? Jawabannya gampang: karena kita membayar ongkos-ongkos di luar biaya produksi. Salah satunya biaya marketing berupa dua halaman glossy di majalah-majalah gaya hidup mewah. Intinya, kita membakar uang lebih banyak demi menjustifikasi kalau produk itu memang keren.

Andai bisa melakukannya, saya enggak pernah mau membeli produk-produk perawatan kulit dan kecantikan mahal. Semasa remaja, wajah saya jadi tempat bersarangnya jerawat. Kondisi itu enggak memaksa saya harus memakai produk kecantikan apapun. Saya dulu pantang memakai pelembab, foundation, apalagi maskara karena alasan “moral” (yang saya pelajari dari lagu-lagu punk feminis Bikini Kill).

Sayang seribu sayang, nilai moral yang saya junjung tadi tak disepakati semua orang. Baik lelaki dan perempuan di luar sana memperlakukan saya seperti bukan manusia, hanya karena wajah saya tanpa riasan. Cewek yang enggak mau dandan sama sekali tidak diterima dalam pergaulan. Imbasnya, dengan agak malas-malasan, saya akhirnya menempuh jalan hidup lebih normal. Wajah saya kini penuh balutan kosmetik dan produk perawatan kulit, bahkan saat saya lagi ngendon di rumah.

Iklan

Tenang, semangat perlawanan saya tidak padam kok. Saya orangnya irit cenderung kikir untuk masalah kosmetik. Buat pos pengeluaran rutin satu ini, saya tak mau membelanjakan uang lebih dari nilai yang saya anggap wajar.

Terus, caranya gimana? Sabar. Setelah membaca bebarapa paragraf di atas tentang betapa brengseknya industri make-up premium mematok harga produk, kalian pikir saya cuma belanja produk kosmetik murahan? Maaf-maaf aja nih. Asumsi kalian melenceng. Saya rajin menggunakan produk kosmetik high-end, meski gaji saya enggak sampai dua digit. Loh terus bagaimana caranya dapat produk mahal itu? Oh tenang saya punya cara sendiri—sebuah tindak kriminal kecil-kecilan yang saya juluki “The Grift.”

Alasannya saya melakukan “The Grift” adalah sebagai berikut: ketika perusahaan kecantikan beromzet jutaan dolar mencoba mematok harga jauh lebih tinggi dari nilai asli produknya, mending sekalian saya mencurangi mereka lewat aturan kotor yang mereka buat sendiri.

The Grift mulanya cuma eksperimen iseng. Dasar pemikirannya seperti ini: misal saya membeli foundation seharga $40 (setara Rp562 ribu) dari Nordstrom, lalu memakainya sampai habis, lalu menaruh botolnya yang kosong ke dalam kemasan foundation serupa yang saya beli lagi (dibayar dengan uang tunai biar tak meninggalkan jejak), lalu mengembalikannya ke toko, kira-kira toko akan menggantinya enggak ya?

Ternyata toko kosmetik premium terbiasa menuruti permintaan konsumen kayak gitu tanpa banyak cincong. Maklum, saya punya kuitansi pembelian dan stiker merk Nordstrom masih menempel dengan manis di kotak foundation yang saya kembalikan. Menyakinkan banget lah pokoknya. Saking menyakinkannya, mbak-mbak penjaga tokonya bahkan enggak ngecek isi kotaknya.

Iklan

"Selain mendapatkan produk-produk kecantikan premium, saya pun puas karena bisa mendapatkan krim pembersih wajah seharga $50 dengan modal $1 doang."

Gara-gara teknik The Grift ini, dua tahun terakhir, saya enggak pernah merogok kocek sedikitpun untuk beli foundation. Kecuali pas keluar duit sekitar US$40 buat beli foundation kedua di Nordstrom.

Kalian mungkin penasaran, kenapa harus pakai kotak foundation baru? Begini: sadarilah kalau mayoritas toko penjual perlengkapan kosmetik premium tak mengganti barang yang dikembalikan lebih dari 30 hari setelah dibeli.


Tonton dokumenter VICE soal gerakan lelaki pembenci feminis yang tumbuh pesat di India:


Plus, saya sebenarnya butuh beberapa bulan menghabiskan satu foundation yang bahannya herbal. Jadi bermodal kotak pembungkus yang masih baru, kuitansi asli, dan mbak-mbak penjaga toko yang enggak banyak nanya, pengeluaran buat foundation saya bisa dijaga tetap nihil.

Level berikutnya dari teknik The Grift bisa digunakan untuk mendapat krim wajah berharga mahal. Begini langkah-langkahnya: beli pelembab di toko kosmetik murah, buang isinya. Setelah itu, pindahkan isi pelembab seharga $50 (setara Rp703 ribu) dolar ke dalam botol pelembab murah ini. Pastikan botol pelembab yang harganya setara US$50 ke atas kelihatan belum disentuh sedikitpun saat dikembalikan ke toko.

Tenang kok, andai kelihatan agak koyak, toko kosmetik kayak Sephora tetap akan menggantinya. Seperti kebijakan di Nordstrom, Sephora udah senang selama produknya dibeli. Jadi walaupun ada satu-dua produk (yang mungkin) dikembalikan beneran, mereka punya kebijakan "Langsung Ganti Barang Konsumen, Tak Usah Banyak Tanya Alasannya Apa."

Iklan

Ingat, kalau mau melakukan taktik 'the grift' kalian wajib memastikan semua produk tadi masih oke banget (alias mint condition) saat dikembalikan ke toko. Ketika kemasannya rapi, saya terhindar dari tuduhan sebagai seorang penipu (padahal sebenarnya emang penipu sih hehe).

Tisu basah pembersih makeup adalah kawan baik seorang 'grifter' seperti saya. Setelah memastikan barangp-barang yang dikembalikan kelihatan baru dan belum dibuka, saya kelihatan seperti pengguna kosmetik mahal beneran. Percayalah, penampilan adalah segalanya, apalagi di masyarakat yang mewajibkan perempuan berdandan agar dipandang sebagai warga bumi yang setara.

Jadi, selain mendapatkan produk-produk kecantikan premium, saya puas karena bisa mendapatkan krim pembersih wajah seharga $50 dengan modal $1 doang (untung US$49 bisa dialokasikan untuk kepentingan yang mendesak seperti belanja kebutuhan dapur selama sebulan).

Aturan terakhir yang tak boleh dilanggar para grifter: jangan terpaku sama satu toko saja. Sephora punya aturan melarang menerima penukaran barang sama orang yang ketahuan beberapa kali mengembalikan produk tanpa alasan. Kalau mereka sudah merasa kamu kelewat sering menukar produk, penjaga toko akan menolak pengaduanmu. Makanya, biar tak terlalu dicurigai, saya selalu pindah dari satu toko premium ke toko lainnya, di berbagai kota metropolitan yang saya singgahi.

Eh tapi Evelyn, kalian mungkin mulai bertanya, kok kamu bisa santai melakukan semua ini? Enggak takut ketahuan?

Iklan

Oh tentu saja, saya pernah grogi, nervous, dan gemeteran. Tapi, saya juga enggak bodo-bodo amat. Kemampuan saya kelihatan sengak seperti konsumen kosmetik mahal yang barangnya tak sesuai harapan jangan dipertanyakan. Bila penjaga toko Nordstrom memandang saya dengan pandangan curiga dan tangannya merayap mendekati gagang telepon untuk menghubungi manajer, saya justru makin nekat, berakting geram dan mengingatkan pelayan itu kalau perusahaan mereka punya kebijakan “Ganti Saja Barang Pelanggan dan Jangan Banyak Tanya.”

Percayalah, cara ini tak pernah gagal.

Tentu saja, melakukan penipuan receh macam ini menempatkan kita sebagai bajingan kecil yang berani menyalahi larangan Tuhan. Tapi, kalau mau mengikuti langkah saya, kekhawatiran macam tak boleh nongol. Nongol sebentar saja akan berdampak parah. Kalian jadi kelihatan nervous dan penipuan kalian terungkap. Kemampuan untuk jadi seseorang yang keras kepala akan sangat membantu.

Misalnya penjaga toko minta kalian menunjukkan KTP saat mengembalikan maskara Dior yang sudah kamu pakai lebih dari 30 kali. Jangan khawatir. Yang kamu perlu lakukan ada bersikap tenang. Jangan terbawa permainan sang penjaga toko. Tunjukkan konsumen selalu benar—kalau perlu dengan nada bicara yang agak tinggi. Jika perlu bawa anjing ke toko-toko yang melarang hewan peliharaan masuk. Ini akan membuat kamu tampak “lebih seram.” intinya, jangan sampai nyali kamu ciut duluan. Pendeknya, kalau pelayan yang kamu hadapi galak, menjelmalah jadi pelanggan paling galak di dunia.

Apakah cara saya mendapat kosmetik premium selama ini etis? Tentu tidak. Tapi, kapitalisme juga sama brengseknya kok. Jadi, impas lah ya.


Disclaimer: Jangan meniru kejahatan kelas teri seperti yang dilakukan Evelyn Wong ya.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly