FYI.

This story is over 5 years old.

Lingkungan

Cerita Dari Rumah Bordil di Bangladesh yang Terancam Tenggelam

Pekerja seks di Banishanta, sebuah pulau yang terletak di barat daya Bangladesh, pasrah menunggu nasib tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
semua foto oleh Sebastian Castañeda Vita

Rina* sudah terbiasa dengan penderitaan. Sejak dia masih kecil, Rina telah dijual dan diperdagangkan. Dia juga sempat melarikan diri dari negara lain. Dia selamat dari penyakit dan badai tropis. Dia terpaksa meninggalkan anaknya saat dia masih berusia 20 tahun. Sekarang, dia hanya perlu menunggu waktu sampai rumahnya hanyut karena naiknya permukaan air sungai.

Rina tinggal dan bekerja di rumah pelacuran yang terletak di barat daya Bangladesh, di sebelah utara hutan bakau Taman Nasional Sundarbans dan sebelah barat Mongla, pelabuhan terbesar kedua di negara tersebut. Rumah pelacuran ini berada di sebuah desa kumuh di mana gubuk bobrok dibangun di tepi pulau Banishanta yang hampir tenggelam. Lahannya hanya sepanjang 100 meter dan selebar jalan raya dua jalur. Setiap hari garis pantainya yang berlumpur hancur karena arus Sungai Pasur yang cepat, yang tanggulnya terancam jebol pada saat air pasang. Bahaya mengancam penduduk setiap harinya.

Iklan

Dulunya, Banishanta pernah menjadi salah satu rumah pelacuran terdaftar oleh pemerintah terbesar di Bangladesh. Menurut penduduknya yang sudah lama tinggal di sana, sekitar 1.200 wanita tinggal dan bekerja di Banishanta pada awal 1950-an ketika Bangladesh masih berada di Pakistan Timur. Pada masa itu, para pelaut dan pedagang dari Inggris sampai Indonesia berlabuh di pelabuhan Mongla, yang saat ini terhubung dengan banyak pelabuhan internasional lainnya. Pelaut-pelaut ini menghabiskan sebagian besar waktu luang dan uang mereka di pulau ini.

Rina mengisap mariyuana di kamar tidurnya. Foto: Sebastian Castañeda Vita

Namun, rumah pelacuran tersebut telah diterjang angin topan dan terendam banjir. Pekerja seks yang bertahan hidup pindah ke rumah pelacuran yang lebih aman, sementara sebagian besar pulau terus lenyap karena erosi sungai. Pelabuhan Mongla mengalami kemunduran sejak awal 90-an sampai sekarang. Ini disebabkan oleh kerusuhan buruh, pendangkalan sungai, dan cuaca yang buruk. Meskipun ada kebangkitan ekonomi di Mongla dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tidak ada perubahan yang nyata bagi rumah pelacuran tersebut. Pada akhir 2017, pekerja seks di pulau ini berjumlah 105 orang.

Dan tampaknya, sebentar lagi tidak akan ada satu pun dari mereka yang mampu bertahan hidup.

Rina ingat saat pertama kali dia tiba di pulau itu. Dia mengatakan bahwa pulau Banishanta dulunya membentang luas sampai ke sungai. Dia tidak memahami mengapa sekarang sebagian besar lahan di Banishanta berubah menjadi sungai. Dia berdoa kepada Allah agar pulau tersebut tidak tenggelam.

Iklan

Sundarbans/barat daya Bangladesh dan Teluk Benggala seperti yang terlihat dari luar angkasa. Gambar: ESA/lavizzara

Bangladesh, yang jumlah penduduknya melebihi 160 juta orang, merupakan negara keenam yang paling terkena dampak pemanasan global dari tahun 1997 sampai 2016. Para ilmuwan memprediksikan bahwa negara ini akan dilanda bencana alam lainnya. PBB memperkirakan bahwa kenaikan permukaan air laut global berkisar tiga kaki yang akan terjadi pada akhir abad ini, yang akan menyapu bersih hampir 20 persen dari Bangladesh dan menenggelamkan lebih dari 30 juta warganya. Selain itu, Bangladesh juga mengalami erosi sungai, yang setiap tahunnya menghanyutkan sekitar 50.000 - 200.000 orang Bangladesh. Dalam kasus Banishanta, Jyoti Halder, seorang perwakilan dari LSM Bangladesh Society for Action and Development, mengatakan bahwa dataran Banishanta telah terkikis sekitar 100 meter dalam beberapa tahun terakhir dan terus berlanjut dengan cepat.

Setiap tahun, sungai-sungai besar Bangladesh membawa endapan lumpur dari pegunungan tertinggi di dunia dan menyimpannya ke hilir dan di sepanjang jaringan sungai. Ini mengakibatkan naiknya permukaan dasar sungai, menciptakan gundukan pasir disebut chars, dan dapat menyumbat aliran sungai. Bila ada arus air hulu yang lebih tinggi dari hujan salju Himalaya, atau sering terjadi hujan muson – yang keduanya terkait dengan perubahan iklim – kapasitas sungai tidak dapat menampung volume air yang meningkat. Hasilnya adalah banjir dan erosi sungai.

Di Pasur, yang terjadi tidak hanya terbawanya bongkahan sedimen dari Himalaya, tetapi juga terjadi pengendapan lumpur dan tanah liat yang didorong dari laut oleh air pasang. Hal ini membuat pelabuhan Mongla sulit dilewati kapal-kapal kontainer besar. Ini membuat pemerintah menghabiskan jutaan dolar setiap tahunnya untuk mengeruk sungai dan terpuruknya kondisi ekonomi di Mongla. Ini membuat daerah di sekitarnya rentan terkena bencana alam. Jika ada badai atau hujan lebat, Pasur akan meluluhlantakkan tepinya.

Iklan

Banishanta dari Pasur. Foto: Sebastian Castañeda Vita

Rina mengatakan bahwa kondisi pulau sangat berdampak pada jumlah pelanggan yang datang ke Banishanta. Dia memberitahu bahwa rumah pelacuran tempatnya bekerja semakin sepi pengunjung.

Saya sempat mengikuti Rina yang berjongkok di tepi sungai untuk menyelesaikan mariyuana yang sedang dihisap. Di sana, dia menceritakan bahwa dulu sebelum bencana alam terjadi, para pekerja seks tidak perlu berebut mendapatkan pelanggan. Selain Rina, banyak pekerja seks lainnya yang mengenang masa kejayaan mereka di masa lalu. Perempuan yang lebih tua sering mengenang tentang banyaknya pelaut yang datang dari luar negeri. Selain itu, mereka juga mengenang bahwa dulu sungai masih dalam dan airnya jauh lebih jernih dari sekarang. Dulu, mereka bisa mendapatkan 10 pelanggan dalam sehari. Kalau sedang beruntung, mereka bisa melayani lebih dari itu. Contohnya seperti Razia Begum, kepala madam di Banishanta, yang pernah melayani 31 laki-laki dalam satu giliran.

Begum mengatakan bahwa perempuan di sini dulunya bisa menghasilkan uang cukup banyak. Mereka bahkan bisa merencanakan kehidupan di luar pekerjaannya. Namun, semuanya berubah setelah pulau tersebut sering dilanda bencana alam seperti badai dan banjir bandang. Ada Siklon Bhola pada tahun 1970, yang menewaskan sekitar 500.000 orang; pada tahun 1988 terjadi badai dan banjir yang menewaskan banyak orang dan menutup sementara pelabuhan Mongla; dan ada Siklon Sidr pada tahun 2007, yang mencapai kecepatan 260 km/jam dan meluluhlantakkan rumah pelacuran.

Iklan

“Kami membutuhkan kurang lebih 60.000 BDT (Rp10 juta) untuk memperbaiki rumah,” katanya. “Siapa yang sanggup membayarnya?” Perempuan yang bekerja di sana menghasilkan $2-3 (Rp20.000 – 40.000) untuk setiap pelanggan, jadi mereka tidak akan sanggup membayarnya. Perempuan yang lebih tua menganggap sudah tidak ada lagi harapan bagi pekerja yang masih muda.

Pada saat Siklon Sidr. GIF: SSEC/CIMSS/University of Wisconsin-Madison

Razia mengatakan bahwa perubahan iklim tidak hanya merugikan rumah pelacuran, tetapi juga daerah di sekitarnya. Beras semakin sulit tumbuh karena meningkatnya permukaan air laut yang membawa air asin. Penduduk setempat telah bereksperimen dengan berbagai jenis beras yang dikenal sebagai “scuba” yang dapat menangani kadar salinitas yang lebih tinggi dan terendam di dalam air untuk waktu yang lama. Meskipun begitu, “scuba” tetap sulit tumbuh di kondisi alam yang seperti ini.

Sedangkan petani lain mencoba memanfaatkan bekas banjir untuk beternak ikan agar bisa dijual kembali. Akan tetapi, keuntungan yang mereka dapatkan sangat rendah. Akhirnya banyak penduduk yang menyerah dan mencoba mencari pekerjaan yang lebih layak di Dhaka atau Chittagong.

Razia yakin akan semakin banyak penduduk yang meninggalkan Mongla.

Rina dan Itoma. Foto: Sebastian Castañeda Vita

Rina tumbuh di keluarga miskin. Saat dia masih kecil, orang tua Rina menjualnya ke teman ibunya yang mengatakan bahwa ada keluarga kaya raya yang membutuhkan asisten rumah tangga di rumahnya. Yang tidak diketahui keluarganya, Rina dijual ke rumah pelacuran. Rina mulai melayani pelanggan saat dia berusia 14 tahun, setelah mengalami menstruasi untuk pertama kalinya. Prostitusi anak sebenarnya ilegal pada saat itu, tetapi madam dan pemerintah tidak memedulikan aturan. Rina ingat banyak pekerja seks di bawah umur yang berada di rumah pelacuran Banishanta.

Iklan

Banyak pelanggan yang menyukai Rina. Hampir setiap malam, dia bisa melayani delapan sampai 10 laki-laki dengan bayaran $5 (Rp68 ribu) untuk setiap pelanggan. Pelanggan sering memaksanya melakukan hal-hal yang tidak ingin dia lakukan. Sayang sekali, madamnya malah memanfaatkan momen ini untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Tujuh tahun setelah dia bekerja di sana, Rina dijual ke broker di India. Broker tersebut berniat menjual Rina ke rumah pelacuran di Mumbai. Untungnya, dia dibantu oleh seorang laki-laki yang tidak sengaja dia temui di Haryana. Dia bisa melunasi utangnya kepada broker dan kembali ke Bangladesh. Dia kembali ke Banishanta dan menghabiskan tujuh tahun untuk membayar utang kepada laki-laki yang menyelamatkannya.

Pelacuran dianggap legal di Bangladesh, terlepas dari populasi Muslim yang mendominasi Bangladesh dan sikap konservatifnya. Qazi Asad-uz-Zaman, seorang sosiolog yang bekerja dengan pekerja seks di Banishanta, memberitahu saya bahwa ada 14 rumah pelacuran yang terdaftar di Bangladesh, tetapi juga ada ratusan lainnya yang tidak berlisensi. Badan amal ActionAid memperkirakan bahwa sekitar 200.000 perempuan bekerja sebagai pekerja seks di Bangladesh.

Banyak dari perempuan ini diperdagangkan, dijual ke broker yang kemudian menjualnya ke madam di rumah pelacuran. Menurut laporan yang datang langsung dari rumah pelacuran ini, dan informasi yang diberitahu langsung oleh pekerja Banishanta, madam dapat membayar mulai dari $200 (Rp2,7 juta) atau lebih untuk satu perempuan. Begitu mereka dibeli, mereka terikat utang, dan si madam memberinya makanan dan tempat tinggal sampai dia melunasi utangnya.

Iklan

“Masalah kami di sini tidak ada artinya jika cuaca semakin memburuk. Kami terjebak di antara sungai dan lahan tetangga. Kami tidak bisa pergi ke tempat lain.”

Setelah Rina melunasi utangnya kepada laki-laki yang menolongnya di India, Rina memutuskan untuk menjadi madam. Ia menggunakan uang tabungannya untuk membangun warung di dekat rumah pelacuran dan menyewakan beberapa kamar untuk para pekerja. Rina juga harus memastikan propertinya aman dari bencana dan perubahan iklim. Semua madam di Banishanta harus mengeluarkan uang untuk memperkuat tanggul. “Orang LSM dan jurnalis bilang mereka ingin membantu, tetapi kami tidak pernah mendapat bantuan sama sekali dari mereka,” ujar Rina.

Seorang pekerja seks tampak sedang memperkuat tanggul dengan lumpur. Foto: Sebastian Castañeda Vita

Saat saya sedang memerhatikan aktivitas para perempuan di depan warung Rina, seorang penduduk setempat mendekati saya dan mengatakan dia sempat mendengar pembicaraan saya dengan Rina. Laki-laki itu bernama Nivas Halder. Dia memberitahu saya bahwa rumahnya terendam air akibat erosi sungai yang belum lama ini terjadi.

“Rumah saya hanyut. Semua harta benda saya pun turut lenyap. Pembuatan tanggul tidak ada manfaatnya jika terjadi badai besar,” kata Halder.

Sekitar pukul dua siang, teman Rina bernama Itoma memasuki warung, lagu India menggelegar dari speaker ponselnya. Dia baru saja pulang dari pemeriksaan medis yang dilakukan setiap dua bulan sekali. Selain meningkatkan kesadaran tentang ancaman perubahan iklim kepada warga setempat, berbagai LSM yang mengunjungi Banishanta juga menyediakan kondom kepada pekerja seks dan melakukan penyuluhan tentang infeksi menular seksual. Layanan khusus ini diberikan oleh Christian Service Society di sebuah gubuk kayu kecil di pinggiran desa, di mana Dr. Golap Ali, seorang wakil LSM tersebut, mengecek tekanan darah para pekerja seks, memeriksa apakah ada benjolan yang mencurigakan, dan mengingatkan mereka pada risiko seks tanpa kondom.

Iklan

“Saya mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa mengonsumsi obat-obatan tidak hanya buruk untuk kesehatan mereka, tetapi juga membuat mereka lepas kendali dan melakukan hubungan seks tanpa kondom yang bisa menciptakan masalah lainnya,” Ali memberitahu saya.

Meja using Ali penuh dengan tumpukan map berwarna merah muda dan kuning yang berisi rekam medis, seperti catatan “white discharge from the vagina.” Foto: Sebastian Castañeda Vita

Rina mengaku dia hanya mengonsumsi ganja. Dia tidak menyukai “Yaba”, metamfetamin lokal yang sering dikonsumsi orang Bangladesh dalam beberapa tahun terakhir, karena memiliki efek buruk kepadanya. Sedangkan pekerja seks mengonsumsi yaba untuk merangsang hasrat seksual mereka. Rina menganggap obat ini membuat mereka lepas kendali dan dia pribadi tidak menyukai itu.

Di saat saya ingin menyusul Rina dan Uma yang memasuki kamar Rina untuk mencari foundation yang Uma butuhkan, Itoma, yang sempat menceritakan kisah hidupnya pada saya, mengalihkan perhatian saya kepadanya dan dia berkata, “Masalah kami di sini tidak ada artinya jika perubahan iklim semakin memburuk. Kami terjebak di antara sungai dan lahan tetangga. Kami tidak bisa pergi ke tempat lain.”

Masa depan pulau diujung tanduk. Itoma terus bercerita tentang kisah hidupnya di rumah pelacuran kepada saya. Saat bercerita, dia yakin Banishanta akan musnah suatu saat nanti, sama seperti yang dipikirkan perempuan lain yang sempat saya ajak bicara. Dia tidak tahu kapan itu akan terjadi, tetapi yang pasti momen itu akan tiba.

Foto: Sebastian Castañeda Vita

Saya pun menyusul Rina dan Uma yang sedang berdandan di kamar Rina. Mereka memberitahu saya bahwa madam akan melakukan apa pun agar para pekerja tetap terlihat menarik. Para pekerja seks di rumah pelacuran yang lebih besar, seperti Kandapara dan Daulatdia, akan dipaksa meminum Oradexon yang bisa membantu mereka menaikkan berat badan. Ini karena pelanggan menyukai pekerja seks yang tubuhnya lebih berisi. Obat ini bisa membuat orang kecanduan, dampak buruk bagi kesehatan dan bahkan menyebabkan kematian.

Menjelang setengah 6 sore, langit pun semakin gelap. Sungai Pasur hanya beberapa meter dari tanggul pulau tersebut. Tampak perahu penumpang terombang-ambing di air, dan perahu yang lebih besar melaju di tengah sungai. Warung kecil yang berjejeran di depan rumah pelacuran dipenuhi oleh perempuan-perempuan mengenakan sari berwarna cerah yang sedang menari dengan iringan lagu Bollywood yang terdengar dari ponsel mereka.

Saya melihat Rina sedang menelepon seseorang. Awalnya dia berbicara dengan ceria, tetapi langsung berubah saat dia berbicara dengan orang lain di telepon. Saat saya menanyakan apakah dia menelepon keluarganya, dia melengos. Rina memiliki seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang tinggal bersama orang tuanya. Rina sengaja menitipkan anaknya kepada orang tuanya karena tidak ingin anaknya mengetahui kondisi dia sebenarnya. Dia menggunakan seluruh uangnya untuk menyekolahkan anaknya, karena Rina ingin anaknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik darinya. Dia juga tidak ingin orang tuanya tahu apa pekerjaan dia sebenarnya. Selama ini mereka mengira Rina memiliki suami dari kalangan terhormat.

Itoma memecahkan lamunan Rina, mengatakan bahwa ada pelanggan yang datang. Saya melihat sebuah perahu berukuran sedang yang mendekati salah satu dermaga. Ada lima laki-laki yang terhuyung-huyung di geladak seraya perahu berada di belakang kapal kontainer yang merangkak ke arah utara menuju pelabuhan Mongla.

Saat mereka menuruni perahu menuju dermaga, para perempuan mendekati mereka. Para pelanggan tampak sangat mabuk saat itu. Perempuan-perempuan itu menggoda mereka dan mengikutinya saat mereka memasuki warung terdekat.

Musik terus terdengar. Teriakan bersemangat para pelanggan yang mabuk itu bergema di antara gubuk reyot berlumpur. Anjing-anjing liar melolong. Angin membawa bau busuk dari sungai. Sedangkan sungai merangkak menuju laut. Rina mengajak Uma untuk merapikan riasannya dan setelah itu mereka memasuki bagian belakang rumah pelacuran.

*Motherboard sengaja mengubah nama beberapa perempuan di artikel ini untuk melindungi identitasnya.