FYI.

This story is over 5 years old.

Pilkada Serentak 2018

Menyambangi Lapas Makassar Melihat Jalannya Pemilu di dalam Penjara

“Memilih dan tidak memilih sama saja. Jadi lebih baik ikut saja.”
Suasana saat pilkada di Lapas Klas I Makassar, Sulawesi Selatan. Semua foto oleh Eko Rusdianto

Rabu, pada 27 Juni 2018. Halaman Lembaga Pemasyarakatan Klas I Makassar, telah siap dua Tempat Pemungutan Suara (TPS 27 dan 28) sudah ramai. Warga binaan sedang bergerombol dan menunggu antrian. Petugas memanggil nama, mereka maju dengan rapi untuk seterusnya mengurus persyaratan di meja registrasi, ambil kertas surat suara, kemudian masuk ke bilik.

Tak cukup dua menit, mereka menuju kotak memasukkan kertas suara yang sudah dilipat dengan rapi. Satu untuk kotak pemilihan wali kota Makassar, kotak satunya untuk gubernur Sulawesi Selatan.

Iklan

Saya bertemu dengan beberapa orang, dan bertanya perihal cara mereka memilih pemimpin. “Sesekali saya nonton di debat kandidat. Saya lihat orangnya dan dengar bicara,” kata salah seorang warga binaan.

Dia tak pernah tahu, bagaimana program dan visi misi setiap calon. Saya meminta beberapa orang menyebutkan salah satu program dari empat calon gubernur Sulawesi Selatan. “Hehehe, kita nda tahu soal itu,” katanya, lagi.

Bagi warga binaan di Lapas Makassar, memilih calon pemimpin hanya untuk menjalankan upaya konstitusi saja. Soalan hak dasar maupun manfaat ikut mencoblos, mereka tak begitu ambil pusing.

Di Sulawesi Selatan, ada 24 rumah tahanan dan warganya mencapai 5.000 orang. Jumlah ini, tentulah bukan suara sedikit. Beberapa orang di Lapas Klas I Makassar, hanya ikut arus sesuai dengan arahan. Banyak bilang pada saya, mereka ikut perintah DanBlok (Komandan Blok). Siapa yang mereka pilih, tentu saja itu menjadi rahasia.

Tapi delapan orang yang saya temui, semuanya mengaku mengenai besaran nilai uang Rp25 ribu. “Kita dikasih uang Rp25 ribu, terus disuruh coblos nomor tertentu. Ya sudah,” kata salah seorang warga binaan.

Saya memintanya, untuk membuka identitas nama sebagai narasumber. Tapi dia ketakutan, akan mendapat hal-hal yang tak menyenangkan kelak. Hal itu tentu saja terkait remisi. Bahkan, pengetahuan tata cara memberikan hak suara baru diketahuinya malam sebelum pencoblosan.

Iklan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) bagi banyak orang tak pernah mendapatkan sosialisasi. Apa lagi para calon pemimpin gubernur, tak ada seorang pun yang pernah menyambangi para warga binaan. “Saya tak pernah tahu ada sosialisasi dari KPU. Atau saya yang ketinggalan,” kata Sudirman.

“Tapi kalau bilang, apakah pernah warga binaan dikumpulkan lalu membuat sosialisasi untuk urusan ini (pilgub Sulsel) saya yakinkan diriku, itu tak pernah saya dapat,” lanjutnya.

Selang beberapa jam setelah pencoblosan di lapas, hasil hitung cepat Quick Count dirilis. Pasangan Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman menjadi pemenang. Perolehan suaranya, menurut hitung cepat versi SMRC, mencapai 43,15###/span#< jauh mengungguli tiga pasangan lain.

Nurdin Abdullah, menurut Analis Kebijakan Publik Universitas Negeri Makassar Risma Niswaty, berhasil unggul karena warga Sulsel jengah dengan iklim politik lokal saat ini yang dikuasai oleh dinasti. Selain itu, Nurdin Abdullah juga dinilai berhasil mengubah Kabupaten Bantaeng menjadi lebih bagus, tempat ia jadi bupati selama dua periode.

“Bantaeng adalah wilayah kecil yang berubah. Tentu saja ini menjadi representasi bagaimana membangun Sulawesi Selatan kelak,” kata Risma.

Sekecil-kecilnya Bantaeng, tentu masih jauh lebih kecil lembaga pemasyarakatan. Dan di tempat kecil yang jauh dari hiruk-pikuk politik daerah itu, perubahan bisa jadi sesuatu yang terlalu besar untuk diharapkan.

Sudirman, salah seorang warga binaan untuk kasus pembunuhan bilang pada saya, kalau memilih dalam pesta demokrasi ini hampir tak punya dampak. “Memilih dan tidak memilih sama saja. Jadi lebih baik ikut saja,” katanya.