FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Tiga Pelajaran Penting dari Album Perdana Krowbar: 'Swagton Nirojim'

MC asal Bandung itu lidahnya sebelas duabelas sama pisau sengaja dibikin penuh karat: tajam sekaligus beracun.​ Debut albumnya yang dibidani Grimloc Records mengingatkan VICE pada tiga hal berharga (tapi sering terlewat) dalam hidup kita.
Cover album Swagton Nirojim via akun Twitter Grimloc Records

Bisakah kita menilai rilisan hip-hop tanpa memahami artinya cadence, flow, metafora, multi-syllables, imagery, rhyme scheme, internal rhyme, metode sampling, atau punya pengetahuan mumpuni tentang sejarah hip-hop? Saya memikirkan jawaban atas pertanyaan itu setelah dihajar album ngehe berjudul Swagton Nirojim—rilisan perdana Krowbar, MC asal Bandung yang lidahnya sebelas duabelas sama pisau sengaja dibikin penuh karat: tajam sekaligus beracun.

Iklan

Dulu, saya pikir minim pengetahuan soal hip hop tidak masalah untuk menikmati genre tersebut. Kesannya memang agak songong ya. Tapi begitulah faktanya. Saya mulai tertarik menyimak hip-hop karena semasa kecil dihibur lagu-lagu Iwa K, sampai kemudian pas agak gedean mulai pengin memahami semua kata yang dirapalkan dua MC hyperliterate Homicide. Dengan pengetahuan yang awam banget ini, saya punya satu parameter untuk menilai bagus enggaknya sebuah rilisan hip-hop. Apakah rilisan tersebut punya sumbangsih dalam kelanjutan hidup saya dan mengubah cara pandang saya pada hip-hop?

Berbekal parameter se-basic itu, saya punya kesimpulan macam ini:

  • Slim Shady adalah album keren karena menghapus stigma hip-hop sebagai domain orang kulit hitam semata (padahal Beastie Boys udah duluan melakukannya)
  • Barisan Nisan lebih personal, lebih mantap dari rilisan Homicide sebelumnya. Pasalnya, lagu yang berjudul sama dengan judul EP ini terdengar seperti nasihat seorang MC yang mulai jadi ayah kepada putrinya.
  • Single “Menghidupi Hidup Sepenuhnya” milik Pangalo! Itu juga keren karena menyadarkan saya kalau MC yang khatam buku-buku Nietzche bisa jadi motivator jempolan.
  • Serta, tentu saja, single “Office Boy”-nya Young Lex adalah sekeren-kerennya single hip-hop lokal karena bikin saya ngeh bahwa cukup dengan ikhtiar, kita semua biasa naik pangkat dari Office Boy menuju Wakil Presiden Citibank—persetanlah dengan tetek bengek kelas sosial, nihilnya mobilitas sosial, terbatasnya akses terhadap pendidikan, privilese dan lainnya. Young Lex adalah padanan istilah optimisme itu sendiri.

Iklan

Nah, minggu-minggu ini, ternyata parameter saya yang sederhana tadi harus diuji kembali gara-gara album Swagton Nirojim.

Krowbar sejak awal tahun ini ramai dibicarakan di internet, lantaran promosi besar-besaran Grimloc. Label independen Bandung itu sampai rela memajang teaser berupa Foto WC dengan ceceran tokai [sebuah pengorbanan demi kemajuan skena hip-hop lokal yang harus diacungi jempol] di mana-mana demi untuk menggambarkan betapa bosoknya kata-kata yang keluar dari kerongkongan Krowbar. Grimloc bahkan niat banget bikin cover albumnya Krowbar: menampilkan sosok musisi black metal yang nangkring warung pinggir lengkap dengan dagangan khas macam rentengan Kacang Garuda, Kotak Es Batu Teh Sosro hingga botol Pocari Sweat—sebuah sampul dengan zaeitgeist generasi meme yang bikin sampul album-album Bvrtan terasa biasa saja. Saya bahkan sampai mengira Swagton Nirojim adalah album dengan obsesi akan heavy metal yang kental seperti proyek maut Ill Bill dan Vinnie Paz, Heavy Metal Kings.

Di atas kertas, harusnya Swagton Nirojim, yang digembar-gemborkan sebagai manifestasi “High Bars/Low Life” bukan album yang keren, apalagi kalau mengikuti parameter hip hop yang menarik versi saya di atas.

Saya sih enggak punya masalah bagian “high bars”-nya. Album mantan vokalis band thrashcore legendaris Anjing Tanah dan (kemungkinan) pemilik blog film sompral His Hero Is Demon dibangun di atas beat-beat garapan Morgue Vanguard dan Jay Beathustler yang kental dengan aroma funk gelap khas DJ Muggs atau Alchemist. Dua diantaranya, sependengaran saya, diangkat dari riff proto doom metal Black Sabbath dan riff progresif rock cantik. Racikan macam ini jadi pengiring yang tepat ketika Krowbar sedang songong-songongnya seperti dalam track “Sang Saka Sangkakala” [ elo bangsat/taruh pala di pantat/kalian spit apa yang gue cumshot/tutup soundcloud waktunya sign out!]. Mantab!

Iklan

Yang agak “bermasalah” buat saya adalah konten “low life” dalam rima-rima Krowbar. Saban beberapa bar sekali, microphone sexorcist ini belok ke arah selangkangan, ngobral kata-kata sompral macam kemem, fisting, bucat, sampai bokep. Saya sekarang seorang ayah bayi perempuan yang manis. Logis dong jika kemudian saya—dengan sangat sangat sadar—berusaha menjauhkan konten seabrasif ini dari kuping si bocah, lalu menikmati track-track di dalamnya diam-diam saat seisi rumah tidur [itu pun pakai headset dengan volume yang sedang saja]

Jadi, album ini keren enggak sih? Dengan resiko dirisak oleh netizen-slash-SJW, Swagton Nirojim harus diakui album keren, terlepas dari kadar swagnya yang kelewatan dan diksinya yang lebih kotor dari tumpukan sampah di Pantai Marunda. Inilah tiga alasan debut Krowbar patut dipuji:

Swagton Nirojim menegaskan ulang betapa seni hip-hop punya perhatian khusus pada umpatan

Jadi begini, mengumpat dan ngobrol biasa ternyata memiliki proses bahasa yang berbeda. Umumnya, kemampuan bahasa manusia standar—maksudnya yang sopan-sopan—terletak di korteks serta bagian kiri otak. Umpatan asalnya dari bagian otak yang lebih primitif. Artinya, kita memang dari sononya diberkahi kemampuan untuk melancarkan kata-kata kotor. Cuma, stok umpatan primitif kita ini sifatnya terbatas—hanya mencakup kata-kata kotor dinilai “kurang sopan” oleh komunitas tertentu, semisal ngentot, kontol atau anjing. Nah, pada hip-hoplah kita bisa berharap kemampuan natural nge-diss kita bisa didongkrak. Wabil khusus pada Krowbar, kita bisa menengok untuk menemukan umpatan semegah “Tiap empat bar ngulang brapp brapp/kaya Obituary di-Kover Aziz Gagap.”

Album ini mengingatkan hidup kadang dipahami sebagai persaingan sengit

Seperti sabda Krowbar dalam Sindikat Plafon 51 [Cutz Chamber Special], dalam setiap persaingan hidup–termasuk dalam skena hip-hop yang panas—lawan harus “ kita ganyang tanpa pandang gender.” Satu kancah yang sama panasnya dengan hip-hop adalah skena asuh mengasuh anak. Di skena ini, orang tua bisa jor-joran ngabisin duit demi biar anaknya lebih unggul dari sesamanya. Inget ada loh yang rela ngabisin jutaan rupiah buat masukin anaknya ke daycare elit biar bisa cas-cis-cus bahasa asing sedari dini.

Iklan

Saya sendiri enggak sudi masukin anak saya ke daycare mahal macam itu, tapi enggak berarti bebas dari persaingan antar ortu.

Saban saya kontrol kesehatan putri saya, tekanan untuk bersaing ada. Ujug-ujug, ibu-ibu di sebelah bisa nanya dengan tatapan yang nge-diss “Eh dedeknya dua bulan kok masih kecil?” atau “Lo kok nyusunya pake pipet.” Syukurlah, sampai sekarang sih, saya diam saja kalau dicecar kayak gitu. Tapi, setelah mendengar S wagton Nirojim, kalau kepepet, rasanya saya bakal menjawab penuh nuansa swag “Ah pertanyaan ibu kayak Obituary di-Kover Aziz Gagap!” bodo amat dah ibu-ibu itu tahu John Tardy dkk atau enggak. Pokoknya swag dan yang penting puas!

Swagton Nirojim memacu kita berani mempertanyakan gagasan penulis, aktivis, dan pemikir yang populer

Saya ambil contoh Soe Hok Gie. Tokoh pemuda legendaris ini mewariskan banyak pemikiran. Namun, salah satu yang paling banyak diingat adalah kutipan dari buku hariannya “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.” kutipan ini jelas sakti, buktinya ditempel di mana pun—di kaos, di pamflet atau di blog sekalipun—hasilnya tetap sangar.

Sayangnya, apa mau dikata, nukilan udah ketinggalan zaman bray dan harusnya disesuaikan dengan konteks zaman kiwari. Soe Hok Gie tewas dalam pendakian 16 Desember 1969—selang tiga tahun sebelum DJ Kool Herc melahirkan teknik The Merry-Go-Round. Seandainya Gie bisa hidup lebih lama, saya berani taruhan kalau dirinya bakal kesengsem hip-hop sebab setidaknya dia naksir lagu folk conscious macam “Donna Donna”. Bila Gie masih menghirup napas hari ini, kayaknya ada peluang dia menyimak Swagton Nirojim dan merasakan ketajaman bar-bar yang disemburkan Krowbar.

Gie barangkali akan menulis ulang kutipan di atas menjadi “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua…lalu seumur hidup di-diss Krowbar!”