Seperti ini jadwalku di rumah sebelum pandemi corona:
Pukul 7.00 : Bangun tidur.
Videos by VICE
Pukul 7.30 : Olahraga sedikit.
Pukul 8.30: Sarapan/main-main sama binatang peliharaan.
Pukul 10.00 – 12.00 : Fokus kerja sebelum menyiapkan makan siang yang sehat.
Ini adalah jadwal harian yang kubayangkan tetap berjalan ketika ada proses karantina dan kerja dari rumah sebulanan yang lalu. Aku membayangkan akan memiliki banyak waktu ekstra buat memasak, membaca buku, dan menonton film. Di benakku, setelah sebulan, aku akan belajar banyak ilmu baru dan semakin memperkaya diri.
Nyatanya, setelah mengalami karantina, rata-rata hariku malah terlihat seperti ini:
Pukul 7.00 : Bangun tidur, baca Twitter, langsung pengin misuh-misuh.
Pukul 7.30 : Bengong sambil balik rebahan.
Pukul 8.30 : Belum mandi, ngerokok di depan rumah sambil koloran.
Pukul 10.00 : Duh kayaknya enak tiduran lagi nih.
Kegiatanku sehari-hari telah direduksi menjadi seminimum mungkin. Di selang-selang sambil kerja, aku terus-terusan ngemil dan nonton video kucing di YouTube. Alih-alih memasak makanan sehat, aku bergegas ke kulkas dan berharap masih ada satu bungkus mi instan dan satu butir telor tersisa. Setelah makan, aku lagi-lagi kembali berada di atas kasur. Tak terasa, setengah hari sudah berlalu. Aku enggak ngapa-ngapain padahal, tapi kenapa rasanya capek banget ya?
Ternyata bukan hanya aku yang merasa seperti ini. Nancy Sin, asisten profesor psikologi di University of British Columbia, mengatakan selama situasi penuh stres seperti sekarang, tubuh manusia mengeluarkan respons fisik.
“Hormon stres kita meningkat. Tubuh kita berada dalam mode bertahan hidup,” ujar Sin. Seiring pandemi dan karantina terus berlanjut, “Kita mengalami proses adaptasi fisik secara berulang-ulang, setiap kali kita stres atau khawatir. Seiring waktu, stres yang kita alami, baik secara fisik maupun psikologis, akan berakumulasi.”
Akumulasi ini disebut sebagai “allostatic load“, yang bisa diartikan sebagai kerusakan tubuh ketika terus-terusan stres. Biarpun secara fisik rasanya kita tidak melakukan banyak kegiatan selama pandemi, namun otak terus bekerja dan menghadapi banyak kecemasan dan kekhawatiran. Alhasil, sesungguhnya kita capek bukan karena badan kita yang terus bekerja, tapi otak.
Dalam kehidupan normal sebelum virus corona, aku biasa bertemu dengan puluhan orang dalam sehari. Mulai dari perjalanan ke kantor, ketemuan dengan teman, berolahraga di gym. Semua interaksi kecil tersebut memberikan sinyal ke otak, membuatku merasa baik-baik saja. Tapi ketika sendirian, kita cenderung merasa lebih rentan, dan otak kita bekerja lebih keras berusaha melindungi diri.
Menurut George Slavich, direktur dari Laboratorium Penaksiran dan Penelitian Stres di UCLA, manusia itu seperti gerombolan binatang, dan ketika berada dalam kondisi terisolasi, kita merasa kesepian.
“Ini berpengaruh terhadap penaksiran risiko oleh tubuh, karena ketika sendirian kita menjadi lebih rentan terhadap ancaman,” ujar Slavich. “Otak kita menjadi waspada agar ancaman apapun di lingkungan bisa dideteksi.”
Otak kita mencoba mendeteksi semua ancaman dengan satu-satunya cara yang memungkinkan sekarang: membaca berita. Namun membaca pun ternyata makan banyak tenaga.
“Kita membutuhkan banyak energi fisik untuk kegiatan-kegiatan kognitif,” ujar Sin. “Kita banyak khawatir dan memikirkan banyak hal yang enggak perlu…dan ini memakan energi.”
Tim Sin tengah melakukan penelitian dan mencari tahu bagaimana peserta penelitian menghadapi stres dari pandemi COVID-19. Mereka mendapatkan lebih dari 5.000 respons sejauh ini, dan banyak orang melaporkan gangguan tidur, kecemasan, depresi dan sering marah-marah.
Masalahnya, stres akibat lockdown ini masih akan terus berlanjut. Sampai kapan? Belum ada yang bisa memberikan jawaban pasti, dan itu juga masalahnya.
“Ketidakpastian adalah salah satu elemen terbesar yang berkontribusi terhadap stres kita,” ujar Lynn Bufka, direktur senior dari Practice, Research, and Policy di American Psychological Association. “Salah satu yang mendorong kita untuk menjadi bagian dari masyarakat adalah agar kita memiliki semacam struktur, dan kejelasan. Ketika kita memiliki dua hal tersebut, hidup terasa lebih mudah, karena kita bisa menggunakan energi untuk memikirkan hal-hal lain.”
Lantas bagaimana dong agar kita bisa menghindari perasaan cemas yang timbul akibat ketidakpastian? Kalau menurut bahasa terapi, langkah pertama adalah tidak menyangkal perasaan sendiri.
“Ini situasi yang unik, kita belum pernah berada di sini sebelumnya,” ujar Bufka. “Kita tidak boleh menghakimi diri, bahwa kita merasa stres, marah, atau apapun. Menerima emosi-emosi tersebut dan kemudian tidak terjebak di sana adalah yang kita berusaha tuju.”
Lalu apa langkah kedua? Ini lebih sulit dilakukan ketika tingkat energi kolektif kita sedang turun, tapi berolahraga, makan yang baik, dan menjaga siklus tidur yang reguler bisa membantu.
“Kalau ototmu jarang digunakan, lemak akan muncul di daerah-daerah otot tersebut,” ujar Slavich. Sel imun kita cenderung doyan nongkrong di daerah lemak-lemak perut, dan berpotensi meningkatkan pembengkakan. “Pembengkakan inilah yang menjadi pendorong utama kita merasa capek. Pembengkakan bisa mengubah cara kita berpikir, tidur, dan membuat kita lebih tidak responsif terhadap aktivitas-aktivitas yang menyenangkan.”
Yang artinya, kalau aku bisa memaksakan diri bangun dari kasurku sekarang, seharusnya sisa hariku akan terasa lebih baik. Kalau kamu membaca artikel ini sambil rebahan di kasur, yuk coba bangun dulu. Sebentar aja. Dampaknya bakal signfikan banget lho.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.