Acara fun football yang diadakan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tersebut diketahui publik dari postingan Twitter resmi PSSI, Rabu pagi (19/10). Empat foto yang dibagikan PSSI menampakkan Ketum PSSI Iwan Bule dan Presiden FIFA Gianni Infantino tengah bermain sepak bola dengan akrab dan riang.
Orang waras mana pun mestinya tahu, acara dan konten tak sensitif di tengah proses hukum Tragedi Kanjuruhan ini bakal memicu kecaman. Itulah yang terjadi, terutama menyasar kepada Iwan dan Infantino. Akun PSSI sendiri sebenarnya sadar akan kecaman ke postingan tersebut. Terbukti, postingan awal di jam 08.27 yang memuat caption “Potret keseruan Presiden FIFA Gianni Infantino…” dihapus, lalu diunggah ulang setengah jam kemudian dengan menghilangkan kata “keseruan”.
Videos by VICE
Hingga Rabu sore, Twitter PSSI masih bertahan tak menghapus twit problematik tersebut, meski sudah ada 4.000-an quote tweet yang mayoritas berisi kemarahan.
Ada tiga lain yang mendorong publik makin marah pada acara tersebut. Pertama, kunjungan Infantino mestinya adalah kunjungan duka. Bahkan soal ini sudah ditegaskan orang dalam PSSI sendiri.
“FIFA datang ke Indonesia bukan dalam rangka merayakan kemenangan, tapi dalam rangka visit kejadian yang sangat memilukan. Disampaikan oleh Presiden FIFA bahwa kejadian merupakan duka yang sangat mendalam,” ujar anggota Executive Committee (Exco) PSSI Vivin Cahyani, siang kemarin usai Infantino tiba di kantor PSSI.
Waktu ditelusuri siapa yang punya ide bodoh ini, Sekjen PSSI Yunus Nusi menuding Infantino sendiri yang pengin. “Beliau mengajak kami PSSI untuk main bola. Dan ini bagian dari keinginan beliau, apa pun bisa terjadi,” kata Yunus dilansir CNN Indonesia.
Kedua, harusnya siang kemarin (18/10) Mochamad Iriawan alias Iwan Bule dan Waketum PSSI Iwan Budianto menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait Tragedi Kanjuruhan di Polda Jawa Timur. Tapi kemudian PSSI mengirim surat resmi ke Polda, meminta pemeriksaan di-reschedule dengan alasan “ada kegiatan yang tidak bisa ditunda”. Eh, malamnya duo Iwan ini malah tampak sedang seru-seruan di Stadion Madya Gelora Bung Karno.
Ketiga, pada Selasa kemarin pukul 13.20 WIB, korban tewas Tragedi Kanjuruhan bertambah satu orang menjadi 133 orang. Andi Setiawan, demikian nama korban, meninggal dunia di RSUD dr. Syaiful Anwar Malang meski sudah 2 minggu dirawat. Gagal napas dan infeksi paru menjadi penyebab berpulangnya Andi.
Namun, acara tak berempati yang digelar PSSI untuk menyambut petinggi FIFA ini cuma satu dari sekian kabar buruk terkait pengusutan Tragedi Kanjuruhan. Berikut rangkuman sejumlah perkembangan lainnya yang cukup bikin males.
Dalam pernyataan Presiden Jokowi usai bertemu Presiden FIFA Gianni Infantino di Jakarta kemarin (18/10), Tragedi Kanjuruhan bakal disikapi dengan solusi yang khas Jokowi: melakukan pembangunan infrastruktur. Alasannya, demi keselamatan di kemudian hari.
“Tadi saya juga menyampaikan dan FIFA mengapresiasi untuk Stadion Kanjuruhan di Malang juga akan kami runtuhkan dan kami bangun lagi sesuai dengan standar FIFA,” ujar Jokowi dilansir Tempo. Jokowi juga mengatakan pembangunan stadion akan dibiayai oleh pemerintah pusat.
Pertemuan itu juga memastikan bahwa Tragedi Kanjuruhan tak akan memengaruhi rencana Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2023 mendatang. Kabar lainnya, FIFA berencana akan bikin kantor cabang di Indonesia.
Dari sisi PSSI, rekomendasi dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Peristiwa Kanjuruhan agar Ketua Umum PSSI dan semua anggota Exco PSSI mengundurkan diri sebagai tanggung jawab moral, diabaikan.
Dalam rekomendasi TGIPF yang diumumkan pekan lalu, PSSI dianjurkan segera mengadakan Kongres Luar Biasa untuk mengganti kepengurusan saat ini, yang wanprestasi, dengan kepengurusan baru yang lebih baik. Juga dianjurkan agar Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 baru digelar kembali setelah kepengurusan baru terbentuk. Selain itu statuta dan peraturan PSSI juga disarankan direvisi.
“Yang berhak meminta KLB itu anggota PSSI, para voter. Pemerintah tidak bisa mencampuri hal itu,” ujar anggota Exco PSSI Ahmad Riyadh kepada Antara, Selasa (18/10).
Sikap PSSI terhadap rekomendasi TGIPF menggambarkan respons mayoritas para pemangku kebijakan. Presiden Jokowi sendiri masih berkutat pada masalah stadion, meskipun TGIPF sudah jelas menunjuk gas air mata adalah penyebab jatuhnya ratusan korban Tragedi Kanjuruhan. Sementara di pihak kepolisian, pengusutan pelaku yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini juga menimbulkan pertanyaan soal seberapa polisi bisa objektif.
Kecurigaan itu menguat setelah TGIPF menemukan, salah satu CCTV di TKP stadion telah dihapus rekamannya selama 3,5 jam, meliputi waktu saat kejadian. TGIPF juga menerima keterangan bahwa polisi berusaha mengganti rekaman CCTV tersebut. Temuan ini segera bikin netizen meyakini emang ada tren di kepolisian buat ngutak-atik CCTV di TKP, seperti di kasus penembakan laskar FPI dan pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat.
Kecurigaan lain terkait dugaan polisi menghalangi upaya autopsi korban Tragedi Kanjuruhan. Semula, ada keluarga korban yang bersedia, namun kemudian mendadak mengurungkan niatnya. Sekjen Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andy Irfan mengatakan, keluarga yang mengundurkan diri ini sempat didatangi polisi dan diminta untuk mundur.
Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto dalam keterangannya hari ini mengatakan, pembatalan autopsi terjadi karena keluarga belum siap. Padahal Jumat pekan lalu (14/10) Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Jatim, Kombes drg. Erwinn Zainul Hakim, sempat menyatakan keluarga siap autopsi dilaksanakan Kamis besok (20/10).
Rencana autopsi korban ini bertujuan memastikan penyebab kematian korban Tragedi Kanjuruhan. Sejauh ini ada dua teori penyebab kematian, mana yang terbukti benar akan memengaruhi siapa yang harus jadi tersangka. Pertama, teori polisi menyatakan korban meninggal akibat kekurangan oksigen dan terinjak-injak akibat berdesak-desakan keluar. Kedua, teori TGIPF menyatakan korban meninggal akibat gas air mata. Gas air mata ini menimbulkan korban langsung (mati karena keracunan gas) dan tidak langsung (mati karena sebab lain, namun dipicu kepanikan akibat tembakan gas).
Investigasi terbaru Detik menjelaskan teori TGIPF ini. Sejumlah saksi mengetahui ada setidaknya 70 korban meninggal di selasar dan di dekat ruaang ganti pemain, bukan di pintu keluar. Para korban ini tewas dalam kondisi mata terbuka, lidah menjulur, mulut berbuih, kulit membiru, dan tinja serta air seni keluar. Keadaan yang merupakan ciri-ciri meninggal karena tercekik ini diyakini adalah tanda kematian akibat keracunan gas air mata. Namun untuk memverifikasi keyakinan itu, harus ada autopsi korban.
“Dan untuk kepastian, tentu dibutuhkan autopsi. Karena autopsi itu bisa mengungkap penyebab yang pasti sehingga ada kepastian hukum,” ujar salah satu dokter pemeriksa korban Kanjuruhan, Mayjen (Purn.) dr. Daniel Tjen, kepada Detik
Tapi boro-boro autopsi, rekonstruksi tragedi yang digelar Polda Jawa Timur siang ini malah bikin publik merasa dibercandai. Pasalnya, rekonstruksi adegan penembakan gas air mata sama sekali tak memasukkan adegan penembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Padahal soal ini sudah masuk temuan TGIPF, bahkan sudah jadi laporan investigasi sejumlah media massa.