Video merekam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diunggah RM, anak korban dan pelaku, di Facebook pekan lalu. Rekaman tersebut segera viral. Kamu bisa menyaksikannya di sini kalau cukup kuat mental. Walau tak nyaman ditonton, video menyedihkan ini membuat polsek setempat memutuskan melacak keberadaan keluarga tersebut. Saat didatangi aparat di kediamannya di Desa Muara DIlam, Kecamatan Kunto Darussalam, Riau, pelaku tidak ada di rumah. Doi ternyata enggak pulang sejak hari kejadian.
Dari keterangan korban, aksi KDRT terjadi pada Sabtu (30/5) jam 7 pagi, berawal dari sang istri, ML (35), yang minta uang kebutuhan dapur. Suaminya, DPH (40), seorang karyawan perusahaan sawit PT SAM, mengaku enggak punya uang sehingga adu mulut terjadi.
Videos by VICE
“Karena tak diberikan uang, istrinya bilang mau pergi kerja juga. Istrinya itu karyawan juga bagian pemupukan. [Setelah meminta mandornya menjemput, sang suami bilang] ‘Kau bukan mau kerja kau, enggak-enggak saja kerja kau,’ kata suaminya. (DPH) lalu menjambak rambut korban dan dibanting ke tembok, baru dihempaskan kepalanya ke lantai,” ujar Sihol.
Aksi tersebut direkam anak perempuan mereka, sementara anak laki-laki berusaha melerai pertengkaran. Saat ditanyai polisi tentang alasan perekaman dan penyebaran di media sosial, RM bilang dia tidak tahan ibunya dipukul gara-gara uang belanja yang tidak pernah dikasih. Setelah videonya beredar dan didatangi polisi, korban akhirnya berencana melaporkan suaminya hari ini (2/6).
Kasus KDRT lain yang terusut karena dipicu rekaman video penganiayaan yang viral di media sosial juga pernah terjadi di Surabaya tahun lalu. WS (26), warga Dukuh Ngaglik Putat Gede, bikin gempar masyarakat karena mengunggah video dirinya saat mengalami penganiayaan dari suami sirinya, Agus Firman Saputra. Rekaman tersebut bisa dilihat di tautan ini.
Dalam video, terlihat bagaimana WS mengaku datang ke rumah untuk mengambil sepeda miliknya, namun malah dapat siksaan. Sehari setelah mengunggah video pada 10 Februari dan mendapat dukungan netizen, ia melaporkan kasus penganiayaan tersebut ke Polsek Jambangan.
Pada kedua kasus ini, rekaman video dan penyebarannya di media sosial jadi pemicu sanksi sosial yang efektif. Terlebih, dukungan dari para netizen kerap menggerakkan korban untuk melaporkan penyiksaan ke aparat. Tapi, sejauh mana kekuatan rekaman aksi KDRT dalam membantu advokasi hukum yang dilakukan?
Kami menghubungi Oki Wiratama, pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, untuk melihat signifikansi video sebagai bukti dalam membongkar kasus KDRT. Oki menjelaskan, alat bukti elektronik udah jadi alat bukti sah sesuai dengan putusan MK No. 20/2016, namun harus atas permintaan kepolisian/kejaksaan.
“Harus dipastikan bahwa alat bukti video tersebut diperoleh sesuai prosedur, baik KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) maupun perkap (peraturan kapolri), dalam rangka penyelidikan atau penyidikan. Alat bukti elektronik juga bisa diuji melalui digital forensik,” ujar Oki kepada VICE. Forensik digital secara sederhana adalah proses identifikasi barang bukti untuk menganalisis kebenaran dan asal muasal bukti tersebut.
“Untuk membuktikan adanya kekerasan hanya melalui bukti elektronik, itu belum cukup. Harus didukung pula oleh alat bukti lain seperti saksi-saksi dan yang paling penting, visum et repertum. Namun, adanya video tersebut bisa dijadikan sebagai pintu masuk bagi anggota kepolisian untuk melakukan penyelidikan,” tambah Oki. Menurut pengalaman Oki, visum inilah satu bagian penting yang kerap luput disiapkan korban ketika melaporkan kasusnya ke LBH Jakarta.
Merekam aksi KDRT di lingkungan sekitar sebagai langkah awal menyelesaikan kasus bisa jadi alternatif mengingat tidak banyak istri berani mengambil keputusan untuk melaporkan pasangannya. Kalau dengan mengunggah video bisa membuat sebuah kasus KDRT terbongkar, ada baiknya cara ini kita pertimbangkan agar para korban bisa segera keluar dari kekerasan.
Peran lingkungan jadi penting jika membaca keterangan Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center ini. Suharti mengatakan, ada kecenderungan perempuan tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan.
“Korban kekerasan mengalami dinamika psikologis yang luar biasa sehingga orang kadang heran, kenapa sih dia bisa berulang kali mengalami kekerasan tapi tetap memilih untuk berada dalam hubungan itu,”kata Suharti kepada BBC Indonesia.
Sebagai contoh, menurut data Rifka Annisa, hanya 2 persen perempuan korban KDRT di Jogja yang mencari pertolongan, sedangkan di Papua hanya 7 persen. Keadaan ini jelas mengkhawatirkan kalau dibiarkan. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus mengatakan, angka KDRT di Indonesia meningkat selama pandemi akibat korban menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bersama pelaku.
Data ICJR dikonfirmasi Tuani Sondang Rejeki Marpaung, anggota LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik).
“Dari tanggal 16 Maret sampai dengan 12 April tercatat ada 75 pengaduan kasus. Angka yang tertinggi itu penyebaran konten-konten intim sangat banyak, peringkat kedua disusul dengan kasus-kasus KDRT. Ternyata, kasus KDRT selama diberlakukannya social distancing sangat tinggi,” kata Tuani kepada DW Indonesia.