Ini Pengalamanku Nonton Ulang ‘Zeitgeist’, Film Konspirasi yang Populer di Warnet

Review Film Teori Konspirasi Zeitgeist 2007 yang sempat populer di warnet Indonesia

Jujur saja, 10 tahun lalu, film ‘Zeigeist’ membuatku terpana. Yang kumaksud di sini adalah Zeitgeist: The Movie (2007), film pertama dari tiga seri dokumenter Zeitgeist, semua ditulis, disutradarai, dan dibuat musiknya oleh pria Amerika Serikat bernama Peter Joseph.

Beberapa pekan lalu, aku tiba-tiba teringat lagi sama film tersebut. Dua tahun terakhir, dunia gonjang-ganjing akibat pandemi. Teori konspirasi membesar lagi, dengan banyak orang di medsos mengklaim Covid-19 dan program vaksinasi adalah skenario elite global menundukkan massa. Berbagai fafifuwasweswos itu membuatku kangen pengin nonton lagi Zeitgeist.

Videos by VICE

Buat ngegambarin betapa berpengaruhnya serial ini, dalam suatu wawancara pada 2015, alias jauh sebelum pandemi, Jerinx mengaku inilah salah satu film yang menginspirasinya berjuang di jalur aktivisme. Setelah film ini rilis, Peter Joseph bahkan bikin gerakan bernama Zeitgeist Movement. Asoy.

Tulisan ini akan berisi kesan dan tanggapanku setelah menonton ulang Zeitgeist. Yang mau kucari tahu, apakah aku bakal terpana seperti dulu? *Spoiler-nya: menurutku kegiatan nonton ulang ini buang-buang waktu. Menurutku, mendingan aku mengonsumsi sumber akademis atau jurnalistik yang lebih valid.

Kenapa dulu aku menontonnya? Saat itu 2011, aku sedang kuliah di tahun ketiga kuliah dan getol-getolnya belajar “berat-berat” (menurutku waktu itu, isu di Zeitgeist terasa berat, padahal enggak). Aku tahu film ini dari seorang teman yang punya bacaan luas—dia juga yang memperkenalkanku pada sukatoro.com. Di tahun-tahun itu aku emang ada di fase banyak waktu senggang + lagi penasaran dengan banyak hal. Di periode yang sama, seorang teman lain membuatnya nyekrol foto-foto crop circle dan tempat-tempat kekuasaan makhluk gaib kayak Segitiga Bermuda, serta foto-foto aneh di dunia-panas.blogspot.com

Sisa kesan samar yang aku ingat dari Zeitgeist adalah agama Kristen itu imajinasi manusia doang dan Osama bin Laden aslinya antek Amerika. Kalau mencoba mencari pembenaran kenapa aku dulu sempet suka film ini, kira-kira gini: remaja 20 tahun mana sih yang enggak penasaran pas dikasih tahu Kristen itu versi modernnya agama pagan Mesir. Mengingat itu semua membuatku paham kenapa adikku yang masih SMP tiba-tiba jadi pengagum Hitler. Kita semua punya masa kelam masing-masing.

Sebelum nonton, aku mencari tahu apa yang ditulis di IMDb soal film ini. Aku agak syok pas tahu rating-nya 8.1. Buset, The Fall aja cuma 7.9, House of Flying Daggers 7.5, dan film Woody Allen favoritku, Match Point, 7.6. Bahkan film ini rating-nya sama dengan Where Is the Friend’s Home? dan cuma 0,1 poin di bawah Lock, Stock and Two Smoking Barrels

Yang tidak mengagetkan, rogerebert.com tak pernah mengulas film ini. Cinema Poetica juga tidak. Apalagi IndoPROGRESS. Di web Zeitgeist sendiri ada banyak logo palem buat nunjukin prestasi filmnya. Salah satunya palem “Official Selection Radar Hamburg International Film Festival 2011”. Wah, baru tahu Jawa Pos buka cabang di Jerman. Hehe (sori, joke ini harus diakui kayaknya niche banget).

Screen Shot 2021-11-12 at 17.23.09.png
Inilah poster film ‘Zeitgeist’ yang kesohor itu. Arsip iTomath/Peter Joseph

Oke, mari mulai menonton film dengan rating 8.1 ini. Zeitgeist: The Movie dibuka dengan intro yang panjang banget. Selama 5 menit, kita disodori pemandangan ledakan, tembakan, ledakan, tembakan. Lalu ada Bumi dilihat dari luar angkasa yang syukurlah masih bulat (di akhir tulisan ini aku akan kutip wawancara VICE dengan Peter Joseph yang menjelaskan kenapa komentarku barusan nyebelin banget).

Lalu slide show foto-foto Bumi, jagat raya, Bumi, jagat raya, langit, awan berarak, gelombang laut, parasit mikroskopik, animasi bagaimana organisme bersel satu berevolusi jadi manusia, Alkitab, bendera Amerika Serikat, pesawat nabrak menara WTC, ledakan lagi, tembakan lagi, anak-anak korban perang sedang menangis, keluarga korban teror menangis, orang jatuh dari menara WTC, footage peperangan di Asia dan Timur Tengah, video legendaris pria yang ditembak pas Perang Vietnam, keluarga korban teror menangis lagi, anak-anak korban perang lagi, footage seorang tentara sedang menangis dalam posisi hormat.

Tiba-tiba mejeng kutipan seseorang bernama G. Massey, seorang ahli peradaban Mesir. “They must find it difficult… Those who have taken authority as the truth, rather than truth as the authority.” Pasif-agresif banget, Peter Joseph kayak mau bilang, kalau setelah nonton film ini lo masih enggak percaya kita dikendalikan konspirasi elite global, wajar dehhh. 

Percaya apa enggak, intronya belum selesai. Di layar YouTube tempat aku menonton film ini, muncul visualisasi ala Windows Media Player mengiringi narator ngomong bahwa selama ini kita dibohongi oleh institusi agama dan orang-orang berkuasa yang mengendalikan kita dan dunia. Sampai sini sejujurnya aku mulai enggak kuat.

Part I: The Greatest Story Ever Told 

Secara narasi, Part I adalah bagian paling informatif. Bakal berguna banget jika kelak aku tiba-tiba jadi pembenci Kristen, tapi jangan harap deh. Namun, secara visual bagian ini malesin banget karena mirip video bikinan anak SMA 2000-an awal. Isinya cuma slide show foto dan video dari Google yang kayak dibikin pakai Windows Movie Maker.

Bagian ini ngejelasin bahwa ribuan tahun lalu manusia terpana pada matahari sebagai sumber kehidupan. Mereka jadi mengamati matahari serta bintang-bintang. Saking getolnya, matahari dan bintang lalu dipetakan, terus dipersonifikasi jadi manusia dan hewan (jadilah horoskop) atau dewa. 

Di Mesir, dewa matahari menjadi dewanya dewa, bernama Horus. Lawannya adalah Set, dewa kegelapan. Keduanya jadi perlambang siang-malam dan, karena itu, baik-jahat. Buat menjelaskan fenomena siang-malam, orang Mesir juga bikin mitos bahwa tiap pagi Set kalah dari Horus sehingga matahari bersinar, terus menjelang malam, Horus gantian kalah dari Set sehingga gelap datang.

Horus dimitoskan lahir pada 25 Desember dari seorang ibu perawan, lahir dibarengi kemunculan bintang di langit timur, serta kelahirannya disambut tiga raja. Pada usia 12 tahun Horus mulai memiliki pengikut, di usia 30 ia dibaptis, ia juga punya sejumlah mukjizat, memiliki 12 murid, lalu dikorbankan dan mati selama tiga hari buat bangkit lagi.

Cerita ini jelas sekali merujuk ke siapa. Emang itu maksud Zeitgeist Part I, bahwa narasi sejarah Yesus persis kayak Horus dan banyak tokoh mitologis lain dari dunia kuno. Yang mau dijelasin adalah, kenapa sih pola lahir 25 Desember, ibu perawan, bintang timur, disamper raja dari timur, punya 12 murid, baptis, dst. itu muncul di berbagai sejarah tokoh-tokoh mitos lain?

Penjelasannya ada pada bintang Sirius. Inilah bintang paling terang di langit malam. Pada 24 Desember malam, letak Sirius bakal segaris dengan 3 bintang lain di sabuk Orion. Tiga bintang berbaris ini biasa disebut Tiga Raja. Selain itu, pada 22-24 Desember matahari akan ada di posisi terendahnya dalam setahun. Lalu pada 25 Desember, posisinya naik dikit sehingga tanggal itu disebut sebagai momen “Lahirnya Matahari”.

Cerita lainnya adalah Bunda Maria merujuk kepada rasi bintang Virgo, horoskop yang simbolnya mirip huruf m. Rasi bintang virgo disebut juga sebagai house of bread, yang mana adalah arti harfiah “Betlehem”.

Semua data itu menggiring pada kesimpulan bahwa teologi Kristen disangga oleh kisah yang sebenarnya cuma metafora astronomi. Dua belas murid merujuk 12 rasi bintang, Yesus adalah perlambangan matahari, simbol salib dalam lingkaran adalah ilustrasi garis lintang ketemu garis bujur dengan matahari di tengah. Penjabaran selanjutnya meneruskan ide ini. Definisi kata zaman yang sering disebut dalam Alkitab, makna sapi emas dalam cerita Musa, kenapa Yesus ngasih makan orang miskin dengan dua ikan, kenapa Yesus ketemu dua nelayan, semua bisa dijelasin pakai ilmu perbintangan.

Singkatnya, kisah Yesus cuma plagiasi mitologi Horus atau bahkan lebih tua, mitologi Yunani tentang Jupiter dan Perseus. Demikian pula kisah Nuh dan Musa, serta banyak tradisi Kristen lain. “We find that christianity was in fact nothing more than a roman story, developed politically,” kata pencemarah yang dikutip Zeitgeist. “The reality is Jesus was a solar deity of denostic Christian sect and like all other pagan gods, it was the political establishment.”

Aktor dari aksi politis itu, kata Zeitgeist, adalah Konsili Nicea II pada 787 Masehi. 

Part II: All the World’s Stage 

Kesimpulan Part I adalah pengantar Part II: mitos (religius) sebagai alat terkuat untuk mengontrol dan memanipulasi masyarakat, serta menjadi preteks buat mitos-mitos lain.

Di antara mitos lain itu ialah peristiwa 11 September 2001. Rekaman hari-H tragedi ini, terutama video pesawat nabrak menara kembar WTC, menjadi pembuka Part II. Bagian ini berbeda dari bagian satu yang kayak presentasi. Part II adalah jejalan footage berita dan kutipan dari sana-sini. Intinya, banyak sekali detail peristiwa 11 September versi pemerintah Amrik yang diragukan kebenarannya (atau kalau mau eksplisit: bohong besar).

Pertama, soal 19 orang pembajak pesawat 4 pesawat, dua ditabrakkan ke WTC, satu ke Pentagon, satu lagi jatuh di Shanksville, Pennsylvania. Ada beberapa nama pembajak yang dipercaya pernah dilatih di pangkalan AU Pensacola, Florida; ada yang pernah tinggal bareng sama agen FBI. Kedua, enggak ada bukti langsung yang menghubungkan Osama bin Laden, terdakwa otak 9/11, dengan para pembajak.

Ketiga, komisi penyelidikan 9/11 berlaku aneh dengan tidak menginvestigasi transfer uang 100 ribu dolar dari kepala BIN-nya Pakistan (ISI) kepada salah seorang pembajak. Keempat, enggak masuk akal ketika Komando Pertahanan Udara Amerika Utara (NORAD), dari radar mereka, enggak ngeh bahwa sedang terjadi pembajakan. Kelima, debu ledakan WTC membentuk pola pancake yang mirip pola debu saat gedung-gedung tua biasanya sengaja diledakkan. Juga ada komentar dari dosen Fisika bahwa bentuk patahan beton WTC mengindikasikan bangunan ini hancur karena termit (yang biasa dipakai untuk meruntuhkan gedung tua) alih-alih tabrakan pesawat.



Bagian kedua menyimpulkan bahwa peristiwa 11 September direncanakan sendiri oleh orang-orang dalam pemerintah AS. Kecurigaannya mengarah ke Presiden George W. Bush dan wakilnya, Dick Cheney. Serangan ini dirancang buat memancing paranoia warga Amrik agar menyetujui niat pemerintah AS ngadain war of terror di Irak dan Afghanistan. Perang akan bikin negara gelontorin banyak duit buat beli senjata sekaligus ngasih karpet merah ke kontraktor-kontraktor Amerika untuk beroperasi di negara-negara yang hancur akibat perang.

911 was an inside job,” demikian dibilang dalam Zeitgeist. Aku yang mulai bosan nonton malah terdistraksi pikiran lain soal alasan sebenarnya di balik penolakan Muhammadiyah pada permendikbud pencegahan kekerasan seksual di kampus.

Part III: Don’t Mind the Men Behind the Curtain 

Kita balik lagi ke pola Part I, slide show dengan narator yang berisik. “There is something behind the throne greater than the king himself” jadi kutipan pembuka Part III. Kutipan ini membuatku teringat pada Menteri Segala Urusannya Indonesia.

Part III mengawali narasinya dengan ngejelasin mekanisme bank sentral Amerika (The Federal Reserve System a.k.a. The Fed). Gimana mereka mengeluarkan uang, gimana mereka menciptakan nilai uang kartal, dst. Penjelasannya sangat cepat dan sulit kutangkap alurnya. Sebagai awam, yang nempel dari Part III soal bank sentral ngeluarin banyak sekali duit biar makin banyak orang ngutang dan, karena itu, harus bayar bunga. Zeitgeist mengkritik sistem kredit ini sebagai penghancuran kebebasan ekonomi individual.

Tiba-tiba muncul kutipan David Rockefeller, bankir Amerika yang semasa aku kuliah, namanya selalu diucapkan satu tarikan napas dengan frasa kapitalisme Amerika. Dalam kutipan itu, Rockefeller berterima kasih kepada The Washington Post, The New York Times, majalah Time, dan media-media gede lain karena udah bersedia menjaga rahasia selama 40 tahun. Rahasia apa? Enggak disebut, tapi tujuannya untuk menciptakan “a world government”. Dari sini Zeitgeist menuding para elite global (para bankir?) ingin membuat dunia ini tunduk di bawah satu bank, satu ketentaraan, dan satu pusat kekuatan.

Lalu muncul rekaman wawancara dengan Aaron Russo, pembuat film yang pernah sohiban dengan Nicholas Rockefeller. Aku enggak bisa nemu di Google tentang siapa Nicholas Rockefeller ini, Zeitgeist sendiri cuma nyebut dia sebagai “infamous Rockefeller banking and business dynasty”. Russo mengaku Rockefeller pernah bilang punya tujuan buat bikin semua orang di dunia dipasangi chip RFID. Aku langsung membatin, oh, dari sini asalnya.

Setelah semua informasi menggentarkan itu, secara mengejutkan film ini ditutup dengan pesan cinta. Gantian kutipan Jimi Hendrix mejeng, “When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace.” Secara retoris, penonton diajak memilih antara ketakutan dan cinta. Film resmi berakhir dengan munculnya teks: the revolution is now.

Kesan dan Pesan

Scepticism is good, but this is mostly a sensationalist horror movie,” demikian komentar salah satu penonton Zeitgeist di IMDb. Film ini, dan para penganut teori konspirasi pada umumnya, emang menarik dalam hal kritisisme mereka. Masalahnya kritisnya nanggung, coy. Di satu sisi mereka kritis sama sumber dari pihak otoritas, di sisi lain mereka enggak kritis sama sekali ke sumber yang mereka kutip/percayai. Misalnya, apa dasar mereka percaya sama omongan Aaron Russo, sementara di film Russo enggak kelihatan nunjukin apa pun tentang tujuan Rockefeller tadi?

Zeitgeist juga nunjukin sikap kontradiktif pada media. Media dibilang enggak bisa dipercaya, tapi banyak banget footage diambil dari media juga. Ini pembeda paling jelas antara film enggak dianggap serius macam Zeitgeist dengan dokumenter lain seperti Fahrenheit 9/11. Joseph enggak memverifikasi cerita yang doi dapet, juga enggak mewawancarai sumber primernya apalagi mengkonfrontasi sumber. Dia nyambung-nyambungin aja satu footage dengan footage lainnya, dicampur dengan asumsi, dan tiba-tiba kita nyampe aja di kesimpulan. Lebih parahnya, buat nguatin narasi, Joseph ngasih kutipan-kutipan yang penonton enggak tahu konteksnya apa.

Aku contohkan rekaman suara John F. Kennedy yang muncul di Zeitgeist. Rekamannya ini salah satu yang bisa kutelusuri versi lengkapnya (transkrip lengkapnya bisa dibaca di sini). Dalam film, Kennedy jadinya bilang gini:

The very word secrecy is repugnant in a free and open society, and we are as a people, inherently and historically, opposed to secret societies, to secret oaths, and to secret proceedings. […]

But we are opposed around the world by a monolithic and ruthless conspiracy that relies primarily on covert means for expanding it’s fear of influence, on infiltration instead of invasion, on subversion instead of elections, on intimidation instead of free choice, on guerrillas by night instead of armies by day.

Kennedy kayak lagi ngomongin Illuminati? Kalimat-kalimat di atas adalah hasil potong dan jahit dari paragraf-paragraf yang terpisah, dia sampaikan pas pidato soal hubungan pers dan pemerintah demi menciptakan masyarakat yang terbuka. 

Zeitgeist juga nyebarin horor yang udah diaduk-aduk genrenya. Di sana ada ketakutan (atau kebencian) pada kapitalis neoliberal, di sebelah sini horornya khas komunis-di-mata-Amerika. Tapi bagian paling enggak masuk akalnya menurutku adalah imajinasi ada gitu satu kekuatan rahasia yang terkonsolidasi sangat solid buat nyeting berbagai aktivitas klandestin-intelijen skala massal. Perasaan pas ada kegiatan di kantor, mau rapatnya udah puluhan kali pun pas hari-H tetap aja ada yang selip.



Kesimpulanku setelah menonton ulang Zeitgeist, udah deh, film ini enggak perlu diimani. Diperlakukan kayak Wikipedia aja, sebagai pengantar buat mendalami topik-topik yang dia bahas tadi—kalau tertarik sih. Ngapain juga serius-serius, eh ternyata Peter Joseph sendiri bilang Zeitgeist tuh bukan film, tapi karya pertunjukan musik. Asli dia ngomong gitu waktu diwawancarai VICE 2017 silam.

“Sebetulnya itu bukan film ya, itu lebih kayak performance piece. Saya memang latar belakangnya di perkusi klasikal sementara—saya kuliah itu sebelum akhirnya DO—dan intinya saya menciptakan karya musik dan melempar film sebagai latar belakang visual yang menemani score-nya.” Tobat kita, Bli. Film ini bukan “menguak konspirasi elite global”, bahkan menikmati film ini dengan cara ditonton aja udah salah, kudunya didengar. Ngomong-ngomong di wawancara ini, Peter Joseph enggak kelihatan segendeng karyanya kok. 

Sebagai penutup, aku memutuskan ngasih rating 9 deh. Buat Homeland tapi :P