Ratusan massa dari berbagai ormas agama Bekasi, termasuk Front Pembela Islam dan Majelis Silaturahim Bekasi, terlibat bentrok dengan aparat keamanan akhir pekan lalu. Massa Islam garis keras menuntut penghentian pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi Utara, Jawa Barat. Lima personel kepolisian dikabarkan terluka akibat lemparan batu, sementara aparat terpaksa menembakkan gas air mata demi mengendalikan massa yang berusaha mendobrak masuk gereja.
“Kami hanya meminta pembangunan [gereja] ini dihentikan sampai ada izin yang jelas,” ujar salah seorang anggota ormas, seperti dikutip media lokal. Polemik pembangunan Gereja Santa Clara berlangsung sejak 2015. Massa ormas menuduh ada kejanggalan dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja. Alasan lainnya, pengunjuk rasa mempersoalkan pertambahan jemaat kongregasi Gereja Santa Clara dalam hitungan tak sampai dua tahun. Dari awalnya hanya mencakup 300 jemaat, kini sudah mencapai nyaris 9 ribu orang.
Videos by VICE
Kerusuhan di Bekasi tempo hari adalah rentetan peristiwa intoleransi serupa yang kerap terjadi di Jawa Barat, dilakukan aktor-aktor dari kalangan Islam garis keras dan memakan korban kelompok agama minoritas: mulai dari umat Kristen hingga Ahmadiyah. Berbeda dari akhir peristiwa sejenis, yang mana pemerintah daerah akan lebih mengakomodir tuntutan umat mayoritas, pemkot Bekasi ternyata memilih berseberangan dengan tuntutan ormas.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menegaskan penerbitan IMB terhadap Gereja Santa Clara sudah sesuai aturan hukum. Dia berkukuh Kota Bekasi merupakan kota heterogen dan toleran terhadap semua pemeluk keyakinan. “Saya menolak dengan tegas [penutupan gereja]. Saya bilang di depan mereka, lebih baik kepala saya ditembak daripada saya harus mencabut IMB gereja itu,” ujar Rahmat seperti dikutip Kompas.com.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dalam kesempatan terpisah, mengatakan izin pendirian Gereja Santa Clara merupakan wewenang pemerintah daerah. Pihak gereja sudah memiliki izin dari Pemkot.
Bentrokan di depan Gereja Santa Clara menambah daftar panjang kasus intoleransi antar agama di Indonesia. Beberapa kasus sampai sekarang masih terus memicu konflik.
Awal Maret lalu, ratusan anggota jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor kembali melakukan ibadah di depan Istana Merdeka untuk yang ke-139 kalinya. Akar permasalahan masih seputar masyarakat sekitar gereja yang mempermasalahkan IMB pada 2008, meski Mahkamah Agung sudah memenangkan GKI Yasmin. Pemerintah pernah menjamin jemaatnya untuk dapat beribadat di gerejat tersebut pada 2011, namun sampai sekarang gereja itu tak kunjung bisa dimanfaatkan.
Aksi intoleransi terhadap kebebasan beragama masih kerap terjadi di sejumlah daerah. Dari studi SETARA Institute, tercatat 270 kasus intoleransi beragama terjadi sepanjang 2016, meningkat dari tahun sebelumnya yang ‘hanya’ 236 kasus. Lima provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bangka Belitung.
Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan bahwa soal penolakan GKI Yasmin dan pembangunan Gereja Santa Clara bukan terletak pada soal IMB, tapi lebih kepada soal ketidakbersediaan beberapa anggota masyarakat untuk hidup dalam kebersamaan.
“Dalam kasus Gereja Santa Clara, kelompok yang intoleran melakukan aksi semata-mata untuk menunjukkan bahwa kelompoknya lebih superior dibanding kelompok yang notabene minoritas,” kata Hendardi saat dihubungi VICE Indonesia.
Sementara itu Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) mengatakan akar permasalahan insiden di Bekasi, adalah sistem hukum di Indonesia yang diskriminatif. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang terbit di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan alat sebagian ormas membatasi ruang gerak penganut keyakinan minoritas. “Minoritas seperti dipersulit saat hendak mendirikan atau merenovasi rumah peribadatan,” ujar Andreas dalam situs HRW.