Tech

Risiko Banjir Besar Mengancam Banyak Orang Setelah Gletser Asia Tengah Retak

Gletser di kawasan Asia Tengah adalah kumpulan balok es air tawar terbesar ketiga di dunia. Kadang, kawasan ini dijuluki “kutub ketiga Bumi.” Lelehan reguler gletser dan salju dari sini membentuk hulu sungai 10 sungai besar di Asia, “yang menjadi sumber air, tenaga dan irigasi 210 juta orang, adapun dasar sungainya sendiri dimanfaatkan oleh 1,3 juta orang lebih,” menurut World Wildlife Fund.

Sayangnya, anugrah ini justru berubah menjadi ancaman lantaran glester di kawasan ini tak meleleh, melainkan langsung retak secara bersamaan dan menyebabkan banjir. Penyebabnya? Kawasan ini memanas dua kali lebih cepat akibat kecepatan perubahan iklim global.

Videos by VICE

Minggu lalu, sebuah gletser di timur laut Afganistan pecah dan membanjiri dasar sungai Panjshir. Sepuluh korban dikabarkan tewas. Belum lagi, air bah diakibatkan pecahan sebuah gletser besar ini memicu tanah longsor saat sampai di sebuah lembah serta menghancurkan 56 rumah, meruntuhkan dua jembatan, merusak sebuah jalan raya, menjebol dua kanal irigasi dan menggenangi daerah pesawahan, merujuk laporan internal International Center for Integrated Mountain Development (ICIMOD) , sebuah organisasi antar pemerintah yang bermarkas di Nepal.

Dalam pekan yang sama, sebuah gletser di kawasan barat Tiongkok melepaskan 35 juta kubik air tar—atau setara isi 14.000 kolam renang ukuran Olimpiade—ke Sungai Yarkant, membuat penduduk di sekitar aliran sungai harus dievakuasi, seperti yang dilansir dari laporan Greenpeace East Asia. kedua bencana alam ini terjadi di kawasan yang jarang didera banjir pecahan gletser. Akan tetapi, dalam waktu dekat, bencana alam macam ini sepertinya akan jadi bagian dari keseharian di sana.

Begitu suhu sebuah gletser naik, air lelehannya akan mengubah kolam di kakinya menjadi danau. Danau yang terbentuk akibat lelehan gletser di balik dinding es dan pecahan yang disebabkan oleh longsoran gletser disebut dengan istilah terminal moraines. Bayangkan saja bendungan alami. Cuma bendungan alami ini bisa jebol karena beberapa pemicu alami, seperti hujan misalnya. Dalam kasus banjir Panjshir, sebuah kantung es dilaporkan memicu longsor kecil yang pada akhirnya menyebabkan banjir gletser.


Tonton dokumenter VICE membuktikan ancaman Jakarta jadi kota paling cepat tenggelam di dunia:


Danau gletser lebih mungkin akan terbentuk jika gletser yang ada di atasnya terpapar panas yang intens, sesuatu yang makin sering dijumpai di tengah deglasialisasi global. Sejumlah titik di dasar Sungai Yarkant memanas 2 sampai 3,5 derajat celsius sejak 1961, mengacu data yang dikumpulkan Greenpeace Asia dari stasiun meteorologi Taxkorgan dan Shache di kawasan barat Cina.

Frekuensi banjir gletser mengalami peningkatan dan umumnya lebih sering terjadi di daerah rendah, di mana gletser terletak lebih dekat dengan pemukiman warga, ujar Arun Shrestha, manajer program regional bagian sungai dan cryosphere di ICIMOD.

Di dasar sungai Yarkant sendiri, pecahan gletser sudah mengalami peningkatan sejak dasawarsa ‘80an, seperti yang terungkap dalam riset yang diadakan oleh Chinese Academy of Sciences shows. Sementara banjir lelehan gletser sendiri makin kerap terjadi sejak tahun 1990an. Dan sebelum banjir di Pansjhir pekan lalu ICIMOD tak menganggap banjir yang dipicu pecahan gletser sebagai masalah berarti di Afganistan. Dalam catatan sejarah, banjir gletser umumnya terjadi pada gletser di dataran tinggi. Namun, keadaan saat ini sudah jauh berubah.

“Di kawasan timur Himalaya, gletser memang berada di ketinggian. Sementara di kawasan barat Himalaya dan Karkoran (daarah pegunungan yang merentang dari bagian barat laut India hingga Pakistan), posisi gletser rendah. Jadi, pecahan gletser bisa sangat berbahaya,” terang Shrestha.

ICIMOD kini tengah memulai proses dasar pemetaan dan penilaian bahaya gletser di Afganistan. Lantaran jumlah gletser yang harus diawasi banyak dan sangat terisolasi, analisa yang diperlukan harus dilakukan oleh penduduk setempat terlatih menggunakan metodologi yang benar dan dibantu oleh penginderaan jarak jauh. Sebagai catatan, kawasan pengunungan Hindu Kush di Afganistan memiliki lebih dari 3.000 gletser dan terdapat lebih dari 40.000 gletser di Tiongkok.

Di bagian timur, efek pemanasan global terhadap gletser di pegunungan Tien Shan, yang membentang dari Kyrgyztan hingga Cina, belum juga sepenuhnya dipahami. Pasalnya, peneliti sudah membuat generalisasi karena luasnya kawasan dan tingginya variasi lahan di kawasan tersebut. Informasi tentang kondisi yang memicu banjir pecahan glester, serta cara memitigasi kehancuran yang diakibatkan, tapi bisa disamaratakan dari satu ecoregion ke ecoregion lainnya.

Namun, apapun yang terjadi, pemahaman kita akan kawasan ini mutlak diperlukan. Banjir akibat pecahan gletser adalah kejadian yang bersifat geomorfis. Separah apapun itu, banjir ini bukanlah satu-satunya imbas pemanasan global pada kutub ketiga Bumi. Bumi yang lebih panas berarti berkurangnya salju dan naiknya hujan selama musim dingin, serta meningkatkan kecepatan melelehnya gletser di musim semi. Lelehan dan limpasan gletser yang terjadi lebih awal di musim dingin dan semi bisa menyebabkan berkurangnya air tawar saat kebutuhan justru sedang tinggi-tingginya di musim panas dan gugur.

“Kami menemukan banyak kasus seperti ini di Karakorum dan kawasan barat Himalaya. Penduduk di sana sudah mulai mengalami kendala mendapatkan air tawar untuk mengirigasi ladang mereka,” ujar Shrestha. “Di kedua tempat itu, satu-satunya sumber air tawar adalah lelehan gletser. Tanpa irigasi, tak ada kegiatan pertanian di sana.”

Di Pakistan, tambah Shrestha, para petani mulai mengakali masalah ketersediaan air ini dengan menggunakan pompa tenaga matahari dan pompa hidrolik, yang bisa memompa air tanpa mengandalkan tenaga listrik atau bahan bakar diesel. Kedua alat ini cukup mengandalkan tekanan air untuk mengalirkannya melewati sistem irigasi persawahan di Pakistan.

Sayangnya, langkah ini belumlah cukup, ujar Liu Junyan, climate and energy campaigner, Greenpeace East Asia, yang menambahkan dalam pernyataannya bahwa pengawasan bencana alam glester harus diperkuat. Di saat yang sama, model proyeksi iklim juga harus dipertajam serta sistem perancangan hidrolik yang bisa memitigasi dampak buruk banjir harus segera dibangun.

Masalahnya, kawasan pengunungan di Asia Tengah juga menyimpan masalah politik. Kawasan ini kerap kali menjadi batas antar negara. Akibatnya, terdapat perbedaan mencolok dalam pembiayaan, komunikasi serta kebijakan dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Shrestha bekerja di Kathmandu, Nepal. Akan tetapi, saat kami bertemu, dirinya tengah berada di Delhi, India, berusaha mendapatkan visa untuk pergi ke Afganistan. Nanti begitu dia sampai di sana, pekerjaan harus ditempuh dengan bermacam strategi, tergantung pada kawasan dan komunitas yang dihadapi.

Saat ditanya, mana masalah yang lebih dahulu harus diatasi—banjir atau kekeringan yang kadang datang beriringan, Shrestha menolak menjawab.

“Kedunya adalah masalah berbeda,” katanya. “Yang satu terjadi secara lamban, dengan dampak yang luas pada kelangsungan hidup masyarakat, kondisi ekonomi, keamanan ketersediaan bahan pangan, nutrisi dan sebagainya. Sementara satu lagi berlangsung dengan cepat dan dengan mudah kita lihat.”

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard