Namanya Robbani, tanpa nama tengah dan nama belakang. Ia tinggal di Ngembe, desa kecil terletak di antara rute Surabaya menuju Malang. Jika ditanya orang apa pekerjaannya, Robbani akan menjawab: “tukang ojek.” Profesi satu lagi tak pernah diumbar-umbar meski mendatangkan pendapatan jauh lebih besar. Ia tak mau terang-terangan mengaku sebagai pembuat petasan, meski di rumahnya tersimpan segunung bahan baku mercon yang beratnya sampai 1 ton.
Kendati ditutup-tutupi, profesi sampingan Robbani kadung diketahui segelintir orang. Selain tetangga dan pembeli, polisi pun tahu Robbani punya bisnis haram di mata hukum. Oleh sebab itu ia diburu. Beberapa kali hendak diciduk, lelaki 48 tahun itu selalu berhasil kabur. Namun akhir Desember 2017 lalu, keberuntungan berpihak pada aparat. Robbani, yang sudah mahir bikin petasan sejak kelas 1 SD, digerebek di rumahnya. Ia berusaha lari sekencang-kencangnya, tapi tetap tertangkap. Sejak itu ia bukan lagi tukang ojek maupun pembuat petasan. Ia adalah tersangka dan tahanan kepolisian.
Videos by VICE
Di beberapa gudang dan sekujur rumah Robbani, polisi menemukan banyak barang bukti. Selain 1 ton bahan baku mercon, aparat juga menemukan puluhan ribu petasan siap jual. Sebagian besar disimpan di langit-langit rumah. Kendati jumlahnya bombastis, polisi tak kaget-kaget amat, sebab hampir semua orang di daerah sana tahu Ngembe adalah desa penghasil petasan dan ini bukanlah penggerebekan yang pertama kali.
VICE menyambangi desa Ngembe pertengahan Januari lalu. Secara administratif, desa ini ada di dalam Kabupaten Pasuruan. Desa yang dihuni sekitar 3.700-an warga ini sebetulnya mengandalkan sektor pertanian untuk menopang ekonominya. Sawah luas terhampar di mana-mana. Desa Ngembe sejatinya tidak begitu besar. Ada empat dusun di dalamnya, yakni Grogolan, Simpar, Krikilan dan Ngembe. Total luasnya 145,6 hektare. Setengah hari berjalan pun sudah bisa menelusuri jalan-jalan utama desa ini.
VICE nongkrong di pangkalan ojek setempat, demi mencari petunjuk ke mana harus bertanya jika ingin tahu riwayat industri petasan di desa Ngembe. Di situlah kami bertemu Sulaiman, salah satu tokoh masyarakat setempat. Ia tak tahu persis bagaimana mercon pertama kali masuk ke Ngembe. Yang ia tahu, ketika terjadi peristiwa pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia oleh militer pertengahan dekade 1960’an, mercon sudah marak beredar dan diproduksi di Ngembe. “Waktu kasus PKI saya masih kecil, sudah ada mercon di sini,” katanya.
Mulanya, kata Sulaiman, warga memang mengandalkan pendapatannya dari sektor pertanian. Baru setelah ada petasan, sebagian mulai beralih. Mulai dari menjadi buruh linting atau membantu pengepakan. Bisnis petasan di Ngembe sebetulnya tak pernah stabil. Razia kepolisian membuat bisnis haram ini fluktuatif. Ada masa-masa surut yang tiba seturut pengetatan keamanan, tapi ada juga masa-masa jaya ketika pantauan petugas agak longgar.
Kami bertemu mantan pemain lawas dalam bisnis petasan di Ngembe. Namanya Bashori. Ia mengaku sudah mengenal petasan sejak masih remaja, tapi tidak mengetahui siapa yang pertama kali memulainya. Sepemahaman Bashori, banyak warga Ngembe yang bekerja sebagai buruh linting petasan di desa Singopolo, Bangil, sekitar 6 kilometer dari Ngembe.
Merasa sudah bisa membuat sendiri, beberapa buruh linting itu memutuskan membuka sendiri usaha produksi petasan. Seiring berjalannya waktu, aktivitas yang awalnya hanya digeluti beberapa orang ini banyak ditiru para tetangga. Modusnya selalu sama, kata Bashori. Mereka mengawali karir dan belajar dengan menjadi pekerja, lalu membuka usaha sendiri. Persis seperti dirinya.
Penerapan hukum yang longgar, bahan baku yang mudah didapat, serta permintaan tinggi mendorong masyarakat melakoni bisnis ilegal ini. Terlebih lagi, untuk bisa turut serta, tidak perlu ada syarat khusus. Satu-satunya yang dibutuhkan adalah keberanian. Sebab, seperti tercermin dari berbagai kasus ledakan pabrik mercon di Indonesia, nyawa senantiasa dipertaruhkan para pembuat petasan.
Cara bikin petasan menurut Bashori relatif gampang. Tinggal beli bahan baku berupa potasium dan belerang, ditumbuk sampai halus. Sambil menunggu proses pencampuran bahan peledak tuntas dan bahan baku kering, pekerja lain menyiapkan lintingan kertas pelbagai ukuran.
Agar serbuk mesiu tidak amblas saat dimasukkan kertas, bagian ujungnya harus ditutup terlebih dulu dengan lem. Serbuk yang siap dibungkus tinggal ditaburi saja dalam bundel lintingan. “Agar ledakannya keras, dimampatkan dengan lidi, sambil memasukkan sumbunya,” ungkap Bashori. Setiap menghasilkan satu pak berisi 10 petasan, pekerja diberi honor Rp1.000. Saat masih jaya, Bashori mempekerjakan tujuh buruh. Ia juga bisa berangkat haji dan membeli Isuzu Panther hasil berdagang petasan.
Tony, 24, tukang linting yang pernah bekerja untuk Bashori, adalah salah satu pekerja yang sempat merasakan kejayaan bisnis petasan. Pada 2005, ia bisa beli motor butut seharga Rp4 juta hanya dari honor melinting. Cerita serupa datang dari Herman, 42 tahun, salah satu tokoh masyarakat setempat. Ia mengatakan sepanjang kurun 1990-an hingga awal 2000-an banyak pemuda yang mulanya menganggur mampu beli motor berkat order juragan petasan. Ngembe memang pemasok besar. Pasar petasan dari desa ini bukan hanya kota-kota di Jawa saja, tapi juga Bali hingga Kalimantan.
Masa kejatuhan bisnis petasan yang paling parah terjadi pada 2002, menyusul peristiwa Bom Bali I. Polisi memberangus siapapun yang menjual petasan maupun bahan peledak. Tak ada lagi yang berani menjual bahan baku mercon setelah insiden teror tersebut. Pada masa-masa itu Bashori memutuskan berhenti bermain petasan. Olehnya, mobil yang dibeli dari bisnis petasan segera dijual, dipakai jadi ongkos kerja ke Arab Saudi. Lima tahun mukim di Tanah Suci, ia kemudian kembali pulang dan mencoba membuka usaha warung lesehan.
Tapi ada juga yang memilih tetap jualan petasan dengan sembunyi-sembunyi, salah satunya Rosyid. Dia memiliki cerita tersendiri bagaimana ia menyiasati ketatnya pengawasan petugas saat itu. Rosyid memperhitungkan masa ramai dan sepi pembeli. Jika sedang sepi, ia memproduksi dan menimbun petasannya. Ia membeli bahan baku petasan jauh-jauh hari sebelum puasa. Maklum, petugas biasanya lebih rajin melakukan pengawasan ketika mendekati puasa. Karena itu, 4-5 bulan sebelum Ramadan, ia harus mulai kulakan. Begitu bulan puasa tiba, barulah ia jual timbunan barangnya. Ia sengaja menyewa rumah di luar desa khusus untuk menimbun dan melancarkan transaksi.
“Kan banyak [stok] Mas. Tiga sampai lima ribu bal, itu penuh satu rumah. Itu baru saya jual pas puasa sampai lebaran demi mengejar keuntungan yang lebih lebih besar,” kata Rosyid. Saat Ramadan tiba, mercon-mercon itu baru dilempar ke pasaran. Jika pun tidak habis sampai lewat lebaran, ia tidak perlu khawatir. Sebab, pasar di Bali dan Kalimantan siap menampungnya.
Robbani sempat diwawancarai VICE di sela pemeriksaan polisi. Dia mengakui besarnya keuntungan yang didapat membuatnya enggan melepaskan bisnis ilegal tersebut. Sebagai gambaran, dengan modal Rp 1 juta, ia bisa mendapat untung Rp 2 juta. Karena itu pula, di sela kesibukannya sebagai tukang ojek, ia tetap memproduksi petasan.
Sayang, saat disinggung ke mana mercon-mercon buatannya itu dijual, Robbani lebih banyak diam. Termasuk, saat disinggung darimana ia memperoleh bahan mentah petasan. Setidaknya hasil penelusuran VICE, bahan tersebut dipasok oleh seseorang yang memiliki jaringan kuat dengan salah satu toko kimia di Surabaya. Kepolisian mengaku sempat mendengar pemilik toko yang dimaksud. Namun, pembuktiannya tidak mudah. Pasalnya sistem distribusi produsen petasan terbilang cukup rapi. “Mereka menerapkan sistem terputus. Jadi, ada banyak mata rantai,” kata Ajun Komisaris Polisi Tinton Yudha Riambodho, selaku Kasatreskrim Polres Pasuruan.
Tinton menuturkan butuh kerjasama semua pihak supaya bisa membersihkan tradisi membuat petasan di Desa Ngembe. Selain keuntungan menggiurkan, sikap cuek warga sekitar turut menjadi faktor yang membuat bisnis petasan laten di desa ini. Tinton yakin, selain Robbani, masih ada warga lain sembunyi-sembunyi membuat petasan.
Baca juga liputan VICE yang mengikuti langsung aksi pelaku bisnis ilegal lainnya:
Rusdi Abdillah, Kepala Desa Ngembe, tak membantah banyak warganya terlibat pembuatan petasan. Bahkan, selama empat tahun menjabat Kades, sudah tiga kali ia bolak-balik ke Polres Pasuruan mendampingi warga yang terjerat kasus serupa. “Tapi, itu dulu. Sekarang sudah tidak ada lagi. Penggerebekan Robbani itu yang terakhir,” katanya.
Rusdi sebetulnya tak seberapa yakin dengan klaimnya. Ketika ia merasa yakin bahwa tidak ada lagi warganya yang memproduksi petasan, nyatanya polisi berhasil mengungkap rumah produksi petasan lain milik Robbani.
VICE sempat menemui salah satu warga Ngembe berinisial RS, yang menolak mengungkap nama terang lantaran khawatir bakal dibekuk aparat. Menurutnya, pengawasan ketat aparat tidak lantas membuat bisnis petasan di Ngembe benar-benar mati, berbeda dari klaim Rusdi. Jika punya kenalan, sangat mungkin bagi calon pembeli mendapatkan mercon segala ukuran.
RS mengaku tak sembarangan meladeni ketika ada orang lain yang meminta dicarikan petasan. Jika benar-benar untuk kebutuhan mendesak, seperti untuk perayaan pernikahan atau hajat lainnya, ia masih bisa membantu. Itu pun tidak dalam jumlah banyak. Hanya satu atau dua renteng. Selebihnya, ia tidak berani.
Begitulah riwayat Ngembe, setidaknya yang terlacak selama separuh abad belakangan. Ketika tetap ada permintaan dan kegembiraan dari letusan yang membikin pekak telinga, ingat-ingatlah ini: barangkali ada campur tangan warga Ngembe tiap letupan mercon menyisakan hamburan kertas dan aroma mesiu.