Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.
Jepang merupakan destinasi wisata yang tidak pernah sepi dikunjungi. Itulah mengapa rumor biaya perjalanan disubsidi terasa seperti angin segar bagi turis asing.
Videos by VICE
Namun, berita itu tidak sepenuhnya benar. Pada 27 Mei, Badan Pariwisata Jepang segera membuat klarifikasi di Twitter agar tidak terjadi kesalahpahaman. Program “Go To Travel” sebenarnya diusulkan untuk “mendongkrak permintaan perjalanan domestik”, bukan internasional. Meskipun tidak secara langsung mengecualikan wisatawan asing, pemerintah takkan menyubsidi biaya perjalanan ke Jepang.
Program ini pun masih jadi bahan pertimbangan.
Media internasional menyalahartikan program ini sebagai subsidi tiket pesawat, membuat turis asing mengira pemerintah Jepang akan menanggung perjalanannya.
Dilansir Kyodo News, program subsidi tersebut berupa kupon dan diskon makan atau berbelanja, serta pemesanan dengan agen perjalanan dan akomodasi lokal.
Japan Times melaporkan kepala Badan Pariwisata Jepang Hiroshi Tabata mengatakan program senilai 1,35 triliun yen (Rp184 triliun) kemungkinan diluncurkan pada Juli, jika keadaannya sudah membaik. Inisiatif ini akan mencakup hingga 20.000 yen atau setara Rp2,7 juta setiap harinya.
Jepang hanyalah satu dari sekian banyak negara yang sektor pariwisatanya mengalami kerugian akibat pandemi COVID-19. Pada April, jumlah wisatawan anjlok 99,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini pertama kalinya sejak 1964 jumlah pengunjung Jepang tidak sampai 10.000 orang dalam satu bulan penuh.
Rekor terendah ini sebagian disebabkan oleh larangan masuk yang mencakup 100 negara lebih. Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo yang seharusnya diadakan pada Juli bahkan diundur. Jepang sudah dipastikan gagal mencapai target 40 juta pengunjung pada 2020.
Krisis kesehatan global memberikan pukulan hebat bagi industri perhotelan Jepang. Menurut survei, 31 perusahaan akomodasi menyatakan bangkrut atau akan bangkrut pada April.
Jepang berharap bisa kembali normal, setelah Perdana Menteri Shinzo Abe mengakhiri status darurat nasional pada 25 Mei. Pembatasan ketat, seperti anjuran di rumah saja dan penutupan kegiatan usaha, dilonggarkan secara bertahap.
Walau Jepang tampaknya sudah berhasil mengendalikan virus, pakar kesehatan memperingatkan kemungkinan penyebaran tak terdeteksi yang akan semakin membuat sistem kesehatan lokal kewalahan.
Ketika artikel ini diterjemahkan, ada 17.415 kasus positif dengan total 881 kematian di Jepang.