Setiap lagi cuti atau di luar jam kerja, aku membuang jauh-jauh segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Aku menonaktifkan email kantor di HP, menaruh laptop di kantor, dan bahkan enggak buka situs web kantor sama sekali.
Aku juga log out dari Slack dan Hangouts buat jaga-jaga atasan nge-chat sesuatu setelah pulang kerja. Tapi masalahnya, enggak semua orang seberuntung aku yang bisa gawe dari mana saja dan menjauhkan diri dari segala tetek bengek pekerjaan. Mungkin, itulah mengapa banyak gerakan yang memperjuangkan “hak untuk disconnect” bermunculan di beberapa negara.
Videos by VICE
Para pendukung gerakan ini berpendapat mewajibkan karyawan menjawab pertanyaan atasan atau teman sejawat di luar jam kerja—baik lewat email maupun telepon—sama saja dengan menyuruh lembur tanpa digaji dan termasuk pelanggaran HAM. Pada Rabu, UNI Global Union menerbitkan pedoman bagi para pekerja yang ingin memperjuangkan haknya melepaskan diri dari urusan kantor setelah jam kerja. Pedomannya menguraikan masalah sebagai berikut: “Kemajuan teknologi dan perangkat seluler memungkinkan karyawan bekerja lebih fleksibel.
Metode ini memang menguntungkan, tetapi di sisi lain, batasan antara jam kerja dan waktu luang jadi kabur… Koneksi tanpa henti dan kurangnya waktu istirahat dapat menimbulkan risiko psikososial bagi karyawan, termasuk gangguan kecemasan, depresi, dan burnout.” Ada penelitian yang mendukung klaim ini, ada juga studi yang menemukan kewajiban berkomunikasi selama waktu luang memicu kecemasan pada pekerja — bahkan pas enggak ada chat masuk dari orang kantor sama sekali.
Hak terbebas dari pekerjaan pertama kali muncul di Prancis pada 2016, yang kemudian diikuti oleh Spanyol dan Italia pada tingkat nasional. UNI Global Union membeberkan Belgia, Kanada, India, Filipina dan Portugal juga telah mengodifikasi langkah yang mendukung gerakan di beberapa tingkat, mau itu tingkat negara atau nasional. Belum lama ini, ada hakim di Luksemburg yang mengakui hak pekerja untuk ‘disconnect’ selama cuti digaji dalam putusan yang dikeluarkan awal Oktober.
New York City adalah satu-satunya daerah di Amerika yang serius ingin mengesahkan hak seperti ini. Anggota Dewan Rafael Espinal memperkenalkan beleid yang “melarang karyawan swasta di kota New York mengecek dan menjawab email atau bentuk komunikasi elektronik lainnya di luar jam kerja.” Espinal memberi tahu VICE pada 2018, RUU itu diusulkan sebagai “cara mengatur batasan antara kehidupan pribadi dan profesional pekerja.” Sialnya, tak ada kelanjutan soal ini. RUU tersebut belum dibahas sejak Januari 2019, menurut situs web Dewan Kota New York.
Bagaimana dengan Indonesia? Mendapatkan hak terbebas dari pekerjaan kayaknya cuma mimpi belaka. Sejumlah besar orang Indonesia gila kerja dan terlalu loyal pada perusahaan. Sifat enggak enakan sering memaksa kita melakukan sesuatu di luar batas kemampuan. Sebagian orang tak jarang mengorbankan haknya sebagai pekerja karena tak mau dicap karyawan buruk. Misalnya, ada yang sampai membatalkan cuti karena rekan kerja enggak bisa menyelesaikan pekerjaan mereka. Dalam kasus lain, ada yang tetap kerja sepulangnya ke rumah demi meringankan pekerjaan keesokan hari.
Semua hal di atas diperparah oleh adanya ancaman dipecat atau dihina “karyawan malas dan tak tahu diri” jika kita tak menjawab panggilan atau menyanggupi permintaan atasan untuk kerja ekstra di luar jam kerja. Daripada menganggur, mending juga nurutin apa kata bos kan? Ya, semua orang mesti rajin bekerja kalau mau punya uang. Namun, bukan berarti kalian harus mengorbankan waktu pribadi demi memenuhi semua tuntutan bos, terutama kalau kalian enggak dapat bonus sama sekali.
Follow Katie Way di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.