Sejak kecil, penyanyi dan model Gemat paham betul betapa tidak menyenangkannya bertubuh gemuk. Ditambah lagi, rambutnya tidak lurus seperti perempuan kebanyakan. Ungkapan “kamu cantik tapi gemuk” atau “kamu cantik tapi keriting” sudah menjadi santapan sehari-hari. Selalu ada ‘tapi’ setelah kata cantik.
Komentar semacam itu melukai hingga sudut hati terdalamnya. Standar kecantikan yang dipromosikan oleh media pun semakin mengaduk-aduk emosi Gemat. Tubuh langsing, rambut lurus, sampai kulit putih — jarang ada iklan kecantikan yang menampilkan model gemuk atau berambut keriting seperti dirinya.
Videos by VICE
Dalam proses pencarian jati diri, Gemat menelan mentah-mentah semua komentar dan standar kecantikan yang ia lihat. Pernah suatu ketika, ia mencatok rambut dengan harapan menjadi “cantik seutuhnya”.
“Malah gue enggak suka,” kata perempuan yang bernama panggung Sailormoney ini.
Perlahan-lahan Gemat mulai mengenali tubuhnya sendiri. Dari situlah ia mengetahui dirinya memiliki skoliosis, kondisi kaki yang lebih panjang sebelah dan bahu tinggi sebelah. Sehingga tidak berhak rasanya orang menghakimi orang lain hanya berdasarkan eksteriornya saja.
Tubuh hanya satu dari serangkaian hal yang kita punya. Ada banyak keunggulan lain, seperti cara kita memberi kasih sayang ke orang lain, cara kita menghibur orang saat sedih, hingga cara berempati pada orang lain. “Itu enggak kelihatan dan kita enggak appreciate. Karena enggak kelihatan di cermin, jadi terkadang kita lupa,” kata Gemat saat diundang ke podcast VICE ‘Census Nusantara’.
Menyayangi tubuh, atau biasa disebut body positivity, membuat Gemat bisa semakin mengeksplor kemampuan dirinya. Salah satunya, karena susah mendapat baju dengan ukurannya, dia banyak merancang outfit-nya sendiri. Gemat berkreasi dengan berbagai bahan yang tersedia.
Kegiatan ini yang mungkin menjadi cikal bakal beberapa tahun setelahnya. Dia ambil bagian dalam Jakarta Fashion Week sebagai salah satu model. Tidak adanya ekspektasi untuk tampil ‘cantik’ dalam standar umum justru membuatnya semakin bebas melakukan banyak hal.
Sejak saat itu, Gemat mendapat banyak kesempatan membagikan kisah pribadinya pada orang-orang. Banyak pula brand yang kemudian menggaetnya, merasa sepemahaman dengan nilai-nilai yang Gemat bagikan.
Meski seiring berjalannya waktu, ternyata banyak orang menganggap body positivity sebagai tren. Brand pun menjadikannya alat jualan. Pernah ada yang mengajak kerja sama, namun mereka mengirim baju yang bahkan tidak muat di badannya. Tidak semua brand benar-benar tulus ingin menguatkan nilai body positivity yang sesungguhnya ia sampaikan.
Sesuatu yang juga Gemat sadari, tidak selamanya pola pikir body positivity bisa ia terapkan. “Body positivity udah baik, jangan benci [tubuh kita],” tuturnya. “[Tapi] di realitanya, enggak mungkin sayang pada tubuh sepanjang waktu. [Makanya sekarang aku nerapin] body neutrality, pemahaman badan dipakai untuk membantu lo hidup. Lebih bisa apresiasi badan gue untuk membantu hidup.”
Gemat menguraikan lebih lanjut soal “body neutrality” dalam obrolannya bersama Fathia Izzati di seri podcast VICE ‘Census Nusantara’. Chia memandu acara yang tayang sepekan sekali ini.
Kalian bisa klik link di atas, atau ketik saja di kolom search Spotify pakai kata kunci ‘Census Nusantara’. Pasti ketemu kok.
Lewat podcast ini, kalian bisa mengenal banyak sosok lainnya yang menarik dari berbagai kota, dan kami yakin kalian bisa semakin paham betapa kaya dan beragamnya nusantara, dan betapa kreatifnya anak-anak muda di dalamnya.