Akhir dekade ini ditandai oleh aksi Greta Thunberg dan aktivis lingkungan muda lainnya yang berusaha meyakinkan baby boomer perubahan iklim itu nyata dan budaya sekali pakai yang diadopsi sebagian besar orang tidak bagus bagi lingkungan.
Baru-baru ini, British Museum mengumpulkan sampah berusia ribuan tahun untuk mengajari kita tentang masa depan. Sampah-sampah berupa cangkir sekali pakai tersebut akan dipamerkan dalam The Asahi Shimbun Displays Disposable? Rubbish and Us Jumat nanti. Menurut kurator, penemuan sampah ini membuktikan betapa manusia sudah tidak peduli lingkungan dan malas mencuci piring sejak zaman baheula.
Videos by VICE
Dilansir The Guardian, cangkir tanah liat berusia 3.500 tahun dan berasal dari peradaban Minoa. Para kurator menemukan tumpukan besar bejana anggur tanpa gagang di dekat reruntuhan Istana Knossos, Kreta. Mereka menyamakan wadah ini dengan cangkir plastik yang sering kita pakai sekarang.
“Faktanya, cangkir sekali pakai sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Jadi bukan penemuan manusia modern,” ungkap kurator British Museum, Julia Farley. “Kalangan atas kuno mengadakan pesta besar-besaran [di Istana] untuk memamerkan status dan kekayaan mereka.”
Cangkir tanah liat itu kemungkinan cuma dipakai sekali, karena jumlah sampah yang ditemukan British Museum mencapai ribuan.
Julie menyebut ada persamaan antara cangkir tanah liat Minoa dengan cangkir plastik. Kedua wadah itu sama-sama siap pakai, murah, dan praktis. “Benda yang terbuat dari tanah liat sulit dihancurkan seperti plastik, sehingga sampahnya tetap utuh bertahun-tahun lamanya,” dia menambahkan.
Cangkir kunonya akan dipajang bersama cangkir kertas bekas minuman yang dibuat pada 1990-an untuk maskapai Air India. Pameran ini juga menampilkan benda-benda lain seperti ember pancing plastik yang mengapung di pantai Guam, dan foto sampah plastik yang mengotori Samudra Pasifik.
Julia mengatakan pamerannya tidak bermaksud bikin pengunjung “merasa bersalah” atas semua sampah yang mereka buang, karena pada dasarnya peradaban mana pun pasti meninggalkan sampah dan ini tidak dapat dihindari. “Hidup kita tergantung pada alat. Kita sendiri bahkan mengenakan pakaian. Menghasilkan sampah sudah menjadi sifat alami manusia,” tuturnya. “Pameran kami ingin menyampaikan pesan serius tentang skala dan konsumsi manusia. Kita perlu menemukan keseimbangannya, dan manusia cenderung belum mampu melakukannya.”
Bedanya, sampah peradaban Minoa belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jumlah sampah yang kita hasilkan setiap hari. National Geographic mengekspos dunia menghasilkan 3,5 juta ton sampah plastik dan “limbah padat lain” setiap harinya. Sementara itu, Indonesia membuang sekitar 15 persen sampah plastik sepanjang 2019.
British Museum kira-kira mau menerima sampah plastik dari Indonesia, gak ya? Lumayan buat mengurangi jumlahnya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.