Apa saja prasyarat bagi penghuni kawasan perkotaan agar bisa bertahan hidup? Selain sumber daya dasar seperti air, listrik, dan udara bersih, khusus warga Jakarta mungkin jawabannya adalah mal. Penduduk ibu kota seakan-akan tak bisa hidup tanpa pusat belanja berpendingin udara, berhiaskan merek-merek ternama yang belum tentu bisa kalian beli barangnya.
Setidaknya, itu yang diyakini pengembang. Pada 2020, akan ada empat mal baru yang resmi dibuka melayani warga ibu kota. Lokasi keempat mal tersebut—entah apakah ini kabar baik atau kabar buruk—berada di Jakarta Selatan yang sudah sangat padat dengan destinasi pelesir bagi berbagai kalangan.
Videos by VICE
Empat mal tersebut adalah Pondok Indah Mall 3 yang akan berlokasi tepat di atas Pondok Indah Mall 1 dan Pondok Indah Mall 2, disusul AEON Mall Southgate Tanjung Barat yang merupakan kolaborasi antara PT AEON Mall Indonesia dengan Sinarmas Land.
Ada pula Mal at District 8, buah hati dari Agung Sedayu Group yang menempati lokasi yang sama dengan apartemen District 8. Seperti belum cukup pusat perbelanjaan di daerah Sudirman dan sekitarnya, Senayan Park at Taman Ria Senayan yang dikelola oleh Lippo Group juga akan dibuka di tahun yang sama.
Jakarta berdasar kajian beberapa lembaga, resmi menyandang gelar sebagai kota dengan pusat perbelanjaan paling banyak di seluruh dunia. Jumlah mal di kota ini sangat fantastis. Terhitung pada 2011, ada 132 mal tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Itu angka sebelum kebijakan moratorium pembangunan pusat belanja diumumkan oleh Gubernur Fauzi Bowo yang menjabat pada era tersebut.
Sementara merujuk kajian Global Cities Retail Guide 2014, lahan yang dipakai untuk mal di Ibu Kota sudah mencapai 95.200 meter persegi, dua kali lipat dari wilayah Monaco dan Vatikan. Jumlah mal yang bejibun, sampai mengepung ibu kota, pernah dikeluhkan Joko Widodo, saat dia masih menjabat gubernur DKI.
“Selalu yang dibangun adalah mal, hedonis, suka hal-hal yang bersifat konsumtif, mewah. Arah pembangunannya ke sana terus,” kata Jokowi saat memberi sambutan di Lebak Bulus pada 2013. Namun, hingga Jokowi akhirnya jadi presiden dan kini posisi DKI-1 dijabat Anies Baswedan, rencana pembangunan mal baru Jakarta terus berjalan hingga 2021 mendatang.
Pengamat tata kota dari Fakultas Arsitektur Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengkritik minimnya kebijakan pemprov menghambat pertumbuhan mal baru. Dia mengaku tidak anti dengan pusat-pusat perbelanjaan. Tetap saja, urgensi pembukaan empat mal baru ini layak dipertanyakan. “Mau jenis mal apa lagi yang ditambahkan?” ujarnya saat dihubungi VICE.
Kata Yayat, andai lokasi pembukaan empat mal baru tersebut didasari pertimbangan yang matang, di sekitar pemukiman misalnya, dalam jangka panjang justru dapat berdampak baik, distribusi traffic akan lebih merata. “Gimana caranya bisa mengembangkan mal di tengah pemukiman sehingga pengunjung tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi, seperti di Alam Sutera dan BSD misalnya,” imbuhnya. Dia belum melihat konsep semacam itu diperhatikan mayoritas pengembang mal sekitaran Jabodetabek.
Apalagi, Yayat khawatir ketika pembukaan mal yang progresif tidak memperhitungkan titik-titik macet yang sudah ada, waktu tempuh perjalanan kendaraan pribadi semakin sulit ditolerir.
Dilansir Tirto, menurut data yang dihimpun Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara menduduki posisi kedua teratas dihitung dari jumlah titik macetnya setelah Jakarta Timur, disusul Jakarta Pusat dan Jakarta Barat di posisi terakhir. Mungkinkah dengan empat mal baru ini, Jakarta Selatan segera menyusul Jakarta Timur sebagai wilayah DKI dengan titik macet terbanyak?
Pengusaha mal menolak disalahkan atas maraknya kemacetan. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alexander Stefanus Ridwan, saat diwawancarai Tirto, menuding beberapa titik macet muncul pada jam berangkat kerja. Menurutnya, yang musti dikambinghitamkan adalah kendaraan umum ngetem serta pedagang kaki lima.
“Kalau pagi-pagi bukan karena mal, dong. Malnya belum buka. Orang biasa bilang mal bikin kemacetan, itu pagi kan belum buka, bukanya jam 10 [pagi],” kata Ridwan. “Biasanya juga banyak angkot yang berhenti, itu yang bikin kemacetan sebenarnya. Ada juga gara-gara pedagang kaki lima. Kalau semua itu enggak ada, ya [lalu lintas] lancar-lancar saja.”
Dikonfirmasi terpisah oleh Bisnis Indonesia, Ridwan berdalih pengusaha terus membangun mal baru hingga 2021 karena izinnya sudah didaftarkan sejak 2011, sebelum moratorium dicanangkan Fauzi Bowo (biasa dijuluki Foke). Selain itu, dia menyebut bila kebijakan penyetopan mal tak pernah tertuang dalam format hitam di atas putih. “Coba cari ada Surat Keputusannya? Enggak ada. Dulu Foke ngomong begitu cuma secara lisan. Terus saya tanya, gimana nanti kalau enggak ada bangun mal, tapi ternyata itu cuma sebentar saja, sampai Pilkada selesai sudah hilang lagi,” klaim Ridwan.
Di luar macet, bibit-bibit masalah pasca pembukaan mal baru tidak berhenti sampai di situ. “Potensi naiknya kepadatan dan pengambilan air tanah yang semakin masif juga akan mengiringi [pembangunan mal baru],” kata Yayat. Terus dibangunnya mal kontras dengan leletnya perluasan area hijau serta resapan air, yang berguna untuk menanggulangi banjir serta memperbaiki kualitas udara Jakarta.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH), tertulis bahwa luas ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari luas wilayah (negara, provinsi, kota, atau kabupaten). Sedangkan per akhir 2019, Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsitawati mengatakan pembangunan RTH baru 9,9 persen.
Ridwan, yang juga menjabat direktur PT Pakuwon Jati Tbk, menjamin pembangunan mal tanpa henti ini sudah mempertimbangkan dampak lingkungan. “Kita kan bikinin yang namanya sumur resapan, kolam resapan. Kan waktu mengajukan izin kita sudah menggunakan itu. Jadi soal daerah resapan air enggak ada masalah,” ujarnya.
Pemprov bukannya tak punya instrumen menahan laju pembangunan mal. Pemerintah daerah bisa memakai penaikkan pajak iklan dalam mal, penaikkan biaya parkir, hingga larangan memakai plastik untuk mengurangi mal—di luar kemauan tidak menerbitkan izin pembangunan pusat belanja. Namun sekian opsi itu terus ditentang APPBI dan pengusaha lain. Artinya, bola sepenuhnya di tangan pemerintah DKI.
Melihat fakta yang ada, mal tampaknya masih akan berjaya di ibu kota. Mal seperti gulma, mati satu tumbuh seribu. Sehingga, mungkin, generasi muda tiga dekade lagi akan lebih terbiasa berlari-larian di mal, alih-alih main petak umpet di taman.