Tidak semua orang bisa terlahir kaya, tapi ada satu jalan yang bisa digunakan masyarakat Indonesia agar anaknya dekat dengan keistimewaan. Cara ini lebih mudah dibanding usaha keras Loid agar Anya bisa masuk ke sekolah anak tokoh penting seperti di anime Spy x Family. Caranya, namailah anakmu dengan kata Agus.
Peringatan Hari Kemerdekaan jadi pemicu sehingga pemilik nama Agus kami anggap relatif lebih disayang negara dibanding pemilik nama Januar, Aprilia, atau Septian di bulan masing-masing. Di bulan Agustus, perayaan bertema nasionalisme gencar digelar dan menyasar pemilik nama dengan unsur Agus.
Videos by VICE
Hanya lewat pencarian di internet, kita bisa menemukan kegiatan pemasaran menggiurkan di bulan Agustus khusus bagi orang-orang bernama Agus. Mulai dari gratis servis motor, diskon pembuatan website, gratis pisang, gratis kelapa, gratis makan bakso, gratis beli pempek, gratis tiket wahana bermain, sampai gratis pangkas rambut.
Selain perkara diskon-diskonan, setidaknya ada satu lagi tambahan alasan untuk para orang tua agar mempertimbangkan penyisipan kata Agus pada nama anaknya kelak. Pada 2015, Persaudaraan Agus-Agus Indonesia (AABI) dibentuk. Pemilik nama Agus membuat kesatuan, menyadari pentingnya berserikat dan membantu satu sama lain. Tak perlu punya hobi sama, semua bernama Agus pasti diterima. Wadah berjejaring yang bisa saling tolong tentu modal berharga di kehidupan bermasyarakat.
Sebagai anak [yang mengaku] muda, sekilas kami melihat permukaan kegiatan AABI di media sosial tidak menggiurkan bagi anak muda. Namun, Ketua Umum AABI Agus Saefullah tidak sepakat dan mengatakan bahwa anggota aktif perkumpulan ini tidak melulu bapak-bapak, “Ya ada [anggota umur] 20, yang masih kuliah ada. Yang [awal] kerja banyak. Ada yang masih sekolah SMA juga,” kata Gusjam, sapaan akrab Agus Saefullah, saat dihubungi VICE.
Yang patut diapresiasi, AABI sekaligus memberikan tempat bagi anggota lansia untuk tetap berkegiatan. “Usia anggota tertua ada di umur 80-an. Happy banget lah [beliau masuk AABI] karena komunitas aki-aki enggak ada kan. [Beliau] masih semangat, masih bisa joget-joget,” tambah Gusjam.
Satu hal yang kami lihat dari AABI adalah kesan bahwa perkumpulan ini terlihat begitu serius. Mereka punya situs resmi yang rapi, struktur organisasi yang jelas, program yang rutin, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga yang bisa diakses publik, sampai logo dan kaos komunitas. Gusjam sendiri merasa heran mengapa AABI malah seserius ini. Padahal awalnya, mereka berasal dari grup Facebook yang mengadakan kopi darat pada Desember 2015. Pertemuan di Bogor itu direspon dengan positif, ratusan Agus datang.
Dari sana, program didiskusikan, status hukum perkumpulan diusahakan. “Seiring berjalannya waktu dan sudah ada legalitas, [kami berpikir] selain silaturahmi, apa ada yang kita bisa ambil ya [dari AABI]? Kami ngobrol-ngobrol soal apa yang bisa kita ambil dari Agus ke Agus. Bukan saling memanfaatkan, tapi saling memberi manfaat,” ujar Gusjam.
Informasi pekerjaan para anggota dihimpun. Masing-masing lantas diminta berbagi manfaat, berkontribusi di bidangnya sendiri-sendiri. Misalnya almarhum Agus Vega, musisi dan vokalis band Mad Bitel, yang diminta untuk membuat lagu mars AABI. Bakti sosial dilakukan, kesadaran bantuan hukum disebarkan. Perkumpulan juga menyediakan platform bagi para anggotanya yang memiliki usaha.
“Kami udah punya satu [badan] usaha namanya PT. Jayalah AABI Kita. Sahamnya milik anggota AABI. Kami menampung anggota yang punya usaha. Belum ada bagi hasil, enggak ada. Kalau mereka ada untung ya Alhamdulillah, nanti bisa donasi. Kalau belum, ya jangan dipaksakan. Minimal mereka bisa menyejahterakan diri sendiri dulu,” cerita wiraswasta domisili Cimahi, Jawa Barat, tersebut. Selain daring via situs, produk-produk jualan anggota pun tersedia secara luring di Toko Agus yang berada di tiap-tiap daerah.
Dalam AD/ART, AABI mempunyai visi misi melestarikan nama Agus. Kepada VICE, Gusjam terlihat optimis menjaga warisan nama Agus di tengah gempuran nama-nama anak modern yang muncul. Dari sekitar 1.350 anggota yang terdaftar secara administrasi dan 9.200 Agus yang bergabung di akun media sosial, Gusjam menyebut banyak anggota AABI yang tetap menamai anak dan cucunya dengan unsur Agus, “Apabila punya anak atau cucu yang dinamai Agus, [dia akan] diberi apresiasi dari AABI semacam piagam. Jangan sampai punah nama Agus,” kata Gusjam.
Ketika kami tanyai seputar dari mana datangnya inspirasi membentuk perkumpulan berasaskan jenama ini, Nama Paguyuban Asep Dunia (PAD) terucap dari mulut Gusjam.
“Alhamdulillah lah kalau begitu [jadi inspirasi],” ujar Asep Ruslan, Presiden PAD, saat ngobrol dengan VICE. Ia sudah bergabung di grup Facebook PAD sejak 2010, tahun terbentuknya perkumpulan pemilik nama Asep ini. Namun, ia baru aktif sebagai anggota pada 2015. PAD punya misi membuat para pemilik nama Asep di seluruh dunia mencapai potensi maksimalnya lewat cara kolektif: “Asep yang sudah berjaya, harus bisa mengangkat Asep yang belum juara,” ujar pria asal Kota Bandung itu. Agar tidak bikin bingung, di tulisan ini ia akan kami sebut Asrul.
Saling tolong-menolong antar Asep kerap membantu naiknya kesejahteraan anggota. Asrul menceritakan bagaimana anggota PAD yang bekerja sebagai pengusaha kerap mengajak Asep-Asep lain untuk bekerja menjadi karyawan di perusahaan. Asep yang bekerja sebagai event organizer juga sering mengajak anggota PAD untuk menambah pundi-pundi rezeki. “Kami mendirikan ABC, Asep Business Community. Itu kumpulan pegiat usaha yang juga punya organisasi sayap namanya HIPA, Himpunan Pengusaha Asep,” kata Asrul. PAD sendiri memiliki empat pilar kegiatan yang berasal dari akronim A.S.E.P, yaitu agama, sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Karena memakai kata “Dunia” di nama organisasi, PAD juga memiliki dewan perwakilan luar negeri. Saat ini, Asrul menyebut memiliki anggota di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Amerika Serikat, Turki, Qatar, dan Perancis.
Sama kayak Gusjam, Asep juga mengaku banyak anak muda yang tertarik bergabung, “Kemarin yang datang [di acara halal bi halal] banyak mahasiswa. Saya lebih senang organisasi ini digerakkan oleh milenial. Ini eranya mereka lah,” kata Asrul. Saat ini, PAD sedang merumuskan kegiatan Konferensi Asep-Asep (KAA, plesetan dari Konferensi Asia-Afrika) yang rencananya akan digelar di Gedung Merdeka, Kota Bandung. Gelaran ini akan turut mengundang Asep-Asep dari luar negeri.
Ada banyak alasan mengapa masyarakat Indonesia suka berkumpul. Hobi dan ketertarikan yang sama paling umum jadi perekat utama. Sama-sama suka modifikasi motor, ngumpul. Sama-sama suka motret burung, ngumpul. Sama-sama suka menghindar dari olok-olokan publik akibat memutuskan mendukung Manchester United yang tak juara-juara? ngumpul.
Tapi bagaimana menjelaskan fenomena ini kalau sekelompok orang berkumpul karena namanya sama? Enggak cuma Agus dan Asep, kita juga bisa menemukan Paguyuban Sugeng, Komunitas Sri, Persaudaraan Bambang Sedunia, atau Jogja Endang Club pernah atau masih eksis. Mungkin saja, sebentar lagi kita bakal ngeliat paguyuban pemilik nama Kenzo muncul berserikat. Tapi, kenapa sih orang Indonesia kok suka banget ngumpul-ngumpul? VICE lantas bertanya ke Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi demi secercah pengetahuan.
“Saya kira itu bersumber dari dua sebab. Pertama, kultur kolektivitas. Memang kuat di Indonesia. Alih-alih menikmati waktu luang sendirian, mereka memilih menikmati waktu luang secara berkelompok. Mengapa sekadar kesamaan nama saja bisa muncul komunitas? Saya kira itu bisa dijelaskan dengan kultur kolektivitas yang menjadi akarnya. Kedua, ada perbaikan ekonomi secara rerata yang mendorong semakin terbukanya kemungkinan kelas menengah untuk membelanjakan uang untuk keperluan pencarian hiburan dan menggunakan waktu luang tersebut,” ujar Dodi, sapaan Kuskridho, kepada VICE.
Selain kedua hal utama di atas, ada pula faktor pendukung lain bernama agama. Emang benar sih. Dalam obrolan kami, Agus dan Asep berkali-kali mengulang kata “silaturahmi” sebagai semangat perkumpulan. Acara yang dibuat pun erat kaitannya dengan ajang mengumpulkan pahala seperti bakti sosial dan halal bihalal, “AABI ini InsyaAllah kita jadi ladang amal, berbakti untuk negeri kita,” ujar Gusjam.
Dodi sebenarnya menambahkan satu faktor lagi yakni politik. Komunitas apapun, menurut Dodi, memiliki harga politik ketika musim kampanye dan pemilu datang. Jaringan komunitas akan menjadi sarana efektif untuk memobilisasi dukungan politik.
Namun, Asrul dan Gusjam sama-sama menjawab diplomatis saat kami singgung soal godaan politik. Keduanya tak menampik bahwa memang banyak anggotanya yang tergabung dalam partai politik dengan posisi strategis sehingga banyak godaan. Namun, AABI dan PAD menegaskan tidak akan terseret ke arah sana.