Ainurrosi menceritakan ritual tim kasti kampungnya, Desa Lapa Laok, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura, sehari sebelum berangkat tanding ke desa lain.
“Kami ngaji, berdoa sampai lewat jam 12 atau 1 malam, [mendoakan] biar esok hari permainan seru, [bermain] baik, tak ada masalah. Bisa juga datang ke makam-makam para wali untuk berdoa, memaksimalkan pertahanan diri dari bahaya. Bola kasti bukan cuma permainan, kami [harus] punya benteng persiapan,” ujarnya. Ochi, sapaan akrab Ainurrosi, lantas menyebut bahwa ada satu tim lawan yang apabila dihadapi tanpa persiapan, biasanya mengakibatkan salah satu anggota timnya cedera.
Videos by VICE
Pemuda 24 tahun tersebut berujar bahwa wajar saja bila tim yang bertanding ke daerah lain biasanya membawa “dukun” masing-masing. Pengarah spiritual ini kerap ditugaskan menjaga keselamatan anggota tim dari “serangan”. Mereka akan menentukan kapan waktu berangkat ke lapangan dan di sudut sebelah mana mereka sebaiknya berkumpul demi keamanan dan kesuksesan tim dalam berlaga. Kepercayaan ini punya sebutan “merebut kuasa” dan dianggap penting untuk memaksimalkan potensi memenangkan pertandingan kasti.
Mimik muka Ochi saat bercerita sama persis dengan cara masyarakat desanya memperlakukan olahraga kasti: serius nan antusias. Berkali-kali ia menjelaskan kepada kami bahwa kasti bukan sekadar permainan bagi penduduk Sumenep, wilayah Pulau Madura bagian timur. Ada adu gengsi, pamer atraksi, dan tanding mistis yang melingkupi. Pertandingan digelar hampir setiap hari.
Meski sang ayah adalah pemain kasti di desanya, Ochi memutuskan tidak melestarikan permainan turun-temurun tersebut dari dalam lapangan. Pemuda 24 tahun itu lebih nyaman berada di balik kamera ponsel, merekam berbagai pertandingan kasti untuk diunggah di akun YouTube-nya, Ochi 97. Video pendeknya di TikTok yang berisi kompilasi aksi akrobatik para pemain kasti ditonton lebih dari satu juta kali. Dari video itulah, kami lalu menghubunginya.
“Menurut saya dan teman-teman, kasti lebih seru dari sepak bola dan bola voli,” katanya, mengucap pernyataan yang kalau di semesta internet bakal langsung masuk kategori unpopular opinion. Menyaksikan video-video hasil dokumentasinya, pendapat Ochi bukan bual belaka. Atraksi salto yang mengintimidasi lawan, komentator berbahasa Madura yang menambah keseruan, serta sorakan penonton yang berbaris tepat di garis pinggir lapangan jadi bukti perayaan kasti di sini.
Ochi tidak banyak tahu soal asal-muasal popularitas bola kasti di wilayahnya. Kakak kandungnya pernah membuat survei amatir terkait sejarah kasti dengan berbicara dengan para tetua. Ia mendapatkan informasi bahwa setidaknya kasti sudah populer di Madura sejak 1972.
Kehadiran olahraga ini di Indonesia sebenarnya lebih lawas lagi. Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan kepada Historia bahwa kasti sudah muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 sebagai adaptasi bisbol dan sofbol yang sedang berkembang pesat di dunia Barat. Sejarawan menemukan sudah ada arsip tentang kompetisi kasti yang dilakukan oleh Perkumpulan Kasti Murid-Murid Bumiputera (PKMB) di Jakarta tertanggal 17 Juli 1938.
Meski belum jelas kapan kedatangan olahraga ini ke Madura, Ochi menceritakan popularitas kasti meroket di Madura bagian timur sejak 2018.
“Sebelum itu [2018], kasti digelar sebagai laga persahabatan, selain ada beberapa turnamen. Namun, pada 2018 ada salah satu tim menggelar [kompetisi kasti] secara besar-besaran, memperingati hari lahir (harlah) tim tersebut. Selain banyak tim yang diundang [ikut kompetisi], mereka juga mengundang artis untuk menghibur di acara penutupan,” kata Ochi.
Banyak tim dari berbagai kecamatan mendapatkan inspirasi. Sejak 2018 pula tim lain seakan tidak mau kalah, lalu turut menghelat kompetisi memperingati ulang tahun masing-masing. Ratusan tim diundang, para artis dihadirkan, kompetisi peringatan “harlah” berhamburan dalam waktu yang berdekat-dekatan. Industri olahraga kasti bergerak pasti, dimulai dari gengsi.
“Yang lain meniru. Sampai sekarang tidak putus. [kompetisi harlah] terakhir sampai ada yang habis dana Rp100 juta,” cerita Ochi. Sumber dana dihimpun lewat patungan. Kalau udah ada rencana mengundang artis, seorang warga bisa menyumbang sampai Rp500 ribu demi terlaksananya acara.
Ia menjelaskan kini setidaknya ada tiga jenis pertandingan kasti di Sumenep. Pertama, laga persahabatan. Laga terjadi secara suka-suka, kala satu tim menyambangi tim lain untuk bertanding, entah menjaga kebugaran atau sebagai persiapan menghadapi pertandingan yang lebih besar. Kedua, laga harlah. Seperti yang dijelaskan tadi, kompetisi jenis ini dihelat untuk memperingati hari kelahiran sebuah tim kasti. Tim yang berulang tahun berperan sebagai panitia yang menyelenggarakan pertandingan dengan mengundang tim-tim dari daerah lain.
Ketiga, turnamen. Diselenggarakan oleh gabungan beberapa paguyuban bola kasti berbagai daerah dan biasanya didukung oleh pemerintah kabupaten Sumenep. Semua tim bisa ikut dengan biaya pendaftaran sekitar Rp100 ribu. Acara ini biasanya berhadiah besar dibanding harlah, seperti sepeda motor atau uang tunai sampai Rp4 juta.
Ochi menceritakan, kompetisi dalam bentuk turnamen atau kegiatan ulang tahun berjalan sampai satu bulan dari putaran pertama hingga babak final. Total peserta bisa mencapai 200 klub, membuat panitia harus menggelar 8 pertandingan sehari demi mengejar waktu. Fun fact: kalau pertandingan seri, penentuan dilakukan lewat lempar koin untuk menghemat waktu. Baru pada pertandingan semifinal dan final, penentuan dilakukan lewat semacam babak tambahan. Fun fact yang tentu saja enggak fun-fun amat bagi tim yang kalah.
Hendry Ardiyansyah sempat aktif sebagai pemain kasti. Namun, cedera membuatnya memutuskan tak lagi ikut bertanding. Mencoba terus berkontribusi, ia memilih jadi pengarsip digital. Lewat akun YouTube-nya, Bata YouTube, pemuda 21 tahun tersebut merekam geliat kasti di Kecamatan Batang-Batang, Sumenep. Popularitas kasti pasca-2018 begitu terasa karena selain banyak tim terbentuk, Hendry juga menggarisbawahi kemunculan “YouTuber kasti” di masing-masing desa.
“Dulu, kalau udah musim hujan, break dulu. Sejak 2018 ke sini, udah enggak mandang musim. Hajar aja,” kata Hendry, menceritakan bahwa hampir setiap hari ada pertandingan kasti di daerahnya. Apabila salah satu tim menolak main saat hujan, mereka akan dinyatakan gugur. Buset, keras amat.
Untuk pertandingan harian, ia menyebut setidaknya ada 200-an penonton hadir menyaksikan setiap sore. Angka ini bisa melambung hingga ribuan apabila ada turnamen atau kegiatan harlah yang digelar. Pada kategori “profesional”, pemain didominasi umur 14-25 tahun, meski banyak juga yang lebih tua ikut bertanding. Kebanyakan dari pemain punya banyak waktu luang karena masih sekolah atau sedang mencari pekerjaan.
Selain kategori “profesional” tersebut, dihelat pula kategori anak-anak dan lanjut usia sebagai kompetisi sampingan. “Kemarin ada dua turnamen [lanjut usia] digelar. Umur 50 tahun ke atas, itu pemain-pemain yang sudah pensiun. Ramai yang nonton,” cerita Hendry. “Kasti anak-anaknya sekitaran umur 10-an gitu, Mas,” cerita Hendry.
Rendi adalah salah satu pemain yang bergabung dengan tim kasti pada 2019. Pemuda 22 tahun itu senang permainan tersebut kembali populer karena sudah semakin langka ditemui.
“Saya ingin menjaga tradisi olahraga yang ada di timur daya Sumenep ini. Olahraga ini sempat punah, namun sekarang aktif kembali di daerah kami,” kata Rendi.
Sementara Ahmad, pemain kasti lain berusia 23 tahun di Madura, merasakan kedekatan tersendiri dengan permainan kasti yang sudah dimainkannya sejak SD. “Karena bola kasti merupakan olahraga paling merakyat di tempat tinggal saya, khususnya di Sumenep,” jawabnya singkat kepada VICE.
Kalau sudah ada banyak tim dan pertandingan, kehadiran suporter jelas sebuah keniscayaan. Hendry menjelaskan penonton memberi pengaruh besar pada semangat pemain di lapangan. Kadang, peran penonton dalam memengaruhi jalannya pertandingan terjadi secara harfiah. “Penonton kerap menghalang-halangi lari pemain tim musuh ketika hendak mencetak skor. Itu membuat panitia kewalahan,” cerita Hendry terkekeh.
Bentrok antarpenonton juga jadi masalah yang kerap hadir. Ochi menceritakan kompetisi harlah yang terakhir dihadirinya sempat ricuh antarsuporter akibat pendukung tim pemenang bersorak-sorai secara berlebihan, menyinggung perasaan suporter tim yang kalah.
“Kemarin sampai keluar pisau,” cerita Ochi. “Panitia juga merasa kebingungan. Tim A dan B sama-sama bawa penonton, kadang suporter bisa bertengkar sampai ada yang kepalanya pecah.”
Semua narasumber kami sepakat bahwa daya tarik kompetisi kasti bukanlah soal hadiah. Beberapa kompetisi harlah bahkan hanya menyediakan hadiah kaos kepada pemenang, “Yang diperebutkan bukan piala, tapi nama. Misal, ada satu tim sering juara, itu [nantinya] penonton menunggu-nunggu di lapangan untuk melihat aksi mereka,” kata Ochi.
Popularitas tim pemenang yang terangkat membuat nama pemainnya melambung. Selain menjadi jaminan ramai penonton, tim yang sering menang akan sering diundang untuk menghadiri kompetisi harlah tim-tim lain karena harumnya reputasi. Nama baik dan status sosial tim sudah cukup sebagai ganjaran sepadan dari setiap latihan dan ritual yang dijalani untuk menang.
Ochi menceritakan pertandingan kasti di daerah sekitarnya sebenarnya sempat dihentikan beberapa bulan karena pandemi sebelum akhirnya bisa berlanjut. “Memang sempat berhenti, sampai beberapa ketua klub mendatangi kantor polisi. [Mereka melakukan] semacam demo meminta kasti digelar kembali. Kasti tidak bisa dihentikan di Madura,” tutup Ochi.
Mendengarnya, kami cuma bisa geleng-geleng. Didatangi warga dengan tuntutan pemberian izin main kasti jelas enggak ada di dalam bayangan kantor polisi mana pun.