Setengah Abad Lebih Setelah Kematiannya, Aparat Masih Parno Sama Sosok D.N. Aidit

Untitled design (18)

Pemberangusan bacaan terjadi kembali Sabtu (27/7) pukul 9 malam waktu setempat, ketika polisi mendatangi lapak baca gratis milik Komunitas Vespa Literasi di Alun-Alun Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Setiba di lokasi polisi langsung mengambil empat buku, tiga di antaranya buku mengenai pemimpin Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit.

Keempat buku itu ialah Aidit : Dua Wajah Dipa Nusantara (terbitan KPG dan TEMPO), Menempuh Jalan Rakyat: D.N Aidit (Yayasan “Pembaruan”), D.N. Aidit: Sebuah Biografi Ringkas (TB. 4 Saudara) , dan Sukarno, Marxisme & Leninisme : Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia (Komunitas Bambu).

Videos by VICE

Bersama dengan diangkutnya empat buku itu, dua pegiat literasi yang menjaga lapak baca gratis itu juga dibawa ke kantor polisi. Mereka adalah Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25). “Mereka [polisi] mengambil buku dengan mengatakan, ‘Ini buku bermasalah, Mas, buku ini kami sita. Anda juga kami bawa untuk dimintai keterangan di kantor.’ Begitu. Akhirnya [Billah dan Saiful] dibawa dan diinterogasi sampai sekitar pukul 23.30,” ujar Zainul, rekan Billah dan Saiful di Komunitas Vespa Literasi, kepada CNN Indonesia.

Kapolsek Kraksaan Kompol Joko Yuwono memberikan penjelasan ironis yang membuat kita sadar, Indonesia memang darurat literasi. Dilansir Kompas, Joko mengatakan dua pegiat literasi ditangkap karena keempat buku yang dijajakan dilarang beredar di Indonesia. “Keempat eksemplar buku yang dinilai pro-komunis itu diamankan. Buku-buku itu saat ini sudah dilarang di Indonesia, buku-buku kami amankan,” ujar Joko.

Pernyataan ini menyedihkan karena kenyataannya, saat ini tidak ada satu buku pun yang dilarang baca di Indonesia. Keempat buku yang dirazia tersebut juga dijual bebas di toko buku. Bahkan, buku Aidit : Dua Wajah Dipa Nusantara adalah versi buku dari liputan khusus di majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2007. Baik buku maupun majalahnya bebas diperjualbelikan. Pernyataan Joko juga tidak konsisten. Saat dihubungi Tirto, dia memberi keterangan bertolak belakang.

“Kami hanya meminta keterangan saja. Tidak melarang. Bukunya pun tidak dirazia.”

Aksi razia buku dan tangkap orang itu langsung dicecar habis-habisan oleh para pegiat literasi lain. Respons duta baca Indonesia yang juga presenter terkenal Najwa Shihab merangkum semua kegelisahaan masyarakat yang sebal sama terulangnya kasus mcam ini.

Razia, sweeping buku, serta pengamanan barang-barang cetak lainnya secara sepihak sudah dilarang sejak adanya putusan Mahkamah Agung tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Intinya, sejak 2010 aparat sebetulnya tak boleh lagi ada praktik penyitaan buku tanpa izin Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung pun ngasih izinnya harus melalui proses verifikasi bertahap dulu alias nggak boleh ngasih izin kalau cuma berdasarkan dugaan.

Dengan begitu, kasus penyitaan buku di Probolinggo jelas salah kaprah banget. Kalau peraturan bilang tak boleh lagi ada penyitaan buku tanpa izin Kejaksaan Agung, seharusnya aparat taat.

Dalih “permintaan keterangan” pun tak menutupi fakta bahwa aparat sempat datang dan mengatakan buku tertentu bermasalah (tanpa paham isinya), menyita sepihak, dan membawa pemilik lapak ke kantor polisi. Semua ini sudah memenuhi unsur-unsur pemberangusan dan melanggar peraturan.

D.N Aidit tewas pada 22 November 1965. Seiring kematiannya, dan gejolak politik Indonesia masa itu, partai yang dia pimpin pun tinggal sejarah. Nyatanya tangkaian insiden penyitaan buku menunjukkan ketakutan berlebihan, seakan-akan hantu Aidit bisa bangkit lagi dan mendadak menguasai Indonesia. Tapi mau bagaimana lagi. Ketika Menteri Pertahanan ikut menyebarkan ciri-ciri absurd komunis terselubung, tampaknya paranoia itu hendak terus dipertahankan.