Akhir-akhir ini, penikmat musik harus belajar ikhlas. Kita cuma bisa ikhlas ketika trio alien dari Kanada, Rush, tak lagi aktif sebagai band. Begitu pula, saat Tom Arraya cs mengabarkan kalau Slayer bubar jalan setelah 37 tahun jadi salah satu unit thrash metal paling galak sejagat. Keikhlasan penikmat musik Indonesia, puncaknya, harus disetel mentok ketika Yockie Suryo Prayogo mangkat sepekan lalu.
Belakangan saya sendiri belajar menghayati definisi ikhlas setelah sadar kalau kancah musik Malang—skena yang sedang rutin saya pantau karena banyak karya mengasyikkan datang dari sana—rupanya punya banyak musisi pemurung. Sebelumnya saya sudah mengulas single Deathwords dan Beeswax yang cenderung murung di departemen lirik. Nah “Pure,” single terbaru Ultraviolence unik post-punk/darkwave yang berasal dari skena yang sama, Malang, menghasilkan atmosfer tak kalah muramnya. Single ini sekaligus mengingatkan penggemar musik di Indonesia, betapa Kota Malang memiliki banyak musisi muda bertalenta—walau sebagian suka banget murung.
Videos by VICE
“Pure” adalah single muram yang sangat minimalis. Ultraviolence—diperkuat Torkis Waladan dan Maulana Akbar—hanya membutuhkan drum mesin statis, betotan bass punchy, dan suara synthesizer yang dibiarkan mengambang demi menghasilkan kemuraman maksimal. Lucunya, perasaan yang saya dapat setelah mendengar lagu ini justru gembira. Dibandingkan materi dari EP pertama mereka, Sport And Celebrity Gossip, duo ini seakan berikrar meninggalkan materi lama, yang meski “dingin” masih bisa dibuat joget. “Pure” adalah usaha Torkis dan Maulana menyuguhkan post-punk yang jauh lebih dingin dari cuaca Malang, yang realitasnya belakangan ini makin panas saja.
Tentu, lanskap musik muram macam ini bakal mubazir jika dioplos sama lirik-lirik gembira atau malah konyol. Jujur saja, saya enggak bisa menangkap sepenuhnya makna lirik “Pure”. Namun, dengan palet musik sekelam ini, Ultraviolence sebetulnya dapat menulis lirik tentang kegamangan kontemporer jenis apapun. Mulai dari yang receh semacam naiknya harga sewa kos, kandasnya upaya kencan tinder; hingga topik serius macam hubungan antar manusia yang dingin lantaran makin tergantung sosial media, atau kesepian yang makin menjadi di bawah sistem ideologi neoliberalisme atau musnahnya pekerjaan akibat otomatisasi pabrik. Maulana sadar apapun isi lirik mereka bakal lebih kelam dalam kerangka post-punk, terutama saat disenandungkan dengan vokal yang Ian Curtis-esque.
Ian Curtis? Berarti musiknya Ultraviolence enggak orisinal dong? Halah basi. Lagian menurut saya, ini bukan masalah besar kok selama kita ikhlas—apalagi ketika beatnya sedemikian racun macam ‘Pure’. Toh, selama ini kita sudah ikhlas menikmati Interpol, Gold Glass, atau (ehem!) The Porno yang semua vokalisnya sama-sama terpengaruh Ian Curtis.
Single “Pure” diedarkan oleh Gerpfast Kolektif dalam bentuk kaset dan berkas digital. Simak lagunya di tautan berikut: