Akademisi: Pemeringkatan Kampus Adalah Imperialisme Budaya pada Universitas di Indonesia

Sistem pemeringkatan kampus Indonesia berbasis scopus dinilai peneliti imperialisme budaya

Sejak satu dekade lalu, pemerintah selalu memacu agar pendidikan tinggi di Indonesia berdaya saing global. Salah satu instrumen yang kerap digunakan untuk mendorong ini adalah sistem pemeringkatan kampus ala dunia Barat.

Pemeringkatan memang bisa berdampak positif berupa lecutan untuk meningkatkan mutu tiap kampus. Namun, di sisi lain, kerangka ini menimbulkan dampak dilematis di Indonesia. Dengan lebih dari 4.600 perguruan tinggi yang punya nilai, filosofi, dan tujuan yang beragam, pemeringkatan justru dapat menyempitkan dan membuat blur makna kualitas dari suatu kampus.

Videos by VICE

Kita sering mendengar dan membaca, misalnya, bagaimana kampus saling perang klaim tentang capaian pemeringkatan mereka. Para institusi lebih fokus mencapai standar world class university (kampus kelas dunia) – yang mayoritas kampus rujukannya terpusat di negara Barat – ketimbang berkontribusi pada sains dan melayani masyarakat lokal dengan cara yang beragam.

Melalui tulisan ini, kami ingin menjelaskan mengapa mentalitas ini memiliki banyak masalah. Kami juga menawarkan lensa yang lebih bijak dalam memandang kualitas pendidikan tinggi.

Jeratan imperialisme budaya

Banyak negara menjalankan sistem pemeringkatan universitas menggunakan kriteria maupun bobot yang berbeda-beda, tergantung penyelenggara setiap sistem. Definisi mengenai apa itu world class university, misalnya, hingga kini belum begitu jelas.

Ada yang mengartikannya sebagai kampus terkemuka di bidang pengajaran dan riset. Ada pula yang memaknainya sebagai kampus penghasil keilmuan yang paling menggenjot ekonomi.

Terlepas dari bervariasinya metodologi dan kriteria, berbagai pemeringkatan tersebut dalam praktiknya justru kerap berujung seperti “Harvardometers”. Di sini, parameter yang diukur adalah seberapa besar institusi mematuhi model perguruan tinggi riset kelas elit gaya Anglo-Saxon, di mana Harvard University di AS hadir sebagai model utama.

Sejumlah riset pun mengemukakan bagaimana metodologi pemeringkatan perguruan tinggi memiliki masalah bias. Misalnya, banyak sistem pemeringkatan mengunggulkan kampus yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai pengantar karena dianggap sebagai “bahasa sains dunia”.

Metodologi ini juga secara umum dinilai abai terhadap unsur keberagaman perguruan tinggi. Pengabaian itu justru mengarah kepada pendekatan one-size-fits-all – upaya memotret heterogenitas karakter perguruan tinggi dengan kacamata yang homogen.

Sayangnya, tidak banyak perguruan tinggi mau menilik ulang praktik pemeringkatan kampus. Atas nama mutu, ranking tetap diburu, tak peduli seperti apa metodologi dan filosofi yang menjadi fondasinya.

Fenomena ini disebut oleh peneliti sosial Marion Lloyd dan Imanol Ordorika dengan imperialisme budaya, di mana standar yang sebenarnya dikembangkan dari konteks budaya tertentu (Barat) justru disajikan, dianggap, dan diterapkan sebagai standar universal.

Selain itu, proses kuantifikasi melalui pemeringkatan juga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Semangat kuantifikasi ini memaksa perguruan tinggi untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar dan industri. Tren ini bergeser dari ruh awal perguruan tinggi yang sejatinya adalah aktor penggerak kepentingan publik.

Mendorong praktik ilmiah yang tidak etis

Aspirasi menjadi universitas berkelas dunia juga mendorong munculnya masalah etis di tingkat perguruan tinggi. Alih-alih mendorong peningkatan kualitas, kampus yang gagal menyikapi hasil pemeringkatan justru melakukan manipulasi data untuk sekadar mencapai peringkat yang lebih tinggi. Salah satu modusnya adalah pemalsuan data untuk akreditasi.

Selain itu, masalah etis lain yang timbul juga termasuk penyajian hasil pemeringkatan yang kerap dimanfaatkan sebagai materi promosi perguruan tinggi.

Klaim promosi yang ditampilkan perguruan tinggi dapat menimbulkan persepsi yang bias tentang kampus tersebut, jauh dari kondisi yang sebenarnya. Padahal, sejumlah studi menunjukkan bahwa capaian peringkat perguruan tinggi sebenarnya tidak signifikan memengaruhi animo calon mahasiswa.

Dalam menunaikan ambisi world class university, dosen bertugas melakukan riset, publikasi terindeks, dan capaian paten di tengah beban mengajar mereka yang terlalu berat. Untuk memenuhi Indikator Kinerja Utama (IKU) Kampus Merdeka, dosen juga dituntut agar berkegiatan di luar kampus, dengan hasil kerja yang bisa digunakan masyarakat dan mendapat rekognisi internasional.

Beban ganda yang demikian membuat sebagian dosen memilih jalan yang instan, seperti menumpang nama dalam artikel riset mahasiswa atau bahkan terjebak jurnal predator (jurnal abal-abal) yang dirancang untuk mengelabui akademisi dan menimbulkan kerugian yang fantastis.

Bagaimana seharusnya menyikapi pemeringkatan?

Perlu langkah kolektif agar perguruan tinggi di Indonesia dapat terhindar dari praktik imperialisme budaya yang menjebak mereka dalam perlombaan kosong.

Pemeringkatan perlu disikapi dengan kesadaran.

Perguruan tinggi perlu menempatkan capaian dan pemeringkatan sebagai dampak atas kinerja institusi yang baik, bukan sebagai tujuan.

Misalnya, ada tiga perguruan tinggi di Indonesia yang dijunjung tinggi karena masuk 300 besar dunia dalam QS World University Ranking 2022. Masalahnya, ketiganya pun mengalami stagnasi peringkat yang tidak jauh berbeda dalam beberapa tahun terakhir.

Mandeknya peringkat itu bisa saja terjadi karena perguruan tinggi melihat pemeringkatan hanya sebagai tujuan akhir, ketimbang sebuah proses kontinu dari peningkatan mutu.

Selain itu, perlu tanggung jawab bersama untuk mengedukasi publik mengenai pemeringkatan. Harapannya, masyarakat tidak sekadar disuguhi jargon “perguruan tinggi terbaik” yang tidak jarang bermakna bias dan membingungkan.

Para kampus di Indonesia juga harus memperkuat kepakaran akademisi yang lahir dari pengetahuan lokal, supaya kita tidak hanya jadi pelanggan sistem pemeringkatan ala Barat tapi juga pemimpin dalam arah sains dunia.

Secara nyata, perguruan tinggi perlu menegaskan kembali peran dan posisi masing-masing terhadap masyarakat. Ini penting supaya para institusi tidak hanyut pada obsesi gelar world class university dan indeks publikasi.


Hangga Fathana adalah dosen jurusan hubungan internasional Universitas Islam Indonesia; Ayu Anastasya Rachman adalah mahasiswa doktoral hubungan internasional di Universitas Padjadjaran

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.