Aniaya Istri Usai Ditegur Suka Nonton Film Porno, Lelaki di Sumut Dibebaskan Jaksa

Suami di Deli Serdang Dibebaskan Jaksa Meski Aniaya Istri Karena Ditegur Suka Nonton Film Porno

Dikasih tahu yang bener malah marah adalah label yang tepat disematkan pada AH, inisial seorang suami domisili Deli Serdang, Sumatera Utara. Setelah ditegur istrinya karena kerap mantengin foto perempuan seksi dan berbagai video porno lewat ponsel, doi mengamuk. Lelaki itu menjambak dan menganiaya istrinya, setelah gelas yang ia lempar ke sang istri tidak kena. Alhasil, polisi turun tangan menjemput lelaki tersebut.

AH sempat ditahan beberapa bulan, juga terancam dipidana penjara maksimal 5 tahun karena diduga melanggar UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 44 ayat 1. Pada akhirnya dia dibebaskan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Deli Serdang menggunakan mekanisme restorative justice.

Videos by VICE

Mekanisme ini mulai dihidupkan kembali oleh Menko Polhukam Mahfud MD sejak 2020. Prinsipnya adalah menyelesaikan kasus tindak pidana lewat jalur luar pengadilan. Jadi, pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain duduk bersama untuk merundingkan perdamaian dan keadilan bagi korban tanpa harus melalui persidangan. 

“Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tersangka juga sebagai kepala rumah tangga pencari nafkah untuk keluarganya. [Lalu] adanya perdamaian antara tersangka dan korban. Itulah poin-poin yang membuat jaksa akhirnya menghentikan proses penuntutan terhadap tersangka. Istri serta keluarga besarnya juga hadir kok,” ujar Kepala Kejari Deli Serdang Jabal Nur kepada tvOnenews, menjelaskan alasan institusinya memakai langkah tersebut.

Ini bukan kali pertama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diselesaikan menggunakan cara restorative justice. Desember 2021, seorang suami di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, lolos dari hukuman setelah sempat ditahan. Tersangka berinisial MS dilaporkan istrinya, HM, karena membanting pintu sehingga pelipis istrinya terluka.  

“Penuntutannya kami hentikan setelah korban dan tersangka sepakat berdamai dalam upaya keadilan restoratif sesuai implementasi Peraturan Kejaksaan Agung,” ujar Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Banjarmasin Denny Wicaksono kepada Antaranews.

Jaksa memakai mekanisme restorative justice berbekal Peraturan Kejaksaan 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Aturan itu memberi tiga syarat bagi kasus pidana yang berhak diselesaikan di luar pengadilan, yakni pelakunya baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana maksimal 5 tahun, dan ancaman denda maksimal Rp2,5 juta saja.

Pengacara publik LBH Jakarta Oky Wiratama mengatakan, kasus KDRT memang memenuhi kriteria normatif untuk diproses lewat restorative justice. Walau begitu, ia melihat Peraturan Kejaksaan 15/2020 Pasal 4 ayat 2 juga mempertimbangkan latar belakang terjadinya peristiwa pidana serta akibat yang ditimbulkan.

“Dalam konteks KDRT, sering kali dilatarbelakangi oleh adanya relasi kuasa, dan biasanya korban mengalami KDRT secara berulang kali, dan mengalami trauma yang mendalam serta butuh waktu cukup lama untuk pulih kemudian berani melapor,” ujar Oky kepada VICE. “Jika korban KDRT akhirnya memilih untuk melapor, menurut saya kurang tepat jika diterapkan restorative justice karena akan berdampak pada ketidakadilan bagi korban mengingat latar belakang peristiwa KDRT adalah relasi kuasa, dan akibatnya tak hanya fisik, namun psikis korban.”

“Diperlukan para penegak hukum yang memiliki perspektif perempuan sebagai korban, tak hanya [penegak hukum yang] memahami aturan secara normatif,” tambah Oky. 

Meski baru sering disebut-sebut oleh Menko Polhukam Mahfud MD pada akhir 2020, Hukumonline menyebut konsep ini sudah diadopsi sistem hukum Indonesia sejak 2009. Tahun lalu Kapolri mengklaim sebanyak 11.811 perkara yang ditangani polisi selesai menggunakan skema ini. Dari pihak kejaksaan tinggi (kejati), KDRT adalah salah satu kasus yang paling sering diselesaikan menggunakan mekanisme tersebut. Bahkan ada berita, kasus dengan ending restorative justice yang ditangani Kejati Sulawesi Selatan sepanjang 2021 didominasi penganiayaan dan KDRT. 

Namun, mekanisme perdamaian ini menyisakan celah ketidakadilan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Nur Rochaeti dikutip Hukumonline mengatakan, dalam konteks pidana anak, ada tantangan bagi restorative justice ketika tidak ada kesamaan persepsi antara aparat dan kepentingan terbaik anak.

Bahkan sebelum masuk ke peristiwa, tantangan itu sudah tampak lewat perkataan. Tahun lalu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memprotes ucapan Menko Polhukam Mahfud yang mencontohkan pemerkosaan sebagai kasus yang bisa diselesaikan lewat restorative justice. Menggunakan contoh terlalu ekstrem, alasan Mahfud saat itu termasuk norak: katanya agar kasus tidak membuat gaduh di masyarakat. Yaelah, pakai contoh UU ITE kek biar lebih politically correct.

Sebenarnya Mahfud punya contoh lain yang lebih makes sense buat memahami kenapa restorative justice diperlukan sebagai alternatif pengadilan. “Dalam hari ini, kasus-kasus kecil, seperti mencuri timun, semangka, sandang, sebaiknya dimediasi. Kalau perlu ya polisi mengganti. Diganti misal Rp100.000, tidak usah mengadu,” papar Mahfud waktu itu, dikutip Kompas.

Tapi balik lagi, restorative justice juga coba dipakai untuk mengada-ada. Masih tahun lalu, Kemenkumham yang lagi menunggu RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan DPR tiba-tiba ngide menyusun aturan pelaksananya. Aturan pelaksana itu berupa rancangan perpres tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB). Isinya bakal membuka jalan agar kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu bisa diselesaikan lewat jalur non-pengadilan.